28. Tukar Guling Rakit

793 151 58
                                    

Masih terbayang pipi dan hidung yang ditonjok Klething Kuning, Panji berangkat bekerja. Seperti dugaan, ia tidak menjumpai pelanggan di dermaga. Pedagang yang biasanya ramai membuka lapak di situ hanya tersisa satu, seorang penjual makanan.

“Paman, mengapa warungnya dìbongkar?” tanya Panji pada pemilik warung. 

Pemilik warung menoleh sebentar, kemudian kembali sibuk mengumpulkan kayu-kayu bekas rangka warung. “Iya, Le. Sudah habis pelamarnya.”

Panji membelalakkan mata. “Ande Ande Lumut sudah mendapat jodoh, Paman?”

Lelaki paruh baya itu tertawa. “Wah, saya tidak tahu.” Ia lalu menatap iba pada Panji. “Le, coba kamu ke seberang. Ada penjual yang mau pulang juga. Lumayan buat uang sakumu.”

“Ah, baik, Paman. Kalau di sini sepi, saya akan pindah ke dekat Daha.”

“Benar. Saya juga akan kembali ke pasar Daha.”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Panji mengayuh rakit ke seberang. Apa yang dikatakan pemilik warung tadi benar. Sederet pedagang telah menunggu di tepian sungai. Panji membantu mereka naik ke rakit bergantian.

“Mengapa pulang, Paman? Sudah sepi?” tanya Panji kepada penjual kain.

“Ya, Le, sudah habis gadisnya.”

“Siapa yang beruntung dipersunting oleh Ande Ande Lumut, Paman?”

Pedagang itu menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. “Tidak ada. Karena itulah Ande Ande Lumut marah-marah terus kepada pamannya. Pamannya juga balas marah. Mereka bertengkar sampai pukul-pukulan. Ngeri, saya!”

“Oh, begitu?”

“Wajah tampan belum tentu hatinya tampan juga,” lanjut sang pedagang.

“Maksud Paman?”

Pedagang itu tahu telah salah berbicara. Ia mengelak.

“Ah, tidak, tidak. Saya cuma melantur.”

Panji tidak berbicara lagi. Sepanjang hari itu ia hilir mudik mengantarkan para pedagang yang ingin pulang. Kepada pedagang terakhir, ia bertanya, “Berapa lagi pedagang yang masih tinggal di sana, Paman?”

“Habis, Le. Segera saja kamu mencari lahan lain. Di sini sudah selesai,” saran sang bapak.

Sebenarnya Panji ingin melihat sendiri kondisi Wijaya. Akan tetapi, ia khawatir penyamarannya terbongkar. Ia memutuskan untuk memendam dalam-dalam rasa penasaran itu.

Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus mencari cara agar mendapatkan ciuman gadis murni yang tersisa yaitu Klething Kuning. Sungguh mujur pula, gadis itu menumpang di rumah. Apakah bukan sebuah kesempatan yang diberikan Sang Hyang Widhi kepadanya?

***

Sampai di rumah, Panji langsung mencari Mbok Rondo Peparing. Diceritakannya keadaan di penyeberangan.

“Kamu yakin sudah tidak ada lagi gadis yang tersisa?” tanya ibu angkatnya.

“Benar, Mbok. Sudah tidak ada lagi yang menyeberang,” tegas Panji.

Mata Mbok Rondo melengkung karena senyum lebar. “Semoga saja jodohmu Klething Kuning. Kamu suka padanya, Le?”

Wajah Panji seketika memanas. Ia membuang muka dengan sangat malu. “Dia tidak suka pada saya, Mbok.”

“Oh, belum tentu!” sanggak Mbok Rondo. “Cinta itu tumbuh perlahan, Le. Sabar saja. Selama kalian selalu berdekatan, Simbok yakin akan tumbuh benih-benih cinta.”

“Tapi saya tidak punya waktu banyak. Klething Kuning sebentar lagi pulih dan pasti segera pergi dari sini.”

Mbok Rondo mengedipkan mata. “Nanti Mbokmu ini yang akan menahannya. Ayo, lakukan pendekatan segera. Jangan lupa, dia masih sangat marah karena rakitnya kamu rusak.”

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang