34 - Dia Pilihanku

9.3K 815 45
                                    

~ Happy Reading ~

~ Happy Reading ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Dia bukan waktu, di mana aku harus menunggu. Dia bukan batu, di mana aku harus menjadi air untuk meluluhkannya. Dia bukan pelangi yang banyak warnanya, apalagi awan yang suka menutupi matahari. Tapi, dia adalah butiran pasir. Yang semakin kugenggam erat, semakin lepas dia dari genggamanku.— Detak.

DI ruangan bernuansa pastel, seorang gadis duduk di sudut kamar. Gadis berponi dengan rambut sebahu itu menatap foto yang diberi bingkai berwarna merah muda. Menampilkan dua orang perempuan dengan seragam DES, berpose sambil merangkul satu sama lain dengan senyum ceria pada bibir mereka.

Ia menatap sendu foto tersebut. Mengusapnya dengan lembut. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum tipis. Senyuman yang bahkan tidak sampai pada matanya. Gadis itu adalah Miu. Shanata Meliyou.

“Dia telah kembali. Aku bahkan gak mengerti kenapa dia bisa datang lagi,”  ucapnya sambil menyentuh sayang foto tersebut.

“Tapi aku janji akan melakukan apa yang kamu mau. Mereka memang harus bersama. Dan kamu benar, dia adalah gadis yang baik. Dia bahkan mau berteman dengan aku.”

Miu tersenyum setelah mengatakan hal itu. Senyum Miu mulai hilang bergantikan raut kecemasan setelah mengingat kembali satu hal.

“Tapi aku rasa dia akan melakukan hal yang jahat. Bahkan lebih dari apa yang pernah dia lakukan ke kamu dulu.”

Mata Miu mulai menerawang, memikirkan hal ini. “Obsesinya masih sama,” ujarnya lirih.

“Aku bisa lihat itu dari matanya. Dia, masih menginginkannya.”

Miu memandang fotonya sekali lagi. “Lalu sekarang, apa yang harus aku lakukan?”

Mata Miu mulai berkaca-kaca. Melihat tubuh sahabatnya yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur dalam ruangan serba putih. Sebagian wajahnya tertutupi alat bantu pernapasan.

Satu tangannya ditusuk jarum sebagai aliran masuknya cairan infus. Berbagai macam alat bantu kehidupan melekat di tubuh kurusnya. Menandakan bahwa perempuan itu benar-benar dalam keadaan kritis.

Matanya mulai terbuka secara perlahan. Matanya terasa berat untuk dibuka melihat keadaan sekitar. Di sampingnya, Miu terus terisak sambil memegangi tangan sahabat baiknya itu. Hampir seharian Miu menunggu sahabatnya ini agar sadar kembali. Tetap berada di samping dia sampai sahabatnya ini kembali membuka mata.

“Miu...” panggilnya begitu lirih. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Miu jika gadis itu tidak melihat ada pergerakan kecil dari sahabatnya.

D E T A K [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang