31. Dua Hati Yang Luluh

764 156 34
                                    


Panji masih terduduk di atas tanah. Sedang Klething Kuning berdiri memandang lelaki yang tertunduk itu. Ia mengerutkan alis merasa iba dengan lelaki yang sempat menjailinya beberapa waktu yang lalu.

"Aku malu ...."

Suara Panji yang lirih disampaikan oleh angin yang berembus kencang masuk ke dalam liang pendengaran Klething Kuning. Klething Kuning menghela napas panjang, masih menatap lelaki yang kini seperti anak kecil yang kehilangan ibunya.

Klething Kuning berjongkok, menyetarakan pandangan mereka. Gadis itu mengangkat dagu Panji yang tertunduk. Terkesiap ... Lagi-lagi Klething Kuning terpesona bola mata besar yang berbulu lentik itu. Bibir merah muda yang menul-menul manis terpajang di wajah buruk rupa itu.

"Kenapa malu?" tanya Klething Kuning.

Panji tidak menjawab. Ia masih menatap wajah bulat telur berkulit kuning langsat dengan mata bulat besar yang kilatannya mampu menghipnotis Panji. Jangan lupakan bibir tipis mungil yang membuat Panji gemas.

"Kenapa malu?" Klething Kuning mengulangi pertanyaannya.

"Aku ... takut dengan kucing. Pengalamanku digigit membuatku celaka," kata Panji dengan wajah yang memelas karena menahan nyeri.

Mungkin, kalau Panji tidak menunjukkan ekspresi seperti itu, tawa Klething Kuning akan meledak. Namun, kali ini Klething Kuning mengunci bibirnya, masih memaku tatapan pada beningnya bola mata besar yang tidak simetris itu. Bola mata yang mampu menenggelamkan pada pesona tersembunyi seorang lelaki yang dikenalnya dengan nama 'Grasak'.

"Tidak ada orang yang sempurna bukan? Kenapa mesti malu?" Klething Kuning mengulas senyuman yang membuat aura kecantikannya menguar. "Aku juga takut air, karena dulu bila aku bersalah, ibu tiriku akan memasukkan kepalaku ke dalam gentong berisi air yang membuat aku gelagapan."

Sepenggal kisah Klething Kuning itu seolah sedikit demi sedikit menghancurkan tembok pemisah antara mereka.

Sepenggal kisah itu menjadi kunci yang membuka gembok yang mengunci hati Klething Kuning.

Panji mengerjap-ngerjap menggerakkan bulu mata lentik yang membuat Klething Kuning kembali terkesiap. Wajah mereka saling berhadapan dan jaraknya hanya dua jengkal. Terlintas makhluk kecil merah dengan dua tanduk di kepalanya dan berekor runcing berbisik pada Panji.

"Panji ... bibir Kuning tinggal dua jengkal. Tinggal sekali sruduk kamu mendapatkan ciumannya."

Mata Panji membulat dan membentuk ulasan senyum yang dianggap Klething, bahwa kata-katanya mampu menghibur Panji.

"Panji ... jangan! Kamu adalah lelaki bangsawan terhormat! Lakukan dengan cara terhormat." Sosok kecil bersayap berwarna putih itu berbisik di telinga kanan Panji.

Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, Panji menggosok telinganya. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya. Namun, suara jahat itu muncul lagi. "Panji ... Panji ... pengecut sekali kamu! Masa tinggal dua jengkal kamu tidak mau memanfaatkan kesempatan. Dengar Panji! Kesempatan tidak akan datang dua kali!"

Panji menelan ludah membenarkan sisi jahatnya. "Panjiiiii, ja_"

Panji mengorek telinganya kemudian menjentikkan jari seolah menghalau suara baik yang akan menghancurkan niat jahatnya. Suara jahat itu tertawa puas dan menyemangati Panji saat lelaki itu mengikis jarak antara dia dan Klething Kuning.

"Ayooo Panji, kamu bisa!!!"

Dengan sekuat tenaga, Panji melawan nyeri. Ia memejamkan mata, dan mengerucutkan bibir dengan bergetar. Lelaki itu berusaha mendekatkan wajah ke bibir Klething Kuning.

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang