43. Siapa Namamu?

860 180 66
                                    

Panji melepas pagutan mereka bertepatan dengan tangan Klething Kuning yang terkulai lepas tak berdaya. Gadis itu telah memucat dengan semburat hitam yang mulai menyebar dari daerah dadanya.
 
Panji melipat bibirnya, menahan isakan dan hati yang merintih karena lara akibat ditinggalkan oleh perempuan yang telah menjerat batinnya. Walau air mata mengucur deras di pipinya, Panji tidak bersuara. Ia memandangi gadis ayu yang kini telah meregang nyawa. Gadis ayu yang mencintainya apa adanya, walau penampakannya buruk rupa.
 
"Selamat jalan, Kekasih Hatiku," bisik Panji. "Tunggu aku di sana, Cah Gendheng."
 
Panji meletakkan jasad Klething Kuning di tanah yang dibasahi oleh darahnya sendiri. Diambrukkannya tubuh besar berpunuk itu mendekap perempuan mungil yang berkemben kuning. Dia ingin menikmati kebersamaan mereka, sampai pada gilirannya Sang Hyang Widhi memanggilnya.
 
Dalam kepiluan Panji tak henti-hentinya meneteskan bulir bening seraya bersenandung sebuah tembang yang digubahnya untuk sang adik Wijaya si Ande-Ande Lumut.
 
"Putraku si Ande Ande Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ayu rupane
Klething Abang iku kang dadi asmane
Adhuh, Ibu, kula mboten purun
Adhuh, Ibu kula mboten mudhun
Nadyan ayu sisane si Yuyu Kang-kang
 
Putraku si Ande Ande Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ayu rupane
Klething Ijo iku kang dadi asmane
Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa
Kang putra taksih dereng kersa
Amargi putra taksih nandhang asmara
 
Putraku si Ande Ande Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ala rupane
Klething Kuning iku kang dadi asmane
Adhuh, Ibu, kula inggih purun
Kang putra inggih badhe mudhun
Nadyan ala punika kang putra suwun"
 
Dada Panji terasa sesak oleh kesedihan. Semua orang yang ia sayangi terluka. Samarawijaya, sang adik telah dilukainya demi mengeluarkan Rahwana dari Keris Mpu Genggong dan Klething Kuning pun berpulang karena terluka menyelamatkannya.

Punggung berpunuk ia bergetar hebat hanya mengeluarkan melodi ratapan. Gelombang kesedihannya ditangkap oleh kayangan yang menyaksikan ketulusan cinta sepasang anak manusia. Suara rintihan Panji diembuskan oleh bayu hingga sampai ke pendengaran Batara Brahma yang penuh welas asih.

Batara Wisnu sang pemelihara dan Batara Shiwa sang perusak untuk menciptakan keseimbangan alampun menaruh belas kasih. Tiga Batara itu mengembuskan napas keilahian mereka turun dari kahyangan ke tujuh.

Embusan roh ilahi itu menyingkap tabir awan yang meliputi mentari. Pancarannya menyorot dari langit menyinari dua insan yang terkulai lemas di halaman rumah Mbok Rondo Dadapan. Sinar itu menarik Panji, membuat rengkuhannya terlepas. Panji yang kini sudah tidak sadarkan melayang di udara dengan kaki yang tak menapak bumi.

Tubuh besar dan kekar berpunuk itu berputar-putar seperti angin puting beliung yang memporak porandakan seluruh benda yang ada di sekitar halaman. Bunyi dentuman kayu jendela berulang terdengar. Benda-benda kecil ikut terlempar karena begitu kencangan pusaran tubuh Panji yang melayang.

Lambat laun, pusaran itu melemah seiringtubuh Panji yang turun dan direbahkan oleh tenaga alam. Seolah Batara Bayu yang membaringkan dengan penuh kasih lelaki yang masih hilang kesadarannya. Wajah buruk rupa itu berangsur menghilang seiring sang Batara mengembuskan napas kehidupan di mulutnya.

Angin ribut seketika lenyap bersamaan dengan Panji yang membuka kelopak matanya terbatuk seolah dadanya baru saja ditindih oleh beban berat.

"Uhuk ... uhuk ...." Panji mencengkeram dadanya. Pikirannya mengatakan saat ini ia sudah mati. Namun saat manik matanya mengedarkan pandangan ke segala arah, disadarinya ia masih berada di halaman rumah Mbok Rondo Dadapan.

"Kenapa aku ... belum mati?" Panji yang berbaring terlentang menegakkan tubuh bersandar pada siku lengannya. Kepala menoleh ke kanan dan ke kiri karena kebingungan.

Panji meringis menahan nyeri di punggung. Dia kembali menggeser pantatnya mendekati Klething Kuning yang masih tergeletak tak bernyawa. Kembali dia mengusap wajah pucat itu dengan penuh rasa sayang.

Namun, saat telapaknya menyeka wajah Klething Kuning, sesuatu hal yang tidak dinyana terjadi. Tangan capitnya kini berubah menjadi tangan manusia yang berjari lima. Manik mata Panji membelalak, sambil mengangkat tangannya yang kini sudah menyerupai manusia.
Diangkatnya tangan itu dan dibolak-balikkan seolah ia baru melihat tangan serupa itu. Panji juga meraba wajahnya. Matanya kini sudah berukuran sama besar, hidung sudah kembali mbangir, dan dagunya yang belah kini sudah kembali lagi ke asalnya.

Panji kini mengalihkan pandangannya ke arah Klething Kuning. Dia tidak menginginkan perubahan penampakannya kalau tidak ada Klething Kuning di sampingnya. Gadis itu telah tergolek lemah di tanah yang nantikan akan kembali menjadi tanah.

Panji merubuhkan tubuhnya. Memeluk Klething Kuning yang tangannya terkulai tak berdaya saat Panji mengangkat tubuh itu.

"Kuning ... aku mencintaimu." Isakan Panji lolos dalam ratapannya. Ia masih mendekap kuat tubuh mungil itu tidak ingin orang lain mengambilnya, bahkan Sang Hyang Widhi yang mempunyai kehidupan.

"Gra ... sak ... Engkau menyakiti aku."

Panji mengerjap-kerjap. Ia yakin mendengar suara Klething Kuning. "Hantu?"

"Grasak, lepaskan pelukanmu! Kamu menyakitiku!" Bola mata Panji membulat. Dia mengurai pelukannya dan menegakkan tubuhnya.

"Kuning!! Kamu ... kamu masih hidup! Demi Batara dan Batari di kahyangan, puja puji kupanjatkan bagi kemuliaan namamu!!" Wajah mendung Panji berbinar cerah. Wajah pucat yang terusir dari muka Klething Kuning itu membuat batinnya menghangat.

"Bagaimana bisa?" tanya Panji tak percaya menangkup pipi Klething Kuning dengan satu telapak tangannya.

"Cintamu yang menyelamatkanmu. Doamu yang membuat para Batara menaruh iba," kata Klething Kuning dengan lemah. "Kamu terlihat tampan Grasak. Tampan sekali!" Bulir bening Klething Kuning lolos dari sudut matanya mengalir ke pelipis. Tangan kanannya terangkat meraba wajah yang tidak pernah dilihatnya namun terasa tak asing.

Sorot mata itu yang masih tersisa. Sorot mata yang membuat jantung Klething Kuning selalu berdetak kencang bila bersitatap dengannya. Bibir merah muda menul-menul itu masih terpasang apik menambah ketampanan sosok Pangeran Kahuripan. Dan wangi tubuh itu, masih sama dengan aroma tubuh yang memabukkan Klething Kuning.

"Siapa namamu, Kakang Mas?" tanya Klething Kuning dengan lemah karena tenaganya belum pulih benar.
 
"Panji ... Mapanji Garasakan, Pangeran Kahuripan." Klething Kuning mengulas senyuman dari bibir tipisnya.
 
"Panji ... Panji Garasakan. Kenalkan aku Chandra Kirana si Klething Kuning." Panji mengusap buliran bening yang meringsek keluar tiada henti karena menahan haru,
 
"Namamu cantik, secantik orangnya. Chandra adalah rembulan, Kirana adalah sinar. Ya ... engkau adalah sinar rembulan yang menerangi malam kelamku, Kuning." Klething Kuning terkekeh, namun kemudian mengernyit karena kesakitan, sehingga membuat Panji khawatir.

"Sakit sekali, Kuning?" tanya Panji. Ia baru menyadari bahwa darah yang keluar dari luka di dada belum berhenti mengalir. 

"Kamu masih memanggilku Kuning," kata Klething Kuning sambil meneteskan air mata, namun masih bisa tertawa.  

"Aku akan memanggilmu Klething Kuning. Pendekar mungil yang sakti." Panji menangkup tangan Klething Kuning yang masih berada di pipinya. Dia menarik tangan kecil itu dan mengecupinya dengan lembut. Dalam tangisnya Panji ikut tertawa.
 
"Grasak ...."
 
"Ehm ...."
 
"Boleh aku memanggilmu Grasak?" tanya Klething Kuning.
 
"Panggillah apapun yang kamu suka, Cah Gendeng." Mereka bersitatap dengan penuh cinta. "Ayo, kita pulang ke rumah Simbok. Kita obati lukamu."
 
Dengan sekali tarikan napas, Panji membopong tubuh kecil Klething Kuning di lengan kekarnya. Klething Kuning menikmati rengkuhan hangat Panji, dan menyandarkan kepalanya di dada bidang lelaki itu.
 
"Grasak ...."
 
"Ya ...."
 
"Maafkan aku karena sempat meninggalkanmu," ujar Klething Kuning lirih.
 
"Tidak usah bicarakan masa lalu, kita tatap saja masa depan."
 
Ditemani oleh angin yang sepoi-sepoi mempermainkan rambut Klething Kuning yang tergerai di bawah lengan Panji, lelaki itu berjalan tergesa menyusuri jalan yang menghubungkan tepi sengai dan gubuk Mbok Rondo Peparing. Mereka berjalan dalam keheningan. Hati mereka dipenuhi oleh rasa syukur karena mereka masih diperkenankan untuk bisa saling bercakap. Namun, napas Klething Kuning yang tersengal, dan darah yang terus mengucur, membuat jantung Panji berpacu keras.

💕Dee n Fura💕

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang