42. Aku Cinta Kamu

922 193 89
                                    

Panji ambruk setelah memukul telak Wijaya. Ia sempat pingsan. Beruntung tubuh yuyu itu menyimpan kekuatan besar. Ia siuman tak lama kemudian. Dengan pandangan yang setengah kabur karena lelehan darah dari luka di dahi, ia melihat tubuh sang adik yang berlumuran darah tengah diangkat oleh pembantu-pembantu Mbok Rondo Dadapan. Pemuda yang terluka parah itu kemudian dilarikan secepat mungkin. Panji tidak tahu akan dibawa ke mana adiknya. Ia sudah terlalu lemah untuk mengejar mereka.

"Maafkan Kanda, Dinda. Maafkan kita menjadi begini," bisik Panji. "Duh Sang Hyang Widhi, selamatkan adik hamba!"

Panji teringat Klething Kuning. Ia berbalik dan menghampiri gadis itu dengan langkah terseok. Matanya melebar saat menemukan gadis itu tergolek bersimbah darah dan tak bergerak. Sebuah luka menganga di bagian dada.

"Kuniiiingggg!" pekiknya. Ia ambruk di samping Klething Kuning. Dengan dada sesak karena rasa khawatir, diperiksanya luka itu. Seketika tulang-tulang Panji bagai meluruh. Luka itu dalam sekali dan menghitam. Itulah cedera yang diakibatkan akibat tulah keris Mpu Genggong.

Panji mengangkat tubuh kekasih hatinya itu ke pangkuan. Badan gadis itu masih hangat, namun terkulai lemas. Bibirnya kebiruan dan matanya setengah tertutup. Panji tidak menemukan denyut nadi di leher Klething Kuning. Pun dadanya tidak naik turun, pertanda ia sudah tidak bernapas.

"Kuning, Kuning?" panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu. Ia masih bersikeras untuk membuat wajah yang telah memucat itu untuk bangun. Cah Gendhengnya tidak boleh mati. Ia belum mau berpisah dengan gadis itu.

Usahanya sia-sia. Klething Kuning tetap terpejam dan tak bernapas. Barangkali gadis itu telah pergi untuk selamanya.

Menyadari itu, Panji menciumi wajah Klething Kuning berkali-kali kemudian mendekap erat tubuh lunglai itu ke dalam pelukan. Mulutnya hendak menangis, namun tak sepatah kata pun berhasil keluar dari tenggorokan. Akhirnya, hanya bahu yang berguncang dan tangis tanpa suara yang mewakili kepedihan hati.

Perjumpaan mereka yang singkat rupanya telah mencapai penghujung. Ia tidak pernah menyesali segala derita dan luka yang pernah diterima. Namun, untuk Klething Kuning, ada perkara yang belum tertuntaskan.

"Aku bahkan belum sempat mengatakan sayang padamu, Kuning," desah Panji di telinga gadis tangguh itu.

"Uughhh!"

Sebuah lenguhan lirih membuat Panji kaget. Direnggangkannya pelukan untuk melihat wajah Klething Kuning. Mata itu bergerak-gerak! Hati Panji seakan ingin meloncat keluar dari rongga dada karena terlalu gembira. Kiranya Sang Hyang Widhi masih memberikan kesempatan untuk mereka berbincang.

"Kuning? Kuning? Kamu bisa mendengarku?" Panji kembali menepuk-nepuk pipi Klething kuning dengan keras. "Kuning! Bangun, Kuning!"

Mata besar yang sayu itu membuka perlahan. Panji tersenyum dan tangisnya berderai kembali. Secercah harapan menggumpal di dalam dada pemuda itu

"Gr-gra-sak?" panggil Klething Kuning dengan bibirnya yang gemetar.

"Iya, Kuning, ini aku Grasak," jawab Panji seraya menghapus darah dan air mata dari wajah ayu Klething Kuning. "Bertahanlah, aku akan mencari obat untukmu."

"Uugh!" Klething Kuning merintih menahan sakit dari luka akibat tusukan keris Mpu Genggong. Ia berusaha melihat lukanya.

Mau tak mau mata Panji tertuju pada luka menganga yang mengerikan itu. Kulit di sekitar luka itu kini menghitam. Hatinya langsung menciut. Luka separah itu pastilah sangat nyeri. Klething Kuning menggerakkan kepala, berusaha melihat lukanya.

"Jangan dilihat," cegah Panji. Ditutupinya luka itu dengan kain jarik yang disobek.

"Lu ... lukanya pasti me-mengerikan," ujar Klething Kuning. "Ti-dak apa, Grasak. Aku siap pergi ... kapan saja."

"Jangan diteruskan. Kamu membuatku aku sedih kalau berkata begitu. Kamu haus? Aku ambilkan air, ya?" tanya Panji dengan suara parau.

"Ja-jangan! ... Temani ... aku ... saja," pinta Klething Kuning. Ia sudah tidak sanggup berbicara lancar. Darah yang banyak tertumpah membuatnya lemas lunglai. Tangannya menggapai mencari tangan Grasaknya.

Panji segera menggenggam tangan yang dingin itu. Ia sendiri harus mengerahkan tenaga untuk melawan rasa sakit di sekujur tubuh. Entah berapa lama waktu yang tersisa untuknya di dunia ini. Ia ingin berada di sisi gadis ini sampai semuanya berakhir.

Rupanya Klething Kuning juga merasa waktunya tak akan lama lagi. Ia tadi sempat kehilangan kesadaran sebentar lalu siuman. Agaknya, kesempatan ini adalah hadiah dari Sang Hyang Widhi untuk berpamitan. Sebagai seorang pendekar, ia sadar benar luka apa yang tengah melanda tubuhnya. Tak seorang pun bisa selamat setelah mendapat tusukan keris pusaka seperti itu.

"Grasak?" panggilnya.

"Iya, Kuning, aku di sini," jawab Panji dengan pilu.

"Jangan ... tinggalkan aku ... sampai ... sampai ... aku pergi."

Panji menangis. "Aku di sisimu sampai akhir, Klething Kuning. Aku sayang kamu, kamu tahu?"

Akhirnya ungkapan hati Panji tercetus juga. Perih sekali rasanya. Ia berhasil menyatakan perasaan justru saat gadis itu dalam sakratul maut. Namun, punya kesempatan mengungkapkannya saja sudah bagus, bukan?

Air mata meleleh di pipi Klething Kuning. Hatinya hangat walaupun bibirnya semakin membiru.

"A-aku ... tahu ... Grasak. ... Aku ... minta maaf ... telah ... meninggalkanmu .... Seharusnya ... aku tidak perlu datang ... ke sini ... seperti ... saranmu."

"Sudahlah, Kuning. Semua itu hanya masa lalu. Bertahanlah ya, Sayang? Bertahanlah untukku," ujar Panji dengan lirih. Ia tetap meminta Kleting Kuning hidup walau tahu itu hanya sebuah kemustahilan.

"Grasak ...," panggil Klething Kuning. Kali ini matanya melebar dan berbinar.

"Ya, Sayang?"

"Grasak ... aku rasa ... aku ... aku ...." Klething Kuning mengumpulkan kekuatan untuk mengucapkan isi hati. Tidak apa bila Grasak tidak menyambut. Toh ia akan pergi jauh.

"Ya, Sayang? Bicaralah. Aku di sini mendengarkan."

"Grasak ... aku ... sebenarnya ... mencintaimu," ujar Klenting Kuning hampir tak terdengar karena tenaganya nyaris habis.

Panji tersedu karena pernyataan cinta di saat-saat terakhir itu. Walau tahu kemungkinan untuk bersama selanjutnya sangat kecil, ia bahagia mengetahui perasaannya bersambut. Biarlah hanya bisa memadu kasih selama beberapa kedipan mata, ia sudah puas. Serasa hidupnya telah penuh. Ia rela mati kapan saja.

"Aku juga cinta kamu, Klething Kuning. Sangat, sangat cinta!"

Klething Kuning berusaha tersenyum dengan bibirnya yang membiru. Tulah Mpu Genggong telah mencapai leher sehingga kulit di bagian itu turut menghitam. Rasanya nyeri seperti terbakar. Tiba-tiba ia teringat satu hal yang dulu sempat didambakan Grasak dan belum terpenuhi. Ia ingin memberikannya sekarang.

"Se-sebelum ... aku ... pergi ... bolehkah ... a-aku ... menciummu, G-Gr-Grasak?"

Panji mengangguk beberapa kali. "Tentu boleh. Kamu boleh mencium sebanyak yang kamu mau, Sayang."

Tangan Panji menopang kepala Klething Kuning agar bisa mendekat ke wajahnya. Ia bergeser sedikit agar gadis itu dapat meraih bibirnya.

"Aku ... cinta ... kamu," bisik Klething Kuning. Sesudah itu, bibirnya mengerucut dan mendekat ke bibir Panji dengan sisa tenaga.

Panji menunduk untuk meraih bibir tipis itu dengan bibirnya lalu mengulumnya dengan lembut. Air matanya menetes ke pipi Klething Kuning dan menyatu dengan air mata gadis itu. Itu adalah ciuman paling membahagiakan sekaligus memilukan yang pernah ia alami. Sesaat kemudian, ia merasakan napas terakhir Klething Kuning terembus disusul oleh tubuh ramping yang melemas dan terkulai.

"Selamat jalan, Kekasih Hatiku," bisik Panji. "Tunggu aku di sana, Cah Gendheng."

Ia membaringkan tubuh Klething Kuning di tanah, lalu ambruk di dada kekasihnya sambil menangis tanpa suara.

💕Dee n Fura💕

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang