41. Rahwana vs Hanoman

793 181 103
                                    

Klething Kuning hanya bisa membulatkan manik mata melihat dua lelaki yang ternyata bersaudara itu mengeluarkan banyak jurus. Mulai jurus Tapak Raja Gajah Membelah Samudra yang Klething Kuning tahu bahwa jurus itu yang sempat melukai gurunya. Jurus itu adalah jurus yang tidak semua orang bisa menguasai karena diciptakan penguasa Kahuripan snediri. Dan itu adalah jurus yang Airlangga turunkan pada anak-anaknya. Klething Kuning tahu cerita itu, karena gurunyalah yang memberi tahu. Sekuat tenaga Calonarang selalu menciptakan jurus tandingan Tapak Gajah Membelah Samudera.
 
Untuk mengimbangi jurus maut itu, Wijaya mengeluarkan jurus yang lainnya. Tendangan Anjing Kencing Berlari ciptaan Dharmawangsa Teguh sang kakek yang hanya diturunkan kepadanya oleh Airlangga karena dialah pewaris murni Wangsa Isyana.
 
“Sialan … Adinda menggunakan Tendangan Anjing Kencing Berlari! Aku harus mengimbangi dengan Pukulan Tongkat Pemukul Anjing. " Jurus itu ia pelajari dari pedagang Tiongkok, yang saat itu sebagian wilayahnya dikuasai oleh Dinasti Song.
 
“Hiyaaaattttt!!!” Keduanya memekik saat mengeluarkan tendangan dan pukulan andalan mereka. Hingga sebuah semburat kembang api warna pelangi tak kasat mata memancar ke langit dari halaman rumah Mbok Rondo Dadapan ke langit Desa Dadapan Timur.
 
Saat hendak melancarkan serangannya, mata Panji membulat. Wijaya memadukan Tendangan Anjing Kencing Berlari dengan Ilmu Rahwana Tanding yang merupakan ilmu puncak dari Wangsa Isyana. Tangan Panii bergetar melihat aura dashyat yang mengelilingi Wijaya. Ia tahu dirinya akan kalah karena hanya bersenjata sebilah bambu yang digunakan untuk melakukan jurus pukulan Tongkat Pemukul Anjing
 
Panji kalah telak. Dua jurus yang disatukan itu bagaikan Rahwana yang murka. Sekali tendangan Wijaya mengenai raga Panji, lelaki berpunuk itu terkapar dan bilah keris itu menusuk punuk kerasnya.
 
“Arrrrgggghhhh!!!” Mata Panii melotot, seolah bola matanya hendak keluar saat keris itu menancap di punuknya walau tak dalam. Tubuhnya melenting ke belakang menahan rasa sakit yang mencabik raganya.
 
“Grasakkkk!!!!” pekik Klething Kuning.
 
“Hahahahaha!” Tawa Wijaya menguar saat darah tersembur dari punuk ketika keris itu tercabut. Darah yang menempel itu lambat laun terhisap oleh besi berliuk tujuh yang seolah tengah kehausan akan … darah.
 
Mata Wijaya melebar menyaksikan kakak tirinya menggeliat di tanah. Tawanya masih tersisa bahkan semakin kencang menguasai halaman yang menjadi kelam dan dingin auranya.
 
Klething Kuning mengerjap-kerjap, dan berusaha menjangkau Panji. Rasa bersalahnya pada pemuda itu membuat Klething Kuning menguatkan diri menghampiri dua saudara yang berseteru. Gadis itu menggenggam kuat badiknya sementara dia merangkak dengan pandangan waspada tertuju pada Wijaya.
 
Tidak … Jangan sampai Grasak mati!
 
Saat Wijaya mengarahkan ujung bilah kerisnya ke arah jantung Panji, dengan susah payah Klething Kuning mengangkat badannya dan lari menghadang keris Mpu Genggong yang terkenal kesaktiannya itu dengan badik kecilnya.
 
“Kuning!!” Mata Panji melebar karena terkejut Klething Kuning sudah rubuh terlentang di atas tubuhnya sementara lengan kecilnya menangkis keris Mpu Genggong.
 
Tranggg!!!
 
Badik itu terpental mengenai periuk tembaga yang tergeletak di bawah pancuran. Klething Kuning sedikit lega, setidaknya keris itu tidak mengenai jantung pemuda yang ternyata sudah mencengkeram hatinya kuat-kuat.
 
Wajah Wijaya semakin memerah mendapati pendekar mungil itu mengangkis serangannya dengan badik itu. “Kurang ajar! Berani benar kamu menghalangiku, Kuning!!”
 
“Tidak aku biarkan kamu melukai Grasak!” Mata Klething Kuning tak kalah nyalang, dada rasa panas akibat tenaga dalam keris itu melukai bagian dalam tubuhnya.
 
“Hahahaha!! Tidak semudah itu aku kau kalahkan Gadis Bau Kencur!” Wijaya mengeram saat berbicara. Bahkan bibirnya tidak terlihat bergerak saat suara itu terlontar. Ia menangkup kedua pipi Klething Kuning sehingga bibir gadis itu maju ke depan.
 
Masih mendapat tatapan yang tak gentar dari Klething Kuning, mendidihlah darah Wijaya seketika. Ia melempar wajah tirus itu seraya memberikan sumpah serapah. Dorongan tangan Wijaya di wajahnya membuat badan lemahnya terlempar ke tanah. Gadis itu meringis kesakitan, mencengkeram kain kemben yang seolah membuat dadanya terbebat erat.
 
“Ku … ning!” Darah yang mengucur deras dari tubuh Panji membuatnya lemas.
 
Menyaksikan kekejaman Wijaya, membuat Panji bergidik. Tak menyangka adik yang sangat disayanginya, berlaku sebiadab itu.
 
“Adin … da … sa … dar … lah!” sergah Panji yang masih menahan nyeri di punuknya.
 
“Hah …!” Mata Wijaya membelalak. “Kanda selama ini mempermainkanku, hah? Bersikap mengalah justru itu membuatku ….” Wijaya mengetuk dadanya dengan keras. “Ter-hi-na!!”
 
Panji terbatuk karena merasa sengatan yang menyakitkan di punuk menjalar di sekujur tubuhnya. Ia berusaha bangkit namun tumbuhnya terasa kebas tak dapat digerakkan. Mengetahui Panji yang sudah terkapar, Wijaya menghampiri Klething Kuning yang masih telungkup bersandar pada lengan kecilnya.
 
Lagi … Tawa keji Wijaya menguar. Matanya memerah dikuasai Rahwana yang menjadi aji-aji yang mendiami keris itu. Pelan, Klething Kuning menengokkan kepalanya ke arah Wijaya yang terlihat seperti Buta Kala dari mata batinnya.
 
Lelaki itu … dikuasai penunggu kerisnya! Jiwanya bahkan terkepung dalam raganya.
 
Klething Kuning berusaha menghindari Wijaya yang gelap mata. Ia menyeret tubuhnya yang lunglai dengan lengan yang menumpu tanah.
 
“Dinda … Wijaya! Kuasai dirimu! Itu bukan kamu! Bebaskan dirimu dari setan itu!” Wijaya menengok Panji dengan mata membelalak, dan pembuluh darah biru yang menonjol berkedut di pelipisnya.
 
Tangannya tak lagi menampakkan tangan lentik Wijaya. Tangan itu menjadi tangan kekar serupa raksasa dengan kuku yang perlahan tumbuh meruncing. Ketika menyeringai taring di sudut mulutnya tampak panjang seolah ingin mencabik daging setiap musuh yang menghalanginya.
 
“Dinda! Aku … mohon!”
 
“Hahahaha … Siapa Dindamu?” Gelegar tawa Wijaya dalam rupa yang menakutkan itu kembali terdengar. Wajah rupawan itu seolah telah lenyap tertelan penampakan yang bengis. “Ahai … Aku tahu … Yang kau cari adalah pangeran bengis yang dikuasai iri hati, bukan? Dia melupakan sesuatu, Rahwana akan menguasainya bila nafsu, iri dan benci merajai pemilik keris itu. Darah yang aku hisap itu telah membangunkanku dari tidur yang panjang.”
 
“Jangan … kau lukai ….”
 
Wijaya yang dirasuki oleh Rahwana itu menghentakkan langkah kakinya menghampiri Panji. Dengan sekali cengkeraman di leher Panji menggunakan kuku panjangnya, ia mengangkat Panji membuat lelaki muda berpunuk menggantung di udara.
 
Wajah Panji memerah dengan urat leher yang tersembul. Dia berusaha meraup udara kuat-kuat sambil matanya melirik ke arah Klething Kuning berharap perempuan itu meloloskan dirinya. Kakinya bergerak gelisah berusaha membebaskan diri.
 
Klething Kuning … Lari! Selamatkan dirimu!!!
 
Namun yang terjadi, alih-alih melarikan diri, Klething Kuning justru merayap dan berusaha sekuat tenaga menegakkan dirinya. Dengan lutut yang bergetar hebat, gadis pendekar itu berdiri di atas kaki yang telanjang.
 
Klething Kuning memejamkan mata, merapalkan mantra yang selama ini ia pelajari dari Calonarang. Sebuah jurus Itik Buruk Rupa Mencari Induk menjadi jurus andalan tertingginya di atas jurus Bangau Menari. Bibirnya komat-kamit mencang mencong mencap mencep membuat wajahnya tak sedap dipandang seperti seekor itik. Dengan kuda-kuda yang tak kokoh tangan kanannya terangkat dengan kelima jarinya mengarah ke depan sedang tangan kirinya berada di belakang pantat dengan telapak tangan tengadah.
 
Begitu bergerak, Klething Kuning bergerak serupa itik dan kepalanya bergerak maju mundur. Kekuatan yang terkumpul dari sisa-sisa tenaga dalamnya terbendung di inti tubuhnya dan dia berlari dengan kencang bahkan Panji sendiri hanya mendapati keselibatannya bayangannya.

Bum!!!
 
Sebuah pukulan menumbuk perut samping Wijaya yang kerasukan, membuat Wijaya melepas cengkeraman tangannya. Panji roboh dan semakin terbatuk dengan wajah yang hampir membiru karena kekurangan udara.
 
Rupanya jurus itu tak bisa menandingi Rahwana yang sedang dirundung oleh angkara murka. Ia hanya menyeringai dan bangkit sementara Klething Kuning yang sudah menggunakan sisa tenaga dalamnya rubuh begitu saja. Wijaya bangkit dengan tawa mengerikan yang membuat kuduk berdiri. Sebuah tawa yang membuat keseimbangan alam terganggu.
 
Guntur menyalak dari angkasa. Kilat menyambar membuat para penduduk desa memekik dan menghaturkan puja puji bagi Batara Shiwa. Langit menjadi mendung dikuasai oleh awan hitam bergulung menutup sang surya.
 
Panji yang terkapar meraba lehernya, bersyukur mendapati ia masih bernyawa. Klething Kuning … Demi aku engkau sampai mengorbankan ragamu!
 
Melihat Wijaya yang berjalan menghampiri Klething Kuning, napas Panji tersengal. Ia menutup kelopak matanya memanjatkan doa pada Sang Hyang Widhi agar bisa menguatkan raganya untuk melindungi perempuan yang sangat ia cintai.
 
Sang Hyang Widhi, kuatkan aku untuk melindungi gadis yang aku sayangi. Aku rela mati agar jantungnya tetap berdetak.
 
Panji mengatur pernapasan. Dia memusatkan perhatian pada cakra kepalanya, dengan tangan yang mengepal erat menahan nyeri dan rasa tidak terima karena sosok Rahwana yang merasuki tubuh adiknya.
 
Seketika, awan yang bergulung itu tersapu oleh angin ribut menguak kembali surya yang menyorot tubuh berpunuk itu. Pancaran mentari itu menyelimuti Panji menjadikan lelaki berparas buruk rupa itu bangkit dan berdiri. Panji berteriak dengan sangat kencang hingga punggung bungkuk itu tertarik ke belakang dan dadanya membusung. Ia menepuk dadanya serupa monyet besar yang menunjukkan kekuasaan. Seluruh tubuh Panji kini diliputi sinar putih yang menyilaukan mata,  karena seluruh tenaga dalam raganya telah bekerja.
 
Jurus pamungkas yang terakhir kali diajarkan oleh Empu Bharada adalah Jurus Hanoman Obong.
 
“Uukk … aakkk …uuk …aakk ….” Panji bersuara serupa monyet yang menggila. Dia menggaruk badannya dan berlari dengan tangan dan kaki ke arah Wijaya.
 
Wijaya menoleh dan dalam kondisi yang tak siap, tubuh Wijaya yang kerasukan Rahwana itu ditubruk oleh badan Panji yang juga dimasuki oleh Hanoman sang pelindung Dewi Shinta. Wijaya ambruk.
 
Panji menindih badan Wijaya dan mencabik dengan kuku monyetnya masih dengan ber uuk aak.  Sampai akhirnya sebuah jurus pamungkas Tapak Kethek Putih Gendheng menghantam dada Wijaya, membuat Rahwana yang bersemayam di tubuh Wijaya itu meraung dan lepas kembali ke kerisnya.
 
Pukulan itu membuat Wijaya menyemburkan darahnya. Matanya membelalak saat tapak itu menghujam tepat di ulu hatinya.
 
Maafkan aku Dinda Samarawijaya….
 
Panji ambruk kehabisan tenaga dan Wijaya yang merasa tubuhnya sangat lemah itu tergolek tak berdaya. Kedua saudara itu terkapar dan tak sadarkan diri.
 
Mbok Rondo Dadapan tersadar dari pingsan. Kepalanya pening namun mendengar suara Wijaya melolong, dia segera keluar sampai mendapati dua laki-laki dan satu perempuan terkapar. Tak pikir panjang, Mbok Rondo Dadapan berlari menghampiri anak angkatnya.
 
“Le … Sadar Le.” Mbok Rondo Dadapan menepuk pipi Wijaya. “Ayo, kita pergi dari sini, sebelum lelaki itu bangun untuk meremukkan tulang-tulangmu.”
 
💕Dee n Fura💕
 
 

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang