39. Tapak Raja Gajah Membelah Samudra

836 171 63
                                    

Cukup lama Mapanji Garasakan dalam rupa lelaki berpunuk itu gelisah di tepi jalan yang menuju rumah Mbok Rondo Dadapan. Otaknya meminta untuk segera pulang. Ia harus mencari nafkah untuk keluarga kecilnya. Saat hari pasaran di kota begini, bagi penduduk di sekitar Daha, adalah saat untuk berbelanja sehingga rakitnya akan dibutuhkan. Namun kali ini ia sungguh tak ingin beranjak dari Dadapan. Hatinya terus mengkhawatirkan Klething Kuning. Panji menjadi serba salah. Mau melangkah untuk mendatangi rumah Mbok Rondo Dadapan, ia bingung bila nanti ditanya orang untuk apa. Ia tidak memiliki alasan untuk datang ke sana.

Setelah duduk lama di tepi jalan, akhirnya Panji menyusul Klething Kuning ke rumah Mbok Rondo Dadapan. Ia tidak langsung mencari gadis itu ke dalam sebuah rumah yang terbilang berada dengan tembok bata merah yang mengelilingi halamannya melainkan kembali termangu di luar pagar.
 
Panji memilih tempat yang agak jauh, yaitu di balik pohon waru rindang yang ada di tepi jalan untuk tempat ia memata-matai gerak-gerik orang-orang yang ada di rumah itu. Setelah halaman sunyi, ia lebih mendekat ke arah rumah itu.
 
Tak sekali pun Panji menurunkan kewaspadaan. Ia tetap memicing, melihat sekecil apa pun pergerakan yang ada di rumah itu. Termasuk jangan sampai ia diketahui oleh gagak aneh yang sekarang bertengger di atas pagar.
 
Matahari sudah agak condong ke barat, namun tetap saja tidak terlihat ada pergerakan. “Mestinya kalau Klething Kuning akan dipinang oleh Wijaya, ia akan dibawa ke Kahuripan segera. Tetapi kenapa justru sepi sekali?”
 
Panji merasa curiga. Pelan-pelan ia berjingkat semakin mendekat ke arah rumah bata merah itu. Sayup terdengar suara pekikan tertahan dan keributan yang tak lama. Panji mengerutkan alis, sembari menelengkan kepala untuk menangkap suara yang baru saja masuk ke pendengarannya.
 
Kuning?
 
Ia yakin, suara pekikan itu adalah suara Kuning dan keributan itu adalah perkelahian.. Perasaan Panji menjadi tak nyaman. Ia menggigit ujung jari capitnya, dan kekhawatirannya memuncak. Ia nerasa perlu masuk ke dalam rumah itu. Kepakan sayap Ireng menandakan burung itu terbang. Tapi bukan terbang naik ke angkasa, namun sepertinya ia masuk ke dalam rumah.
 
Gagak itu sepertinya mengenal baik Klething Kuning? Apakah ia juga mendengar suara Kuning? Jangan-jangan Klething Kuning benar-benar terancam?
 
Tanpa pikir panjang lagi, Panji berlari menerobos pagar dan berlari menyeruak masuk ke dalam rumah. Mbok Rondo Dadapan yang tengah mengurus lima penjaga yang terluka parah, membeliak melihat penampakan buruk rupa Panji.
 
“Si … Si … Siapa kamu masuk tanpa ijin ke rumahku?” Mata Mbok Rondo terbelalak. Ia meraih badik milik Klething Kuning yang terjatuh di lantai dan mengarahkannya ke Panji.
 
Panji tidak peduli dengan ancaman Mbok Rondo. Dia mengedarkan pandang untuk mencari kira-kira dimana sosok Klething Kuning berasa. Dia membuka salah satu senthong dan tidak didapati Klething Kuning di situ. Saat ia akan menghampiri kamar pengantin milik Ande- Ande Lumut, Mbok Rondo Dadapan menghalanginya. Perempuan renta itu berdiri di depan pintu sambil tetap menggenggam badik itu dengan kedua tangannya.
 
Panji tak gentar. Ia berjalan maju yang membuat Mbok Rondo Dadapan bergetar. Begitu jarak selangkah, ia meraih pergelangan tangan Mbok Rondo dan menyelipkan badik itu di pinggang celananya. Dengan satu hentakan tak bertenaga di tengkuk perempuan itu, Mbok Rondo ambruk tak sadarkan diri.
 
“Maaf Mbok … Aku harus menyelamatkan Klething Kuning,” gumam Panji sambil melihat perempuan tua yang terkapar di lantai. Sesudah itu, ia mengambil badik dan menuju pintu kamar
 
***
Dengan dorongan kuat, Panji mendobrak pintu kamar yang ditahan oleh kayu sebagai kuncinya. Bunyi dentuman kuat karena daun pintu yang terbuat dari kayu jati itu membentur tembok kayu membuat seorang orang yang ada di situ terhenyak dan membelalakkan mata.
 
Tawa Wijaya dan Sumithra saat itu lenyap tersapu angin. Yang ada hanya bunyi koak lirih seekor gagak yang terluka di lantai. Panji mengedarkan pandang sekilas, dan didapatinya seorang perempuan yang tak terlindung oleh sehelai benang pun diikat di ranjang dengan mulut yang tersumpal. 
 
Seketika mendidihlah darah dalam pembuluh yang mengalir di tubuh Panji. Matanya memerah dan geliginya bergemeretak menahan amarah. Napasnya pun tersengal tak menyangka adiknya melakukan perbuatan tak terpuji seorang bangsawan pada gadis desa seperti Klething Kuning.
 
“Siapa kamu?” tanya Wijaya dengan wajah masam karena kesenangannya terganggu.
 
“Tak usah kamu tahu siapa aku! Bebaskan Klething Kuning!” Mata besar Panji melebar memberi isyarat bahwa ia sama sekali tak takut dengan lelaki yang ada di hadapannya.
 
Wijaya tergelak. Ia meraih jarik untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. “Kamu menggangguku, Cah Ala! Jangan bertindak seperti pahlawan kesiangan! Kamu tidak akan sanggup melawanku!”
 
Panji membuang ludah di hadapan Wijaya yang membuat lelaki itu merasa jijik. “Justru kamu yang harus hati-hati. Aku tidak akan tinggal diam kali ini!”
 
“Paman! Urus baj**gan ini! Aku akan menikmati tubuh sintal perempuan ini! Kalahkan dia, biar lelaki ini menyaksikan perempuan itu terenggut kesuciannya, di-de-pan ma-ta-nya! Hahaha!”
 
Walau dengan bersungut-sungut, Sumithra tetap menjalan perintah Pangeran angkuh yang menjadi junjungannya. Ia mengambil kuda-kuda andalannya untuk memulai jurus Rajawali Mencakar Langit yang diajarkan oleh Mpu Sindok.
 
Panji menarik bibir miring. Rajawali Mencakar Langit adalah ilmu terendah yang milik Mpu Sindok. Sebagai keturunan Airlangga, ia diajarkan jurus yang lebih sakti dari itu. Dia memutar kedua tangannya di depan dada untuk mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan. Kemudian kaki kanannya ditarik ke kanan selebar bahu dan menekuk lututnya. Tangannya bukan berada di pinggang, satu tangannya tertekuk di belakang punggung dan tangan yang lain menarik tubuhnya membungkuk. Tangan itu menyentuh lantai seolah hendak mengambil sesuatu yang terjatuh.
 
Manik mata Sumithra melebar seketika. Hanya kuda-kuda saja ia sudah sangat hapal dengan pemiliknya. “Kuda-kuda Paku Bumi!”
 
Wijaya yang hendak mencium leher Klething Kuning yang meronta, terkesiap mendengar kata ‘Paku Bumi’ yang terlontar dari bibir Sumithra. Ia menengokkan kepala ke arah lelaki berpunuk yang membungkuk seolah hendak mencabut pasak yang tertanam dari bumi.
 
“Kuda-kuda itu ….” Wijaya menelan ludahnya kasar. Ia menegakkan tubuhnya, dan memicingkan mata mengamati Panji. “Itu … kuda-kuda andalan milik Paman Narotamma? Bagaimana_” Alih-alih melanjutkan mencumbui Klething Kuning, Wijaya segera mengenakan pakaian kemudian mengamati setiap gerakan Panji.
 
Panji memulai pergerakan kaki menyilang dengan masih membungkuk. Matanya mendelik ke atas, mengamati Sumithra yang masih tercengang dengan jurusnya. Panji tersenyum miring. Taktiknya membuat Sumithra terkejut dan hilang kewaspadaannya digunakan Panji untuk mengirimkan pukulan di ulu hatinya.
 
“Hhhhhyyyaaaaat!!” Dengan teriakan dari dalam perutnya, Panji melemparkan pukulan telak yang membuat mata Sumithra membulat. Darah segar tersembur dari mulutnya saat pukulan itu mengenai organ dalamnya. Tak hanya itu Panji menghadiahi pukulan dari siku di sudut rahang Sumithra yang membuat darah dari mulutnya memuncrat mengenai Wijaya yang masih tak percaya dengan yang dilihatnya.
 
Mengetahui Sumithra yang berhasil dilumpuhkan dalam sekali pukulan, wajah Wijaya semakin tegang dengan pembuluh di pelipisnya berkedut kencang.
 
“Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan pada Pamanku?” Wijaya bangkit. Tangannya mengepal membuat tubuhnya bergetar hebat.
 
Panji tahu. Bila adiknya marah, tenaga dalamnya akan menguar tak terkendali mengelilinginya. Saat ketujuh cakra tubuh Wijaya bekerja tak terkendali, saat itu juga angin ribut seolah menyelimuti senthong itu. Kelambu sutra itu melambai-lambai, diikuti dentuman berkali-kali dari daun jendela dan daun pintu.
 
Klething Kuning hanya bisa membelalak mendapati dua lelaki yang sama-sama menguarkan aura yang begitu besar. Panji dengan aura kuning keemasannya, dan Wijaya dengan aura keungguan yang lebih kelam. Dua-duanya sama-sama memiliki kekuatan yang dashyat yang bahkan Klething Kuning sendiri tak pernah melihatnya.
 
Siapa mereka ini? Aura mereka dua-duanya begitu agung dengan kekuatan dalam diri yang sangat dashyat!
 
Panji tak takut. Ia sudah sering mendapati Samarawijaya yang menguarkan tenaga dalam tak terkendali yang bisa membuat angin ribut mengelilinginya. Dengan menarik sudut bibir kirinya, Panji mengulangi kuda-kuda yang pernah diajarkan oleh Rakryan Kanuruhan kepercayaan sang Raja.
 
Itu kuda-kuda yang diajarkan oleh Paman Narottama pada Kakanda Panji. Kenapa makhluk buruk rupa ini mampu menguasainya? Bahkan aku tidak bisa menguasai kuda-kuda itu dengan baik!
 
Manik mata Wijaya mengikuti gerakan Panji yang membungkuk. Ia bersiap pula dengan kuda-kuda kebanggaan Wangsa Isyana, kuda-kuda Bola Api. Wijaya menekuk lututnya dengan kaki selebar bahu dan kedua telapak tangannya saling berhadapan walau tak bertemu untuk mengumpulkan tenaga dalamnya.
 
Tak mau dikalahkan dalam duel kali ini, Panji mengerahkan jurus yang ia yakini bisa mengalahkan Wijaya. Dari posisi membungkuk sambil mengintai Wijaya yang sekarang menjadi musuh duelnya, Panji meraup tenaga alam dari dasar bumi dan bergegas memberikan serangan pada Wijaya.
 
Wijaya yang sudah terlatih instingnya, sempat terkesiap dengan pukulan yang dilancarkan oleh Panji. “Jurus Tapak Raja Gajah Membelah Samudra, andalan Ayahanda Paduka Raja Airlangga? Jangan-jangan ….”
 
Wijaya tidak sempat berpikir lagi. Dia harus mengelak dari serangan Panji. Dengan satu tangkisan dia bisa menghalangi pukulan Panji yang hampir saja mengenai dadanya. Dan bila tapak itu mengenai dadanya, dia yakin rusuknya akan patah.
 
Setiap melakukan tangkisan ia tidak habis pikir dengan lelaki berpunuk yang sedang berkelahi dengannya. Bunyi dug dag dug, bum bam bum, mewarnai  perkelahian mereka. Teriakan saat pukulan dikerahkan menambah riuh kamar itu.
 
Lelaki ini … Kakanda Panji? Hanya Kakanda Panji yang menguasai kuda-kuda Paku Bumi Paman Narotamma dengan baik, dan jurus Tapak Raja Gajah Membelah Samudra itu adalah jurus ciptaan Ayahanda saat di pelarian pada masa Mahapralaya Medang.
 
Otak Wijaya menarik pada suatu titik kesimpulan. Lelaki berpunuk itu adalah Mapanji Garasakan.
 
***
Tak kalah terkejut, Klething Kuning hanya bisa mengerjap-kerjap kelopak matanya saat melihat dua lelaki yang beradu jurus. Dua jurus itu terlihat seperti pelangi ketika keduanya saling bertumbukan.
 
Siapa mereka? Grasak dan Ande-Ande Lumut. Mereka bukan hanya warga desa biasa, Mereka adalah dua orang yang menguasai ilmu silat yang sangat handal.

💕Dee n Fura💕

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang