15. Pepes Cinta
Mbok Rondo Peparing terkekeh melihat cara jalan Panji yang miring. Bukannya menghadap depan, Panji berjalan menghadap Mbok Rondo yang berada di sampingnya.
"Cara jalanmu lucu sekali, Anak Muda." Mbok Rondo Peparing terkikik memperlihatkan geligi yang memerah karena kebiasaannya mengunyah sirih pinang.
Melihat Mbok Rondo yang menertawainya, Panji terharu alih-alih tersinggung. Biasanya orang lain akan menjerit ketakutan dan melemparinya dengan benda tajam, tetapi berbeda dengan Mbok Rondo Peparing yang garis kecantikannya masih melekat di usia senjanya.
"Mbok Rondo dulu ayu ya?" tanya Panji berusaha mencairkan suasana.
Mbok Rondo mendongak ke samping menatap Panji yang kepalanya menoleh ke depan supaya jalan ke sampingnya tidak menubruk batu.
"O alah, Le, Le. Rondo tua kok ya dirayu." Kembali Mbok Rondo terkekeh.
"Betul Mbok. Walau Mbok sudah keriput, tapi garis kecantikannya siMbok masih tampak jelas. Hidung Mbok mancung, mata Mbok besar ...."
Tawa Mbok Rondo menggelegar. "Lambe (Bibir) mu manis sekali, Le. Pasti kamu suka merayu perempuan."
Hati Panji berdesir, karena merayu perempuan dan jatuh hati pada Paramitha, Panji dikutuk menjadi yuyu kangkang. Namun, melihat Mbok Rondo dia tidak hanya melihat kecantikan ragawi seorang perempuan tetapi juga kecantikan dan ketulusan yang membuat auranya menguar membuat Panji nyaman.
Mereka berjalan menyusuri jalanan setapak di antara kebun jagung yang daunnya menjuntai melambai tertiup angin. Tanaman jagung itu ditanam oleh Mbok Rondo untuk makan sehari-hari atau dijual untuk sekedar memperoleh beberapa keping uang.
Mereka berjalan diselingi kekehan tawa karena lelucon Panji yang menghibur. Diselingi suara bubu yang beradu dengan tanah kala ditarik oleh Mbok Rondo.
"Sini Mbok, saya bawakan bubunya." Panji berusaha bersikap sopan. Beruntung selama ini dia sering keluar dari Keraton Kahuripan sehingga bisa melihat apa yang terjadi di masyarakat. Tentang sopan santun seseorang yang lebih muda pada orang tuanya. Hal yang diajarkan secara teori namun tidak pernah dia lakukan di dalam istana.
"Tidak usah. Mbok belum setua itu, sampai membawa bubu berisi banyak ikan ini tidak bisa. Lagipula badanmu luka-luka begitu. Mbok tidak ingin memperparah lukamu," ujar Mbok Rondo Peparing.
Panji yang menarik bibirnya membuat air liur menetes semakin deras. "Ya ampun, Le. Rasah mesam mesem, malah ngeces ning ndi-ndi (Tidak usah tersenyum-senyum, malah berliur di mana-mana)."
Panji terkekeh sambil mengusap mulutnya yang berliur. Cara bicara Mbok Rondo Peparing langsung tanpa tedheng aling-aling (kedok), tetapi Panji bisa merasakan ketulusan hatinya.
Tak lama kemudian, Panji sudah sampai di sebuah gubuk. Halamannya berpagar tanaman katuk yang subur. Di dalam halaman, ayam betina mengais tanah diikuti anak-anaknya yang meniru apa yang dilsayakan induknya. Di sudut halaman, terdapat kandang kecil. Tanah hitam yang becek mendominasi menjadi tanda bahwa air sungai meluap sampai di area gubuk.
Mbok Rondo membuka pintu depan setelah meletakkan bubu di depan pintu yang lain dan mempersilakan Panji masuk. Dengan menunduk Panji masuk melalui pintu yang pendek. Suasana di dalamnya gelap dan dingin, cahaya dari pintu yang terbuka yang memberi penerangan di dalam rumah. Cahaya matahari yang menyusup diantara anyaman bambu tidak mampu memberi kehangatan atau penerangan yang cukup.
Sambil membuka jendela, Mbok Rondo berkata, "Ini rumah Simbok. Semoga kamu kerasan. Paling tidak, kamu bisa memulihkan lukamu dan tidak hanyut bisa tinggal di sungai. Hujan akhir-akhir ini begitu lebat, seolah Batara Shiwa tidak berkenan dengan ulah manusia."

KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Ficción histórica"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...