27. Penyelamatan Klething Kuning

726 150 52
                                    

“Sampai jumpa, Grasaaaakkk!”
 
Teriakan ceria Klething Kuning disambut senyum tertahan Panji. Masih mengamati laju rakit Klething Kuning yang semakin ke tengah, Panji berdiri di atas rakitnya sendiri.
 
Dari hulu air mengalir deras. Walau di Peparing semalam tak hujan namun rupanya di daerah hulu Sungai Brantas turun hujan, tepatnya di daerah Gunung Arjuna yang berada di dekat dengan ibukota Kahuripan.
 
Riak yang dihasilkan karena gelontoran air dari hulu sangat besar. Bahkan Panji merasa kesulitan saat menggerakkan dayungnya karena harus melawan aliran arus sungai yang sangat deras.
 
Ekspresi ceria itu masih tergambar jelas di wajah Klething Kuning. Panji masih bisa menangkap setiap detail kegembiraan karena pencapaian dari usahanya membuat rakit selama seminggu. Tak dipungkiri Panji merasa kasihan karena usaha keras Klething Kuning itu harus ia gagalkan.
 
Melihat mata bulat yang bersinar dengan tawa renyah yang berbaur dengan deburan air yang dipecah oleh bebatuan yang berada di tengah sungai membuat hati Panji teriris. Nuraninya mengatakan bahwa apa yang dilakukan itu sama buruknya dengan wajahnya. Melakukan segala cara demi mendapatkan yang diinginkan.
 
Apa bedanya aku dengan Adinda Wijaya? Tidak, aku hanya ingin menyelamatkannya supaya tidak terjerat oleh Adinda Wijaya.
 
Panji berusaha mencari pembelaan diri. Mencari pembenaran terhadap apa yang ia lakukan. Mata Panji masih terus memaku pandangannya pada sosok ceria yang tersorot mentari pagi. Keceriaan itu tidak disurutkan oleh terik yang menyeka tubuhnya. Bahu mulus berkulit kuning itu tampak mengkilat dengan kelembaban yang pas. Namun Panji tahu, keceriaan itu tidak akan lama lagi terurai dari bibir mungil tipis milik Klething Kuning.
 
Bunyi ‘krek’ terdengar menyusup di liang pendengaran Panji. Lelaki berpunuk itu semakin memicingkan mata mengamati laju pergerakan rakit Klething Kuning yang mulai menunjukkan ketidak stabilan.
 
Panji mendayung rakitnya mendekat. Riam sungai kali ini susah sekali untuk dikendalikan. Lengan Panji yang besar, bertenaga melebihi manusia normal pun terasa kewalahan saat mengendalikan rakitnya, apalagi dengan lengan kecil Klething Kuning yang sekarang sudah berada di tengah sungai yang beraliran sangat deras.
 
Entah kenapa, Panji merasa tidak boleh membiarkan rakit itu pecah. Dengan tergesa ia menyusul rakit Klething Kuning.
 
Krek !!
 
Derak bambu yang patah teredam oleh suara aliran air. Namun pendengaran yuyu si Panji masih bisa menangkap bunyi lemah itu.
 
Tidak … aku harus segera ke sa–
Belum selesai Panji menyelesaikan satu kalimat dalam batinnya, derak bambu yang patah itu semakin keras terdengar.
 
“Klething Kuning! Lompat ke batu itu!” Seruan Panji pun teredam oleh keriuhan riak air yang menghantam batu besar di tengah Kali Brantas.
 
Lima … empat … tiga … dua … satu!!
 
***
 
Byurrr!!!
 
Klething Kuning tercebur ke dalam sungai yang alirannya berusaha mendorong tubuh mungilnya. Serta merta Klething Kuning panik dan berusaha menjangkau apapun yang bisa digunakan sebagai pelampung.
 
Sia-sia … saat tangan ingin meraih sebilah bambu yang patah. Namun arus yang menerjang dengan kuat dari hulu membuat bambu yang mengapung itu terhempas begitu saja mengikuti alirannya menuju hulu.
 
Klething Kuning gelagapan berusaha mendongakkan kepala agar tidak meminum air atau menghirup air. Namun usahanya tak membuahkan hasil. Klething Kuning tak bisa berenang. Dia berusaha menggerakkan kaki tangannya untuk mengangkat tubuh agar terapung. Namun tetap saja tubuhnya bagai ditarik oleh bumi menuju ke dasar sungai.
 
Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Shiwa, Dewi Durga, semua Dewa-Dewi yang ada di kahyangan … aku be … lum ma … u ma …
 
Gelembung air keluar dari mulut Klething Kuning bersamaan tubuhnya lenyap dari permukaan sungai. Tangan yang terangkat hendak menggapai apapun untuk bisa membuatnya terapung kini telah lemas dan lambat laun hilang ditelan oleh riak air yang mengalir deras.
 
Sunyi …
 
Tak ada lagi renyah tawa yang keluar dari bibir mungil itu. Klething Kuning melayang hingga pelan-pelan tubuhnya tersedot oleh pusaran arus yang deras. Mata yang bulat besar itu kini lambat laun menutup. Cahaya matahari di atas permukaan air pelan-pelan menjadi kabur, sekabur kesadaran Klething Kuning yang kini sudah mengambang dan terhempas oleh arus sungai.
 
Melihat tak ada tanda-tanda kehidupan setelah rakit bambu sederhana itu pecah, Panji meneruskan mendayung secepat yang ia bisa.
 
“Kuning … Kuning!” Seruan Panji tak terdengar keras karena suaranya dikalahkan oleh deru arus Kali.
 
Panji mengelus lehernya, dia berdeham dan mengambil napas dalam untuk mengeluarkan suara yang lebih kencang lagi. “Kuninggggg!!!”
 
 
Merasa tak ada jawaban dari yang dipanggil, sontak Panji melompat ke arus sungai yang deras. Air yang menerpa tubuhnya tak ayal telah mengubahnya menjadi seekor yuyu raksasa. Dia tak peduli dengan perubahan bentuknya. Dengan kaki-kaki yang tumbuh di sisi tubuhnya, Panji berenang melayang-layang di dalam riak air sungai.
 
“Kuning …!” Panji sebagai Yuyu masih bisa berbicara di dalam air. Penglihatannya pun tajam dan pernapasannya pun tidak ada masalah serupa hewan yang hidup di air.
 
“Kuning!” seru Panji lagi.
 
Dorongan arus membuat Panji kesusahan bertahan di titik di mana bambu-bambu tadi retak dan menenggelamkan Klething Kuning. Panji menajamkan pendengaran dan matanya, menelisik semua sudut bawah kali yang dipenuhi oleh bebatuan kali, lumut dan …bentukan kuning yang mengambang. Saat mendekat ….
 
“Hoeekkk …”
 
Panji ingin muntah. Warna kuning itu bukan Klething Kuning. Ia pejamkan mata sesaat hingga bentukan kuning hasil pencernaan manusia itu lenyap dari pandangannya. Lantas ia mulai menurunkan tubuhnya hingga ke dasar sungai dan berjalan pelan walaupun sesekali tubuhnya terdorong oleh arus.
 
“Kuning!” Mata Panji si Yuyu membelalak mendapati gadis itu tenggelam dan tubuhnya terhadang batu besar di dasar sungai. Lega hati Panji mendapati gadis berkemben kuning yang kini tidak sadarkan diri itu.
 
Gadis itu tampak lunglai dipermainkan arus yang kencang. Tangannya lemah bergerak-gerak seturut arah gelombang air. Dengan berjalan miring tergesa layaknya seekor yuyu, Panji mendekat dan menjepit pergelangan tangan Klething Kuning dengan capit yuyunya.
 
Dengan meringis dia menarik tubuh Klething Kuning. Sesekali ia melihat jepitan capitnya, khawatir bila jepitannya akan melukai pergelangan tangan gadis yang tak sadarkan diri itu.
 
“Kumohon … bertahanlah Kuning!”
 
Panji mendongak, mencari rakit yang ikut terombang-ambing arus menuju hilir. Panji berenang mengejar bayangan dasar rakit yang mengambang mengikuti arus sungai. Dengan dibantu keempat pasang kakinya yang lain, Panji si Yuyu berenang dengan gesit. Doa demi doa ia panjatkan agar Klething Kuning bisa bertahan sampai bisa naik ke permukaan.
 
Kepala Panji menyembul ke permukaan air sungai yang deras. Kepala yuyunya berubah menjadi kepala manusia dan capit kanannya menjangkau bibir rakit. Setelah Klething Kuning yang masih tak sadarkan diri itu diangkatnya perlahan naik ke atas rakit, barulah Panji menyusul.
 
Rakit bergoyang saat tubuh Panji masuk ke dalam rakit. Rakit masih bergerak tanpa kendali mengikuti kemana air akan mengalir. Panji yang kini sudah berubah menjadi seorang pemuda basah kuyup, dengan baju yang robek karena tidak bisa menyesuaikan dengan badan yuyunya, menghela napas lega.
 
“Klething Kuning … Kuning … bangun!!!”  Panji menepuk pipi Klething Kuning dengan cukup keras.
 
Namun yang dipanggil tetap tak menanggapi. Panji membungkukkan badannya dan mendaratkan telinga di dada Klething Kuning untuk mendengarkan suara denyut jantungnya. Ia menyipitkan mata besarnya berusaha menangkap suara sekecil apapun yanng didengarnya dari rongga dada Klething Kuning. Tetap saja  tidak ada suara degupan yang bisa ditangkap oleh Panji.
 
Panji menegakkan tubuhnya. Memandang panik perempuan muda berwajah pucat yang tergeletak di lantai rakitnya.
 
“Kuning … bangun!!!” Kembali Panji menepuk pipi Klething Kuning.
 
Tak ada tanda kesadaran gadis itu akan pulih. Tetesan air yang mengucur dari ujung helaian rambut dan yang mengalir di pipinya bersatu dengan bulir bening yang meleleh dari matanya. Panji memukul dada Klething Kuning dengan rasa bersalah, sambil berharap jantung itu kembali berdetak.
 
“Demi Batara Brahma yang menciptakan alam semesta, hidupkanlah Klething Kuning lagi!” gumam Panji semakin panik.
 
Panji menyerah. Klething Kuning tak kunjung siuman. Dia terduduk pasrah di lantai rakit yang membawa mereka semakin jauh dari Peparing. Dia menatap kosong wajah bulat telur yang ayu. Manik mata besarnya mengamati lekat-lekat setiap bagian wajah Klething Kuning mulai dari dahi, alis, mata yang terpejam, bula mata yang lentik, hidung dan … bibir.
 
Bibir ini yang belum pernah kucium. Bagaimana kalau bibir Klething Kuning yang ternyata menjadi penawar kutukan?
 
Panji memandang nanar Klething Kuning. Desau angin kencang yang berembus seolah membisikkan ilham yang membuat mata besar Panji membelalak.
 
Kalau tidak dicoba, kamu tidak akan tahu Panji!
 
Namun sisi hati Panji yang lain berkata yang sebaliknya. Jangan Panji! Kamu sudah mencelakai Klething Kuning dan sekarang kau mengambil keuntungan darinya? Dasar otak yuyu!
 
Panji meneguhkan hatinya mengikuti nuraninya, tetapi suara jahat itu muncul lagi. Panji, kapan lagi kamu akan mencium Klething Kuning. Mumpung dia tidak sadar, kamu bisa menciumnya. Siapa tahu kamu akan berubah menjadi rupawan seperti dulu, dan saat bangun Klething Kuning terpesona denganmu??
 
“Terpesona?” Seringai terbingkai di wajah Panji.
 
Ia menatap dalam-dalam bibir tipis yang membiru itu. “Baiklah … aku akan menciumnya.”
 
Jantung Panji berdetak semakin keras saat ia membulatkan keputusannya. Peluh dingin merembes keluar dari porinya. Bibir Panji yang mengerucut maju ke depan pun ikut bergetar karena terpacu oleh desiran yang kuat dari dalam tubuhnya. Suatu sensasi menegangkan karena akan mencuri sebuah ciuman dari seorang gadis tak sadarkan diri.
 
Pelan tapi pasti Panji menjorokkan tubuhnya mendekati wajah Klething Kuning yang masih memejamkan matanya. Kedua lengan Panji ikut bergetar menopang tubuhnya yang membungkuk hendak mendaratkan ciuman di bibir tipis Klething Kuning.
 
Panji susah payah meneguk liurnya. Ketegangan meliputi Panji. Napasnya menderu dan dadanya kembang kempis dengan debaran jantung yang tidak beraturan.
 
Sedikit lagi ….
 
Panji memejam matanya, ingin menikmati rasanya berciuman dengan seorang gadis tangguh seperti Klething Kuning. Mata yang susah terpejam itu beberapa kali bergerak-gerak karena kegugupan yang mendera Panji.
 
“Grasak … apa yang kamu lakukan ….” Geraman itu menabuh gendang telinga Panji membuat Panji segera membuka kelopak mata.
 
Hening …
 
Suara ciutan burung dan derasnya air sungai terdengar dalam keheningan mereka. Panji hanya mengerjap-ngerjap mata tak percaya Klething Kuning sadar di waktu yang salah. Wajah mereka yang hanya berjarak 3 jari, memungkinkan Panji menghirup aroma manis napas Klething Kuning.
 
“Su … dah si …uman??” tanya Panji sambil meringis ketika Klething Kuning menangkap basah apa yang akan dilakukannya.
 
Kesadaran Klething Kuning yang sudah sepenuhnya terkumpul membuat wajahnya berubah memerah saat melihat wajah Panji dari jarak yang sangat dekat. Dengan sekuat tenaga lengan kecilnya terangkat dan melayang untuk didaratkan pada pipi kiri Panji.
 
Saat kepalan tangan Klething Kuning menumbuk pipi Panji, wajah lelaki itu terdorong ke arah yang sama dengan arah pukulan. Pukulan itu mengenai hidungnya membuat darah segar mengalir dari lubang hidung Panji.
 
Rakit masih bergerak seolah tak bertuan di tengah sungai. Batu besar yang berada di tengah sungai terhantam rakit yang ditumpangi Panji dan Klething Kuning. Goncangan keras saat rakit menabrak batu membuat tubuh Panji limbung. Tubuh besar itu menimpa Klething Kuning dan mendaratkan wajahnya di dada padat berisi milik gadis berkemben kuning itu.

💕Dee n Fura💕
 
 
 
 

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang