36. Hati Yang Terbelah

762 161 57
                                    

Calonarang geram mendengar ketiga muridnya gagal melaksanakan tugas. 

“Di mana mereka sekarang, Ireng?” tanya Calonarang kepada burung gagak pembawa pesan yang sekaligus adalah mata-mata ulung.

“Di rumah ibu mereka di Lemahireng,” jawab si burung gagak.

“Panggil mereka ke sini!”

“Baik, Nyi.”

Calonarang kemudian bersiap melakukan sesuatu. Ratna Manggali dan Ireng saling pandang dengan wajah cemas.

“Ibunda hendak melakukan apa?” tanya Ratna Manggali.

Calonarang menggeram. “Heehhh! Jangan harap lelaki-lelaki genit itu bisa hidup tenang setelah menggagalkan rencanaku!” Sesudah berkata begitu, perempuan renta itu menghilang ke biliknya.

Ratna Manggali berusaha menahan niat sang ibu, namun Calonarang yang murka tidak dapat dihentikan. Tak lama kemudian, di desa Girah dan desa sebelahnya, Kadipan, terjadi kehebohan. Beberapa keluarga meninggal secara bersamaan tanpa tahu penyebabnya.

***

“Kakang Ande Ande Lumut!” seru Klething Kuning pagi itu dengan senyum secerah matahari pagi. Hatinya berdebar saat mengetahui siapa yang berkunjung kembali ke gubuknya.

“Iya, ini aku, Cah Ayu. Aku tidak bisa sedetik pun jauh darimu,” kata Wijaya. Ia sendiri bingung mengapa selalu ingin datang ke gubuk reyot yang bau ini.

Klething Kuning merona merah muda. Wajahnya semakin jelita saja. Jamu, lulur, mangir, dan ratus membuat penampilannya semakin bersinar.

“Kamu semakin cantik dan harum, Cah Ayu,” puji Wijaya. “Simbokmu sangat pandai merawat perempuan.”

“Simbok keturunan abdi istana pada zaman kerajaan Medang, Kakang,” jawab Klething Kuning. 

Tahu-tahu tangan Wijaya sudah berada di kepalanya, mengelus rambut panjang bergelombang yang dihiasi kembang kamboja di telinga. 

“Rambutmu harum, Klething Kuning,” bisik Wijaya. Ia mendekatkan wajah dan menghirup aroma ratus yang memabukkan. Tak lama kemudian, matanya terpancang bibir kemerahan milik gadis itu. 

Oh, jantung Wijaya terpacu. Ia segera mengarahkan wajah ke sana sambil terpejam. Bibirnya mendarat di sesuatu yang harum. Saat membuka mata, ternyata mulutnya telah ditahan tangan gadis itu.

Klething Kuning kaget dengan kenekatan Wijaya. Hatinya berdebar keras dan ingin menghambur ke pelukan pemuda rupawan itu. Namun, sesuatu di dasar hatinya menahan. Ia tidak boleh seperti itu sebelum menikah. Bukankah badannya hanya untuk suaminya kelak?

“Oh, maafkan, Kakang. Jangan sekarang. Bersabarlah sehari lagi. Saya masih harus berpuasa sehingga tidak boleh tersentuh lelaki. Nanti aura pengantinnya akan hilang,” bohong Klething Kuning.

“Aaahh, Cah Ayu! Kamu membuatku mabuk cinta,” keluh Wijaya sembari merengut manja. “Menunggu sehari itu serasa setahun bagiku!”

Klething Kuning mengulas senyum tersanjung yang manis sekali.

“Besok, berangkatlah pagi-pagi. Aku tak sabar bila harus menunggu hingga siang,” ujar Wijaya lagi. Tangannya meraih tangan Klething Kuning dan mengelusnya dengan lembut. “Ayo kita jalan-jalan di tepi sungai!” Wijaya menggandeng gadis cantik itu keluar halaman rumah.

Klething Kuning tertunduk sembari mengamati tangannya yang digandeng. Tangan Wijaya halus dan hangat. Sesuatu bergulung di dalam hati. Seharusnya ia bahagia, bukan, mendapatkan suami yang kaya lagi rupawan? Tugas dari gurunya pun terpenuhi. Akan tetapi, mengapa hatinya gundah begini?

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang