37. Mahkota Suci

865 157 50
                                    

mohon bijak memilih bacaan...
mengandung 18++

Mapanji Garasakan menatap punggung berkemben kuning yang menjauh. Rambutnya yang digelung ke atas, memperlihatkan leher yang jenjang, tengkuk yang begitu menggoda punggung kuning langsat yang mulus. Kain kemben dan kain jarik yang membalut tubuh membuat lekuk tubuh Klething Kuning semakin menonjol. Pinggangnya ramping, pantatnya padat berisi, bergoyang-goyang seturut dengan gerakan kaki yang melangkah.
 
Sesekali ia melihat Klething Kuning yang berbalik, melempar senyum yang membuat hati Panji bergetar hebat. Klething Kuning melangkah maju, debaran jantung Panji yang tidak merelakan gadis itu untuk Samarawijaya semakin menggelegak. Panji hanya bisa menahan tubuhnya tetap terpaku pada lantai rakit yang bergoyang-goyang dipermainkan riak air sungai. Sementara tangan capitnya mencengkeram tangkai dayung dengan sangat kuat.
 
Lagi, Klething Kuning berbalik. Sekarang ia melambaikan tangan seolah memanggil Panji untuk berlari ke arahnya. Mata Panji memerah sempurna. Sorotnya kini berkilau saat diterpa cahaya karena cairan bening menyelimuti manik mata besarnya. Berulang kali Panji menghirup napas, untuk mengurangi sesak. Namun, tetap saja dadanya seperti dihimpit batu besar yang membuatnya susah bernapas.
 
Sang Hyang Widhi, mengapa derita cinta ini tiada berakhir? Dewi Kamaratih, kenapa panah asmaramu menusuk tepat di jantungku membuatku merasakan laranya mencinta?
 
Panji mengembuskan napas panjang. Kini Klething Kuning sudah berbelok sehingga sosoknya tidak lagi kelihatan. Panji hanya bisa menggigit bibirnya, menahan lara batin sekaligus memendam kekhawatiran terhadap nasib Klething Kuning.
 
Kenapa harus gadis murni?Kenapa harus gadis desa? Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa Samarawijaya menyukai gadis bangsawan yang anggun?
 
Alis Panji mengkerut memperlihatkan garis-garis di dahinya. Bibirnya mengerucut, seolah berusaha mengerucutkan juga kesimpulan yang bisa ditarik dari apa yang selama ini dipikirkannya.
 
Bagaimana kalau gadis itu hanya penawar kutukan seperti yang katanya harus mendapatkan ciuman gadis murni?
 
Mata Panji membulat. Tidak … tidak. Wijaya tidak dikutuk. Dia hanya dibuang! Ada apa ini? Kenapa perasaanku tak nyaman dengan keselamatan Klething Kuning?
 
Panji akhirnya melompat ke tepian sungai. Dia menarik rakitnya untuk memancang tali di dermaga agar tidak hanyut terbawa arus Kali Dadapan yang cukup deras. Buru-buru dia berjalan menuju ke arah rumah Mbok Rondo Dadapan yang letaknya tak jauh dari bantaran sungai.
 
Dengan berjalan cepat, namun tidak menimbulkan kecurigaan, ia membuntuti Klething Kuning. Suasana Desa Dadapan bagian timur sungai hari itu cukup sepi. Biasanya masih ada beberapa orang yang menyeberang ke Desa Dadapan bagian barat untuk ke pasar. Tapi selama ia berjalan dari dermaga kecil itu, tidak didapati orang yang lalu lalang.
 
Dari jauh dilihatnya Klething Kuning yang berjalan lunglai. Gadis itu bahkan berjalan dengan menundukkan wajah sembari mempermainkan kerikil yang dilaluinya.
 
Kenapa Klething Kuning berjalan lemas seperti itu?
 
Mata Panji memicing masih memperhatikan gerak gerik Klething Kuning. Dari arah lain ada seorang lelaki yang berjalan menuju dermaga. Lelaki itu ia kenal sebagai pengayuh rakit di Sungai Dadapan untuk menghubungkan Desa Dadapan sebelah timur dan barat.
 
Begitu orang itu sudah dekat, ia bertanya kepadanya, “Paman, kenapa sepi sekali?”
 
“Orang Desa takut dengan gagak yang sejak kemarin berputar-putar di bagian timur Dadapan. Mereka memilih untuk tinggal di rumah,” terang lelaki itu.
 
“Paman … mau kemana?”
 
“Aku mau pulang ke Dadapan barat setelah memberikan sebuah kiriman lontar untuk penduduk di ujung Desa. Bahkan warga Dadapan barat enggan kemari.”
 
Panji hanya tercenung menerima penjelasan lelaki itu. “Sebaiknya kamu juga jangan terlalu lama di sini. Hanya menapakkan kaki di Dadapan timur saja kudukku sudah meremang.”
 
Lelaki itu dengan tergopoh berlari kecil menuju dermaga. Panji merunut pandangan, mengamati lelaki yang tampak tak nyaman berada di desa itu.
 
Suara koak dari seekor burung gagak terdengar nyaring. Panji mendongak dengan mengangkat tangan menghalau silau dari sinar matahari yang masuk ke matanya. Lelaki itu memicing melihat gagak yang tampak aneh. Mata gagak itu tampak mengamati Klething Kuning yang sedang berjalan di depannya.
 
***
Klething Kuning mendengar suara Ireng yang ada di ketinggian. Ia menengadah dan mengangkat lengannya memberi tanda pada Ireng untuk mendarat pada lengannya.
 
Gagak Ireng itu melihat tanda Klething Kuning dan terbang menukik dengan cepat hingga akhirnya mendarat di lengan mulus Klething Kuning.
 
“Ireng …,” sapa Klething Kuning.
 
“Wahai Cah Ayu, kenapa engkau bermuram durja? Aku mendapati aura kesedihan meliputimu. Aura gelap yang sekelam buluku,” ungkap Ireng.
 
“Apakah keputusanku benar?” tanya Klething Kuning menatap sepasang mata yang terdapat luka melintang karena luka yang pernah di derita burung itu.
 
Ireng tak menjawab segera. Dia sibuk mengasah paruh dengan cakar-cakarnya bergantian. “Ireng ….” Panggil Klething Kuning dengan wajah yang tergambar kabut kesedihan.
 
“Titah Nyi Calonarang adalah yang utama, Cah Ayu. Kalau kamu tidak ingin lelaki yang kamu cintai itu celaka.”
 
Kembali Klething Kuning meneguk ludahnya kasar. Ia datang ke Dadapan bukan karena hatinya memang ingin. Bukan karena ia murid kesayangan Calonarang yang taat. Namun karena ia tidak rela Calonarang berbuat jahat pada orang-orang yang ia sayangi. Mbok Rondo Peparing dan … Grasak.
 
Dengan langkah galau, ia menapaki jalan utama desa itu untuk menuju sebuah rumah yang didiami oleh Ande-Ande Lumut. Dari jauh dia bisa melihat Sumithra yang dikenalnya sebagai Togog, paman Ande-Ande Lumut. Hatinya semakin terasa diremas begitu ia mendekati rumah itu.
 
Klething Kuning menghitung jarak langkahnya. Sepuluh langkah lagi ….
 
Gadis itu menghitung dalam hati sambil menata hati dan mengatur mimik wajahnya. Dipaksanya otot-otot pipinya menarik bibirnya agar bisa mengulas senyuman untuk menyapa Sumithra.
 
“Selamat pagi, Paman,” Klething Kuning dengan senyuman yang seolah terlihat bergembira dengan pinangan Ande-Ande Lumut.
 
“Temuilah Mbok Rondo Dadapan terlebih dahulu. Setelah itu kamu akan bertemu dengan keponakanku,” titah Sumithra dengan suara melengking.
 
“Baik, Paman.”
 
Klething Kuning pun akhirnya masuk ke dalam halaman. Rumah itu sangat bersih. Dengan pagar bata merah. Di halaman terdapat saung kecil dengan dipan bambu untuk sekedar beristirahat atau menikmati pemandangan Gunung Kelud yang menjadi latar Desa Dadapan.
 
Di sisi kanan dinding pagar didirikan altar persembahan yang diatasnya sudah diletakkan canang berisi bunga empat warna. Di rumah utama, sudah ada seorang perempuan tua yang menunggunya.
 
Perempuan itu sangat lain dengan Mbok Rondo Peparing. Walau sama-sama janda, gurat kecantikan masa mudanya telah sirna. Yang ada sekarang hanya kerutan yang mendominasi wajah yang kendur dan pipi yang kempot.
 
Klething Kuning menyapa Mbok Rondo Dadapan. Wanita tua itu mengarahkan pandang dengan seksama pada sosok gadis yang sekarang berdiri dengan rikuh di hadapannya. Dia tersenyum di balik tangan yang memutar-mutar susur sirih pinang, sambil matanya tak lepas dari Klething Kuning.
 
“Ikut aku.” Mbok Rondo Dadapan meludah dan membuang susurnya ke tanah begitu saja sambil meludah. Tangannya ia usapkan begitu saja di jarik di pantatnya.
 
Klething Kuning hanya bisa manut mengikuti kemana arah Mbok Rondo akan membawanya. Sebuah senthong yang cukup besar menanti gadis itu dengan sebuah baskom tembikar besar berisi air hangat yang sudah diisi berbagai kembang warna warni.
 
Kelopak merah bunga mawar mengapung di permukaan air yang mengepulkan asap itu. “Lucuti bajumu!”
 
Klething Kuning mengerutkan alis, tak paham. Melihat gadis muda itu hanya bergeming, Mbok Rondo menyergahnya. “Kamu … tidak mendengar titahku, Cah Ayu?”
 
“Ta … tapi untuk apa, Mbok?” tanya Klething Kuning was-was.
 
“Kamu harus Simbok mandikan dengan berbagai macam rempah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu kamu akan Simbok ratus.”
 
“Saya sudah melakukan perawatan tubuh seperti yang diinginkan Kakang Ande-Ande Lumut. Simbok saya sudah melakukan segalanya,” kilah Klething Kuning.
 
“Putraku tidak bisa membaui sesuatu yang aneh. Kamu pasti berkeringat saat melakukan perjalanan ke sini.” Mata keriput Mbok Rondo Dadapan memicing memindai bulir keringat yang ada di pelipis Klething Kuning.
 
“Tapi ….”
 
“Lakukan titahku!” Suara Mbok Rondo meninggi, dengan mata membelalak yang membuat Klething Kuning mundur selangkah.
 
“Ba … baik.”
 
Andai bisa, Klething Kuning akan berlari dari rumah ini. Kemampuan jurus silat Bangau Menari pasti mampu melumpuhkan wanita tua yang tak berotot itu. Namun, Klething Kuning hanya berdiri terpaku di lantai rumah itu. Dia membuka kaitan kain kuning yang membebat dadanya yang berisi.
 
Pelan-pelan Klething Kuning membuka kainnya, membuat Mbok Rondo Dadapan tak sabar. Ia yakin Wijaya yang ada di senthong lain juga sudah tidak sabar untuk mencicipi tubuh sintal gadis perawan murni.
 
Klething Kuning terpekik saat Mbok Rondo menarik kain kembennya, memperlihatkan dada ranum seorang perawan. Tak lupa Mbok Rondo melepas paksa, jarik batik tulis yang menutup bagian bawah tubuh Klething Kuning, hingga akhirnya gadis itu bernar-benar tak terlindungi sehelai benang pun.
 
Alis Mbok Rondo terangkat dengan seringai yang memperlihatkan geligi merahnya. “Hahaha … Anakku Ande-Ande Lumut, beruntung sekali mendapatkanmu, Cah Ayu. Tubuhmu terlihat murni dan kecantikanmu terpancar dari dalam.”
 
Klething Kuning hanya tertunduk dengan semburat rona karena merasa dirinya tidak ada harganya sehingga janda tua itu melucuti pakaiannya. Dengan kedua tangannya Klething Kuning berusaha menutupi aurat yang tersingkap sampai akhirnya dia merendamkan diri pada air kembang yang wanginya semerbak.
 
Mbok Rondo membantu menggosok tubuhnya. Berusaha menghilangkan debu yang menempel selama perjalanan dari Peparing ke Dadapan. Namun sekuat tenaga janda tua itu menggosok tetap saja tidak bisa menyeka serpihan debu kenangan indahnya dengan seorang lelaki buruk rupa tetapi berhati emas, bernama Grasak.
 
Klething Kuning hanya memejamkan matanya saat tubuhnya diperlakukan layaknya sebuah boneka yang tak bernyawa.
 
Rebusan rempah ratus yang terdiri dari kayu secang, kunyit, bunga mawar, temu lawak, pala, hingga akar wangi, telah siap menunggu untuk tahap perawatan selanjutnya. Rebusan yang mengepulkan uap panas itu diletakkan di sebuah dingklik tinggi berlubang di tengahnya yang akan diduduki oleh Klething Kuning untuk merawati bagian kewanitaannya.
 
Lagi-lagi, Klething Kuning hanya bisa menurut, duduk di dingklik itu, menyelubungi badannya dengan jarik dan membiarkan uap hangat itu menyusup pada inti tubuhnya. Harum rempah itu mengingatkan Klething Kuning pada aroma manis badan Panji yang bercampur keringatnya.
 
Grasak … kenapa setiap saat aku selalu mengingatmu. Kenapa uap ini seperti api neraka yang hendak mencabik-cabik hati dan ragaku?
 
Klething berusaha meraup udara ke dalam paru-parunya. Menyelami semua kenangan indah yang pernah ia lewati bersama Panji.
 
Belum apa-apa aku sudah merindukanmu, Grasak.
 
***
 
“Minumlah ini!” seru Mbok Rondo saat ia sudah membalut tubuhnya dengan kain kemben berwarna merah muda. Wajahnya pun sudah dipoles dengan warna-warna bunga yang memberi kesan segar dan menonjolkan kecantikannya.
 
“Apa ini?”
 
“Rempah agar tubuhmu mengeluarkan keringat yang wangi,” ujar Mbok Rondo.
 
Klething Kuning menerima cangkir tanah liat itu. Ia memperhatikan sesaat warna cairan serupa darah yang ada di dalamnya. Disesapnya pelan dengan ujung bibir tipisnya. Rasa hangat menyergap tenggorokan. Tak mendapati hal yang aneh, dia meneguk semua minumannya hingga tak bersisa.
 
Mbok Rondo Dadapan tersenyum puas dan senang melihat gadis muda itu tidak menyulitkannya. Dia menyuruh Klething Kuning mengikutinya untuk dipertemukan dengan Ande-Ande Lumut.
 
Pintu senthong yang dibuka berderik memenuhi ruangan. “Masuklah. Kakang Ande-Ande Lumutmu menunggu di situ.”
 
Dengan langkah ragu dia menapakkan kaki menuju ke sebuah bilik yang terlihat lebih mewah dari bilik yang lain. Pandangannya berkeliling ke setiap sudut. Sebuah ranjang berkelambu ada di sisi kiri ruangan. Di depan pintu ada balai-balai yang cukup luas untuk digunakan bercengkerama. Di sisi lain ada kursi kecil dari kayu jati dan di tembok kayu sebelah kanan terdapat cermin berukir yang cukup besar dimana Wijaya sudah berdiri di situ.
 
Pintu yang tertutup membuat Klething Kuning terlonjak. Entah kenapa, saat ini dia melihat aura yang aneh meliputi lelaki yang sekarang berjalan di sebelahnya.
 
“Kamu cantik sekali, Adinda.”
 
Pujian itu entah kenapa tidak mampu membuat Klething Kuning bergetar. Yang ada justru rasa takut yang menyergap dirinya. “Ka … Kakang.”
 
“Kenapa tubuhmu bergetar, Cah Ayu” Wijaya mendekati Klething Kuning, dan mencondongkan wajahnya berbisik dengan sangat lirih. Tangan lentik Wijaya menyusuri bahu yang berkulit lembab dan halus bak porselen.
 
“Kakang, ada apa denganmu?” Klething Kuning mendapati hal yang tidak biasa. Suatu penglihatan sekilas memberi tanda bahwa dirinya terancam.
 
“Apa maksudmu?” Dengan menyeringai Wijaya mengecup telinga Klething Kuning yang membuat gadis itu seperti tikus yang terpojok. “Aku menginginkanmu gadis perawan murniku. Aku menginginkan tubuh sucimu.”
 
Bisikan itu menyekat tenggorokannya Klething Kuning. Matanya membeliak saat ia menyadari bahwa Ande-Ande Lumut mengincar mahkota kesuciannya. Lebih parah dari yang Grasak inginkan. Klething Kuning ingin menyerang, namun tubuhnya hanya bisa terpaku kaku di tempatnya. Bahkan pita suaranya pun seolah terjepit tak dapat menggetarkan satu patah katapun.
 
Sang Hyang Widhi, apa … apa yang terjadi dengan tubuh hamba?

💕Dee n Fura💕

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang