9. Kutukan Panji

811 158 27
                                        

Panji meronta saat empat punggawa yang berbadan besar yang biasa menjadi pagar betis bagi Airlangga mencengkeram kedua lengannya. Dikerahkannya segenap kekuatan untuk membebaskan diri. Panji meringis dengan leher yang memperlihatkan guratan urat yang menonjol.
 
Pembuluh darah besar lehernya berkedut sama manik matanya tersaji pemandangan keji ketika Narottama menancapkan keris ke dada Paramitha. Darahnya menggelegak meronta dari jantung membuat hatinya panas hampir mendidih.
 
“Paramithaaaaa!!!” Keris itu menembus dadanya menyobek kulit kuning langsat yang membalut tubuh moleknya.
 
Paramitha membelalak saat keris itu menancap di dadanya hendak mengoyak seluruh rongga dadanya. Darah segar memuncrat memenuhi puri tempat Panji beristirahat. Semburan darah merah itu bahkan mengenai wajah dan tubuh Panji yang membuat hati Panji pun terkoyak mendapati cinta pertamanya tumbang dan menyerukan namanya saat tubuh ringkih itu meregang nyawa.
 
“Kan … da ….” Napas Paramitha tersengal rubuh.
 
Panji sudah tidak mampu menahan diri lagi. Dalam keadaan darahnya yang sudah panas terpompa oleh jantung di seluruh tubuhnya, seluruh otot Panji menegang, matanya memerah dan dengan sekali sentakan, dia berhasil membebaskan diri dari para punggawa Airlangga.
 
Melihat Airlangga ingin menghalangi apa yang dilakukan oleh Rakryan Kanuruhan Narottama, ia pun bergegas menghampiri putranya. Gerakan tiba-tiba itu membuat Panji memberikan tendangan keras, membuat Raja Kahuripan itu terpental hingga kepalanya membentur pondasi pilar gunung yang berasal dari batu gunung.
 
Airlangga roboh, dengan cairan merah yang mengalir di permukaan gunung itu. Melihat orang yang ditendangnya adalah ayahandanya sendiri, membuat mata Panji membulat tak percaya dengan apa yang sudah dilakukannya.
 
Panji linglung melihat dua orang yang terkulai di lantai marmer yang dingin di purinya. Pandangannya nanar bergantian dari Paramitha yang sedang kritis dengan keris yang masih menancap di dadanya, ke Airlangga yang tumbang dengan kesadaran mulai menurun.
 
“Pa … pa … ngeran! Te … rimalah kutukanku! Jadilah kau … yuyu kangkang … buruk rupa!!”
 
Bersamaan dengan rapalan  kutukan yang dilontarkan dari bibir Airlangga, alam menyambut dengan gelegar guntur yang menggema di bumi Kahuripan. Awan hitam bergulung-gulung menyapu gemerlap bintang yang menggantung di atas awan. Kilat bergantian menyambar seiring dengan gemuruh halilintar yang memekakkan telinga.
 
Angin yang berembus dengan kencang membuat dahan dan ranting bergoyang melambai-lambai. Dedaunan pun gugur  dan tersapu oleh embusannya yang kencang. Begitu kerasnya angin yang bertiup membuat jendela yang sudah ditutup itu terbuka dan bergerak bolak balik pada engselnya. Sang bayu yang murka itu meniup kain gorden dan kain kelambu di balai peristirahatan Panji yang kini sudah dibanjiri oleh darah. Api dari ujung sumbu pun padam saat angin menghempas, membuat kelam seisi bilik.
 
Seolah rapalan kutukan itu didengar oleh Bathari Durga, istri Shiwa sang perusak alam semesta, amukan alam itu membuat pusaran angin di sekeliling tubuh Panji. Panji terseret dalam arus pusaran angin yang mengitarinya. Sekuat tenaga Panji melawan hingga tubuhnya tidak terseret dalam amukan angin itu.
 
Kain yang membebat tubuhnya melambai-lambai tak tentu arah dipermainkan oleh bayu. Panji bertahan sampai amukan alam itu mereda.
 
Gemuruh guntur lambat laun tak lagi terdengar. Kilat yang menyambar itu pun menghilang setelah awan hitam tersingkap memperlihatkan langit terang dengan kerlipan bintang dan bulan sabit. Angin pun mereda dan pusarannya mulai meninggalkan tubuh Panji.
 
Panji tersungkur. Tenaganya melemah karena lelah mempertahankan tubuh agar tidak terseret dalam arus angin yang sangat kencang. Saat dia menegakkan tubuhnya, manik matanya menumbuk pada penampakan lengan yang asing.
 
Lengan itu membesar dengan bintil- bintil yang muncul dari permukaannya. Saat Panji meraba permukaannya, bukan kenyal yang dirasakannya melainkan rasa kasar dan keras serupa cangkang di lengannya. Panji meluruskan tangan dan melihat jemarinya tidak lagi seperti yang dulu dipunyai. Empat jemarinya bersatu dan sekuat tenaga Panji memisahkan tetapi tetap saja jemari itu lengket satu sama lain. Jemari Panji kini menyerupai capit.
 
Capit? Capit yuyu? Demi Batari Durga, jangan sampai keinginanku dulu terwujud. Apakah benar kutukan ayahanda terjadi padaku?
 
Panji bangkit dengan susah payah, dan saat berjalan …
 
Sekuat tenaga Panji ingin berjalan ke depan namun gerakan kakinya membawanya ke … samping! Lagi … Panji menggerakkan kaki dan tetap saja Panji berjalan menyamping.
 
Dengan tergopoh Panji mendapati cermin buram yang ada di salah satu sudut kamarnya. Sudut yang digunakan untuk mengagumi sendiri ketampanannya kini menjadi sudut yang membuatnya bergidik ngeri melihat penampakannya.
 
Panji membelalak. Bukan … matanya bahkan tak bisa menutup dan membuka dengan leluasa. Matanya kini mempunyai bola mata yang menonjol tidak simetris, bahunya membesar, dengan punggung melengkung serupa bentukan cangkang kepiting. Tangannya pun membesar ke ujung dengan bentukan capit. Kakinya pun mengecil dengan lutut yang entah kenapa tidak bisa menggerakkan tubuhnya ke arah depan melainkan menyamping. Persis seperti pergerakan hewan yang ada di air itu.
 
“Aaaarrrrrgggghhhhh!!!!” Panji melolong keras mendapati penampakannya. Dia mencapit sendiri rambutnya yang membuat gelungan kecil di pucuk kepalanya terurai.
 
Melihat tampilannya yang buruk rupa, Panji semakin bingung. Apalagi dengan apa yang telah dilakukannya karena telah membuat ayahandanya terkapar dan gadis yang dicintainya kini telah tak bernyawa.
 
Dengan tergopoh Panji lari. Lari dengan gerakan menyamping. Sungguh, lari dengan gerakan menyamping ini sangat tidak nyaman. Panji sempat merutuk dengan kutukan yang sangat sempurna itu. Saking sempurnanya bahkan jalan pun dia harus jalan serupa dengan seekor yuyu.
 
Setiap orang yang ia lalui selalu berteriak ngeri. Para dayang pingsan dan ada yang yang berlari tunggang langgang. Sebagian ada yang kembali melemparkan garam para bentukan manusia jadi-jadian. Garam yang tersiram di tubuh Panji membuat tubuhnya ngilu.
 
Rutukan sumpah serapah atau mantra pengusir orang halus pun diucapkan tiap kali ia melalui para punggawanya yang berjaga. Bahkan ada yang terang-terangan menyebut Panji ‘gendruwo’ tanpa tahu bahwa yang berjalan menyamping dengan susah payah itu adalah putra mahkota Keraton Kahuripan.
 
Punggawa yang berjaga bahkan ada yang hendak menusuk dengan tombaknya, namun tombak itu patah karena kulit keras Panji yang serupa cangkang. Mata Panji bersinar saat menoleh ke arah pintu depan keraton. Ia menerobos barisan penjaga yang juga gentar melihat rupanya.
 
Namun dengan sekali sabetan lengan panjangnya yang keras, Panji berhasil merobohkan punggawa alit itu dan ia akhirnya bisa keluar dari Keraton Kahuripan. Dengan terengah Panji menembus gelap malam yang hanya diterangi oleh sinar bulan sabit. Kesendiriannya hanya ditemani oleh bayangan yang mengikuti di belakang. Keheningan malam itu dipecah oleh suara napas Panji yang terengah-engah.
 
Hingga sampai batas tenaganya yang telah terkuras, Panji mengambrukkan badannya. Dia menoleh ke arah Keraton yang pasti sangat riuh karena telah kehilangan putra mahkotanya.
 
“Aku salah apa Sang Hyang Widhi, sehingga Batara Shiwa mengabulkan kutukan ayahanda?” gumamnya Panji dengan mata yang memerah.
 
***
Suasana di balai peristirahatan putra mahkota terlihat sangat kacau. Diantara kekacauan itu, masuklah Dewi Laksmi, sang permaisuri berbarengan dengan Duwita dan Sumithra. Wijaya mengikuti dari belakang terkejut dengan porak porandanya tempat itu. darah berceceran dimana-mana seolah baru saja terjadi pertumpahan darah besar-besaran.
 
Dewi Laksmi tersenyum miring dengan pandangan licik yang puas dengan hasil kerja tukang tenung dari Desa Girah. Dia bertepuk tangan dengan tawa yang mengerikan.
 
“Calonarang, tak kusangka hasil kerjamu begitu bagus! Kau benar-benar pantas dianugerahi gelar tukang tenung hebat pada masa pemerintahan Raja Airlangga!” puji Dewi Laksmi dengan tawa yang masih tersisa di udara.
 
“Hihihihihi ….” Calonarang muncul dari kegelapan lorong menghampiri sang Permaisuri. Dia tak menapak. Tubuhnya melayang dua jengkal di atas tanah. Seperti tersapu angin, badannya terhempas pelan membuat yang ada di situ menepikan badannya.
 
Semua yang ada di situ, tak terkecuali Wijaya, dan Sumithra bergidik ngeri melihat tukang tenung kenamaan, seorang janda asal Girah yang konon katanya adalah jelmaan Ratu Tulodong saat berhasil dikalahkan oleh Airlangga.
 
Janda itu berambut putih lebat dan mengembang tak digelung seperti adatnya para perempuan jaman itu. Wajahnya putih pucat dengan hidung panjang yang bengkok. Matanya besar, dengan tatapan yang tajam. Pipinya kurus menonjolkan tulang. Bila tertawa akan mengeluarkan lengkingan yang memekakkan dan bagi siapapun yang mendengar bulu kuduknya akan meremang.
 
Tubuh Calonarang itu sangat kurus dengan dada yang sudah turun berbalut jubah besar warna hitam. Di tangan kanannya memegang tongkat berkepala ular yang matanya terbuat dari zamrud berwarna hijau. Tawa itu masih menguar saat tubuhnya melayang menghampiri wanita pertama negeri Kahuripan.
 
Dia menghentakkan tongkatnya membuat badannya turun menumpu pada lantai marmer warna putih. Batu marmer yang didapat dari Lodoyo kini sudah ternoda oleh percikan darah yang tersembur dari dada seorang perawan ayu.
 
“Ampun Paduka Permaisuri, sudah kewajiban hamba melaksanakan titah Paduka.” Calonarang menyeringai memperlihatkan geligi yang menghitam.
 
Dewi Laksmi sebenarnya takut berdekatan dengan Calonarang. Namun ia berusaha tetap tenang. “Bersihkan kekacauan ini”
 
Dengan sekali menjentikkan jari dan menghentakkan tongkatnya, Airlangga dan seluruh punggawanya itu lenyap berganti dengan tikus putih yang berlarian di dalam balai. Jasad Paramitha pun ikut lenyap bersatu dengan udara. Darah yang berceceran tak lagi ada dan kegelapan yang menyelimuti kamar itu sirna dengan berkobarnya api pada sumbu dian yang terendam dalam minyak.
 
Balai peristirahatan itu kembali seperti awalnya. Seolah tidak ada peristiwa tragis yang telah menimpa sang pangeran. Di sudut lain balai, Lodong dan Doyong berdiri dengan kaki yang bergetar hingga kain celana mereka basah. Mereka tak mengira apa yang terjadi baru saja adalah ulah sang Permaisuri dan Pangeran kedua Kahuripan bekerja sama dengan tukang tenung yang mereka tahu hanya sebatas mitos saja.

💕Dee n Fura💕
 

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang