16. Rakit Si Grasak

743 156 58
                                    

Seminggu sudah Panji menginap di rumah Mbok Rondo Peparing. Orang tua itu ternyata masih cekatan membuat jamu. Dia tahu segala jenis daun, akar-akaran, kulit kayu, biji-bijian, bahkan jamur dan lumut yang bisa digunakan sebagai obat. Ramuan itu terbukti manjur dan sanggup menyembuhkan luka-luka Panji. Di samping itu, tubuh yuyu memiliki daya tahan berkali lipat dari tubuh manusia, sehingga Panji bisa pulih dengan cepat.

"Mbok, kalau boleh saya diajari ilmu membuat obat," pinta Panji pada suatu sore.

Mereka tengah duduk-duduk di serambi gubuk, di bangku panjang yang terbuat dari bambu. Sebuah piring dari gerabah berisi pisang rebus menemani mereka menghabiskan waktu. Ada satu hal yang mengganggu, yaitu Panji harus mengantongi kain sepanjang waktu untuk mengelap liur yang tak kunjung berhenti menetes.

Pondok milik Mbok Rondo Peparing itu terletak di pinggir sungai. Dari serambi depan itu, mereka dapat mendengar deru arus Sungai Brantas.

Di samping rumah, tergeletak sembarangan, sebuah rakit tua. Panji terheran. Rakit itu cukup besar dan bisa menampung banyak muatan. sepertinya bukan dibuat untuk pemakaian sendiri.

"Mbok, rakit siapa yang tergeletak di tepi sungai itu?" tanyanya seraya menunjukkan jari.

Mbok Rondo Peparing menghela napas panjang. "Dulu itu kepunyaan Bopo Peparing," jawabnya sendu.

"Siapa dia, Mbok?" Panji menelan air liur dan mengelap sisa yang meleleh di dagu.

"Bapaknya Simbok," jawab Mbok Rondo lirih. Mata tua yang mulai kelabu itu meredup cahayanya. Pertanyaan Panji membuka luka lama yang ingin dikubur dalam-dalam. "Dulu rakit itu dipakai Bopo untuk usaha penyeberangan. Kalau sudah selesai mengurus kebun dan keramba, dia pergi ke pinggir desa di sana. Banyak orang yang tidak punya perahu padahal mereka harus hilir mudik dari Daha ke desa-desa di seberang, misalnya Dadapan, Sewu, Lemahireng, Gunungtulis, dan lain sebagainya. Bopo yang menyeberangkan mereka."

Mbok Rondo terdiam sejenak. "Dulu hasilnya lumayan, bisa buat membangun rumah dan membeli tanah pekarangan dan sawah. Itu, sawah yang di pinggir desa itu punya Bopo. Ya beruntung Mbokmu ini dapat warisan yang lumayan. Kalau tidak, bisa hidup dari mana setelah ditinggal suami?"

"Berarti umur rakit itu sudah puluhan tahun, Mbok? Kok masih utuh?"

Mbok Rondo Peparing tertawa yang semakin memunculkan kerut-kerutnya. Namun, wajah yang tertawa itu membuat siapa saja yang melihat tertular keriangan. "Kayu kerangkanya bukan kayu sembarang kayu. Di tanah Jawa ini tidak ada. Itu dibeli Kakang Peparing dari pedagang dari Tanjungpura[1] sewaktu Bopo mencari barang dagangan ke pelabuhan Hujung Galuh[2]."

"Tanjungpura?" otak Panji langsung teringat sebuah wilayah bawahan Medang yang terletak di pulau raksasa, Kalimantan. Sampai saat ini pun, kerajaan Kahuripan atau Panjalu[3] yang dipimpin ayahandanya masih berhubungan baik dengan wilayah itu. Banyak pedagang mereka datang ke Hujung Galuh untuk melakukan jual-beli.

"Iya. Kapal-kapal mereka membawa kayu bagus. Orang sini bilang itu kayu besi. Kayu Jawa kalau terkena air pasti lapuk. Kayu besi ini malah semakin keras kalau terendam air. Coba kamu lihat sendiri nanti. Biar keras, tapi tetap mengapung di air. Kata Bopo, di Tanjungpura sana orang membangun rumah di atas air. Dasarnya batang-batang kayu besi yang dijajar. Lalu di atasnya dibangun rumah kayu."

Mata Panji mengerjap. "Rumahnya bisa hanyut, Mbok?"

"Ya bisa. Lha mengapung kok?" Mbok Rondo Peparing kembali tertawa. "Banyak orang menawar mau membeli rakitnya. Mbok bilang, jangan. Itu peninggalan ayah saya. Biar sampai lapuk akan saya simpan."

Panji manggut-manggut. "Mbok, saya boleh melihat rakitnya? Kalau bisa saya perbaiki, nanti saya akan melanjutkan usaha Bopo Peparing."

"Boleh, boleh. Kalau kamu suka, silakan dipakai. Mbok tidak pintar berenang. Tidak usah dipakai usaha juga tidak apa-apa. Kamu mau bawa pergi pun boleh."

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang