Ratna Manggali membungkukkan badan menghaturkan sembah. Dia memapah ibunya dan membantu menaikkan ke atas kuda. Ratna Manggali sengaja menunggang satu kuda bersama ibundanya, karena tubuh Calonarang sangat lemah.
"Kakang, aku pulang ...," kata Ratna Manggali menatap sendu wajah Bahula dari atas punggung kuda. Bahu dan dadanya kini menyangga tubuh Calonarang yang lemah.
Bahula meraih tangan calon istrinya. Dikecupnya lembut dengan penuh sayang tangan Ratna Manggali. "Adinda Ratna Manggali, nantikan aku datang untuk menjemputmu dan Ibunda. Aku harus menuntaskan titah yang Paduka Raja berikan."
Ratna Manggali mengalihkan tatapannya, mengamati dua insan yang dimabuk asmara- Panji dan Klething Kuning. Kemudian ia berkata ke arah para Klething. "Klething Merah, Hijau, Biru ... Kalian pulang ke Girah atau ingin ikut menyaksikan lamaran saudari kalian?"
Ketiga Klething itu saling berpandangan. "Sebaiknya kita ikut lamaran. Abdi yang tinggi kurus itu dari tadi melihatku terus ...." Klething Biru yang tinggi kurus itu mengedipkan mata ke arah Doyong.
"Benar ... Abdi yang bertubuh subur itu begitu menggemaskan." Klething Hijau menyisihkan anak rambutnya dengan gaya centil seraya memberi tatapan menggoda ke arah Lodhong.
Klething Merah menggeram. Kebiasaan genit kedua adiknya mulai lagi. "Aku percaya mereka sudah punya banyak istri!"
Klething Hijau dan Biru mencebik. "Mbakayu Ratna Manggali, kami pulang ke tempat Ibunda dulu. Bagaimanapun Kuning adalah saudari kami."
Ratna Manggali mengangguk paham. "Baiklah. Setelah itu pulanglah kalian ke Girah. Aku membutuhkan kalian untuk meneruskan ajaran kebajikan yang tersembunyi dalam kitab yang ditulis Ibunda."
Putri tukang tenung menepuk pelan perut kudanya. Ditariknya tali kendali kuda sebelah kanan agar kuda itu berbelok dan rombongan dari Girah itu kembali ke asalnya.
"Ayo ... kita ke rumahku. Ibunda pasti terkejut dengan kedatanganmu, Grasak," ujar Klething Kuning.
Mendengar nama Grasak terbelalaklah mata ketiga Klething. "Grasak?" Klething Merah mengernyit.
Panji menoleh dan memberikan cengiran khas dengan sorot mata yang dikenali oleh ketiga Klething itu. "Grasak ... Pangeran Panjalu?" Klething Hijau yang polos hanya bisa membuka mulutnya lebar.
Para Klething masih termangu saat rombongan kerajaan bergerak menuju ke rumah mereka. Mereka tak percaya lelaki berpunuk buruk rupa itu ternyata adalah pengeran yang rupawan dan gagah perkasa.
Mereka memasuki sebuah halaman yang berpagar tanaman katuk. Rumah itu berlantai tanah yang lebih tinggi kedudukannya dari tanah sehingga air hujan tidak akan mengalir ke dalam tumah. Rumah itu walau sederhana namun sangat bersih.
"Kuning!!! Mau kemana kamu! Kamu sudah berjanji membersihkan kan_" Mata Puspasari membelalak saat ia keluar dari ruang tengah menuju ke halaman untuk menghardik putri tirinya.
Wajah berang itu kebingungan mengatur ekspresinya. Netranya disuguhi oleh kedatangan seorang lelaki muda berwajah tampan dengan mata yang bulat berbulu lentik, hidung yang mancung, dan bibir merah muda. Di sisinya ada seorang tua berjubah putih dengan rambut putih yang helaiannya menjuntai di dada. Lelaki muda di belakangnya tampak bijak raut wajahnya. Wajahnya tak kalah rupawan dengan pangerannya.
Seorang lelaki lain yang terlihat berpangkat dengan gelungan rambut di atas kepala yang rapi, berjalan maju menyeruak rombongan dengan membawa hantaran yang sengaja disiapkan oleh pihak keluarga kerajaan.
"Hamba mengaturkan sembah, Nyai. Hamba mewakili keluarga istana, hendak meminang Putri Chandra Kirana, si Klething Kuning."
Mata Puspasari yang sudah besar semakin melebar. Rahangnya serasa ditarik oleh bumi saat mendengar apa yang dikatakan oleh senopati itu. "Ke ... ke ... keluarga kerajaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Fiksi Sejarah"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...