18. Hukuman Wijaya

802 156 45
                                    

Airlangga masih terpaku di singgasana dengan wajah murka. "Dinda Dewi Laksmi, aku tidak menyangka Dinda bisa berbuat nista seperti itu! Dinda adalah putri paduka raja Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok, pendiri Wangsa Isyana yang terhormat, mengapa kau kotori darah Isyana dengan perbuatanmu?"

Dewi Laksmi menunduk sambil menangis terisak. Ia mulai menyesali semua gelap mata karena Wijaya menjadi perempuan tempo hari. Sehingga menuduh itu adalah usaha untuk menyingkirkan putranya dari tampuk kekuasaan.

"Dinda berpikir Kanda tidak berbuat adil terhadap putra-putra Kanda sendiri? Begitu, Dinda?" sentak Airlangga yang belum habis marahnya. "Baiklah, Kanda akan adil sekarang. Dengarkan semua yang hadir di sini!"

Airlangga menghela napas beberapa kali sebelum mengeluarkan titah. "Bila Mapanji Garasakan tidak kembali ke keraton ini, aku jamin, Samarawijaya pun tidak akan naik tahta. Mengerti? Jadi jangan ada yang mencoba-coba mencelakai Putra Mahkota lagi!"

Dewi Laksmi masih menangis sesenggukan. Tak ada yang lain yang dapat dikatakan selain menerima keputusan itu. Entah setan dari mana yang membuat hatinya gelap mata kemarin. Ia kini sadar penuh betapa buruknya akibat dari iri hati itu.

"Paduka Raja, hamba menerima semua keputusan Paduka. Maafkan hamba yang telah lupa diri dan mengakibatkan Putra Mahkota celaka."

Airlangga mendengkus keras. Dewi Laksmi segera tahu bahwa hukuman itu akan berlanjut ke peraduan mereka. Airlangga adalah seorang yang selalu bersungguh-sungguh. Bercanda pun dia bersungguh-sungguh, apalagi murka. Sudah pasti dirinya tidak akan luput dari hukuman.

Cukup lama Airlangga menatap sang permaisuri. Ia juga bingung menetapkan hukuman untuk istri yang dikasihinya itu. Setelah membuang rasa sesak di dada dengan mengembuskan napas berkali-kali, akhirnya ia berpaling kepada gurunya, Mpu Bharada.

"Paduka Mpu Bharada, hukuman apa yang pantas hamba berikan pada permaisuri hamba? Apakah hukuman cambuk layak untuknya?" tanyanya dengan nada suara yang masih sangat kecewa. Ia tidak menyangka, perempuan yang selalu disayang karena setia mendampingi saat dirinya melarikan diri dari mahapralaya Medang dan bertapa di Vanagiri itu bisa berbuat sekeji itu.

Mpu Bharada mengangguk-angguk kecil beberapa kali sambil menyingkapkan lengan di dada. "Hmm, Ananda Paduka Raja, janganlah memberikan hukuman yang tidak berguna dan hanya memberikan rasa sakit saja. Nanti permaisuri Paduka hanya akan membenci Paduka."

Airlangga mengerutkan kening. Kata-kata Mpu Bharada selalu berhasil membuatnya terheran-heran. "Seperti apakah hukuman yang tidak membuat sakit? Bukankah semua hukuman itu tujuannya untuk membuat sakit agar yang dihukum menyadari kesalahannya?"

"Hukuman yang baik itu, Ananda Raja, memang akan dirasakan sakit. Akan tetapi, sebuah hukuman harus pula membuat orang yang dihukum menyadari kesalahannya, bukan membuatnya membenci orang yang menghukum. Hukuman cambuk hanya akan membuat Permaisuri semakin membenci Paduka."

"Katakanlah, Paduka Guru, hukuman apa yang pantas bagi permaisuri hamba?"

"Hmm, hukuman bertapa di mata air Belahan[1] di Gunung Penanggungan akan sangat bagus bagi Permaisuri. Mata air di sana adalah mata air suci yang tak kalah suci dari mata air di petirtaan Jalatunda."

Mata Airlangga melebar. Ia tahu mata air suci yang terletak tak jauh dari pertirtaan Jalatunda. Ia bahkan pernah bertapa di sana.

"Baiklah, terimalah hukuman bertapa di Belahan. Dinda hanya boleh mengakhiri masa bertapa saat Putra Mahkota kembali ke keraton ini dengan sehat tak kurang suatu apa. Karena itu memohonlah kasih karunia Sang Hyang Widhi untuk

Putra Mahkota dan kita semua[2]."

Sesudah menitahkan hukuman itu, Airlangga menggerakkan tangan kepada para dayang dan pengawal untuk membawa Permaisuri bersiap menjalani hukuman. Setelah permaisuri berlalu dari balai itu, mata Airlangga kembali menatap Wijaya yang kini gemetar dalam sujudnya.

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang