40. Pertarungan Sengit

799 177 49
                                    

Pertarungan sengit pun terjadi. Panji berhasil menyarangkan pukulan ke dada Wijaya. Sang adik terjengkang jauh ke belakang hingga menghantam tembok kayu senthong dan membuatnya retak. Wijaya mengaduh. Dadanya berderak bagaikan remuk. Ia terbatuk dengan darah keluar dari mulut. Kesempatan itu digunakan Panji untuk memotong tali satu pengikat Klething Kuning. Dikembalikannya badik gadis itu. Dengan segera, Klething Kuning membebaskan diri dan segera mengenakan baju.
 
“Kau … kau Kanda Panji?” Wijaya masih tak percaya yang mengenai dadanya itu adalah pukulan Panji. Dari mana kakaknya mendapat kemampuan bertempur sehebat itu? Dalam pelatihan – pelatihan selama ini, tidak pernah sekali pun Panji berhasil menyentuh kulitnya.

“Iya, ini aku, Kandamu. Karena itu, kita sudahi saja perkelahian ini, Dinda. Aku hanya ingin membawa Klething Kuning pulang.”

“Ooo, tidak semudah itu!” seru Wijaya sambil masih terengah menahan nyeri. Ia berpaling ke Sumithra yang sudah bisa bangkit kembali. Tanpa perlu kata-kata perintah, lelaki itu meloncat ke arah Panji untuk membantu junjungannya. 

Sumithra ternyata membuat Panji kewalahan dengan pukulan beruntun. Lelaki itu cukup tangguh karena mantan senopati pilihan. Karena Panji berusaha menghindar, pertempuran itu akhirnya berlanjut di ruang depan yang lebih luas. 

Panji tidak kalah akal. Ia memadukan gerakan memukul dan berlari menghindar. Sumithra terpancing. Ia terus menyerang Panji dengan pukulan membabi buta. Panji berhasil menghindar sehingga tenaga Sumithra semakin terkuras. Akhirnya, sesuai harapan Panji, umur jugalah yang membatasi sang mantan senopati. Lelaki paruh baya itu terengah kelelahan. Ia menjadi lengah. Sebuah tendangan Panji mengenai dada. Suara gemertuk terdengar menandai rusuk-rusuk yang patah. Sumithra terpelanting dan muntah darah.

Sumithra bangkit kembali. Kali ini dengan menghunus keris. Panji berhasil dipepet dan ditendang keluar rumah. Panji terguling, jatuh ke halaman depan sambil mengerang. Tahu lawannya kehilangan keseimbangan, Sumithra tidak menyiakan kesempatan. 

“Hiiyaahhhh!” Keris Sumithra dihunjamkan ke dada Panji. Pemuda itu berhasil menahan tangan sang senopati. Terjadilah adu kekuatan. Yang satu berusaha menusuk, yang lain berusaha bertahan agar tidak ditusuk. Tenaga tua Sumithra akhirnya tak bisa menandingi kekuatan yuyu. Keris itu berhasil dibelokkan oleh Panji dan akhirnya menancap di dada pemiliknya. Sumithra pun terkapar dan tak bergerak lagi.
 
Melihat bawahan setianya gugur, Wijaya murka. Setelah mengumpulkan tenaga, ia bangkit kembali dengan sedikit terhuyung. Matanya nanar menatap sang kakak. Selama ini, dalam berbagai latihan tempur, ia tidak pernah dikalahkan. Setahunya, Panji itu lembek, tidak kuat menahan pukulan ringan. Apa yang membuat kakaknya setangguh itu? Apakah tubuh yuyu itu, atau selama ini sang kakak sengaja mengalah?
 
“Bagaimana Dinda? Sudah lelah? Sudahlah, kita akhiri saja. Aku tidak tega menyakitimu lebih lanjut,” saran Panji yang sebenarnya diucapkan dengan sungguh-sungguh, namun justru membuat Wijaya terhina.
 
“Heeeh! Jangan dikira kemampuanku hanya segitu, Kanda! Itu belum apa-apa. Ayo mulai lagi!”
 
Wijaya mengepalkan tangan. Sebuah pukulan terarah dengan telak ke kepala Panji. Tentu saja, Panji telah memperkirakan gerakan itu. Ia mengelak dengan gesit sehingga Wijaya justru kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu digunakan Panji untuk menyarangkan tendangan ke pinggang. Tak ayal. Wijaya tersungkur dengan telak. Wajahnya menimpa kotoran sapi. Sontak, ia muntah-muntah tak tertolong. 
 
Panji iba. Sebenarnya ia bisa kembali memukul untuk mematahkan perlawanan Wijaya. Namun, melihat pemuda itu telah kepayahan muntah, ia mengurungkan niat. Didekatinya sang adik.
 
“Beruntung wajahmu mendarat di kotoran sapi yang empuk. Coba kalau di batu itu, dijamin hidung yang kamu banggakan itu akan bengkok,” selorohnya sambil berjongkok di samping Wijaya.
 
Wijaya berlari ke pancuran untuk membersihkan wajah. Setelah kembali ke halaman, sebilah keris telah terhunus di tangan kanan.
 
“Aduhai! Untuk apa Dinda mengeluarkan keris pusaka? Ini hanya pertengkaran adik dan kakak. Ayolah, jangan seperti itu, Dinda Wijaya!” saran Panji, masih berupaya untuk meredam kemarahan sang adik.
 
Wajah Wijaya memerah mendengar saran itu. 
 
“Kanda meremehkan aku, ha? Ayo kita buktikan di sini, siapa yang lebih unggul! Lawan aku, Kanda! Jangan menghinaku dengan bertempur setengah-setengah!”
 
“Dinda Wijaya! Aku tidak mau bertempur denganmu! Aku hanya ingin membawa Klething Kuning pulang. Itu saja!”
 
“Langkahi dulu mayatku, Kandaaaa! Enak saja mau membawa gadis penawar kutukanku! Seharusnya kamu kubunuh saat berubah menjadi yuyu!”

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang