19. Penawar Kutukan

751 160 50
                                    

Sebelum baca part 19-20 ikutin dulu peta berikut ini

Seperti biasa pagi ini Panji sudah duduk di tepi bantaran sungai Brantas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti biasa pagi ini Panji sudah duduk di tepi bantaran sungai Brantas. Kali yang membelah desa itu alirannya cukup tenang pagi ini. Sesuai dengan ajaran Mbok Rondo Peparing, setiap akan memulai usahanya, Panji diingatkan untuk menghaturkan sembah syukur kepada Sang Hyang Widhi untuk berapapun hasil yang akan di terima dan memohon perlindungan agar usahanya menjadi berkah bagi sesama.

Panji duduk di tanah di depan rakit yang mengapung dipermainkan derasnya aliran arus sungai. Semalam hujan cukup deras, walau tidak sampai menimbulkan banjir seperti saat ia datang. Panji dengan susah payah menutup kelopak matanya dan mengangkat tangannya yang terkatup ke atas dengan bibir yang ndremimil melafal doa.

Semoga usaha hari ini laris manis supaya hamba bisa memperbaiki rumah Simbok.

Permohonan tulus Panji yang sederhana itu kemudian dikabulkan oleh Sang Hyang Widhi. Belum selesai ia berdoa, seseorang mengetuk punuknya yang keras. Punuk itu serupa cangkang. Saking kerasnya ia tidak merasakan sensasi apapun bila disentuh di bagian situ. Barulah Panji sadar seseorang menyentuhnya saat orang itu menepuk bahunya.

Panji membuka kelopak matanya, dan mendongak. Wanita berkebaya lurik khas Daha tampak berdiri di depannya dengan pandangan bergidik dan beringsut mundur.

"Ada apa, Nyai?" tanya Panji dengan senyuman serupa seringai.

Wanita berumur 40 an tahun menatap Panji dari atas ke bawah kembali ke atas lagi sebelum dia mengatakan maksudnya. Panji sudah terbiasa dengan ekspresi pertama setiap orang yang akan menjadi pelanggannya.

"Antarkan aku ke Daha," titah wanita itu.

Panji mengerutkan mendengar permintaan perempuan itu. "Daha?"

"Iya. Aku butuh cepat sampai ke Daha pagi ini. Lewat sungai aku lebih cepat sampai ke pusat kota," terang wanita yang dandanannya terbilang menor. Alisnya tergambar tidak simetris, dengan gincu merah merona. Perona pipinya membuat pipinya tampak seperti pipi yang terbakar.

"Daha cukup jauh, pulangnya aku harus melawan arus sungai." Wanita itu paham maksud Panji.

"Katakan yang kau minta aku akan membayarnya. Asal antarkan aku, tunggu dan pulangkan aku dengan selamat."

Mata Panji berbinar. Tak masalah hanya mendapat satu pelanggan, karena sekali mendayung, dia akan membawa pulang 2 hari hasil usahanya mengayuh rakit. Setelah mengatakan besaran tarifnya, dan wanita itu dengan mudahnya setuju, ia lantas menarik rakit agar pelanggan pertamanya bisa naik ke atasnya.

Panji pun akhirnya mulai mendayung rakit menuju ke hilir di mana kota Daha berada. Sangat jarang penduduk Peparing pergi ke Daha dengan menggunakan rakit. Kebanyakan dari mereka tidak mau repot melawan arus saat pulang sehingga memilih menggunakan jalur darat mengelilingi bukit. Tentu saja perjalanan darat memakan waktu yang lebih lama dibanding dengan menggunakan rakit.

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang