24. Nasib Tiga Klething

742 149 65
                                    

Mendekati tujuan, ketiga Klething semakin gelisah. Mereka mulai mengecek dandanan masing-masing. Jangan sampai ada kesalahan dalam penampilan mereka. Salah satu dari mereka harus bisa memikat hati sang Ande Ande Lumut, atau hukuman menanti di padepokan sang guru.

"Kakang Mbok, bagaimana bajuku?" tanya Klething Biru kepada kakaknya.

Klething Merah merasa kedua adiknya adalah pesaing. Ia mendengkus saja dan membiarkan kemben Klething biru miring. "Sudah baguuus!"

"Kalau aku? Riasanku sudah bagus?" tanya si Biru.

"Baguuuss!" sahut Klething Merah. Biar saja gincunya belepotan, batinnya.

Tak lama kemudian, rakit Panji akhirnya tiba di seberang dengan selamat. Ketiga Klething itu dengan bersemangat menuruni rakit dan meloncat ke darat. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah yang dituju.

"Kakang Mbok, rumah Kakang Ande Ande Lumut sudah ramai," kata Klething Hijau. Matanya awas menelisik sekitar.

Ada beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka di gerbang pekarangan. Wajah mereka kusut masai. Sebagian malah berkaca-kaca.

"Huh, enak saja mengatakan kita sudah tidak murni!" kata salah seorang di antara mereka.

"Iya, sombong sekali. Aku menyesal datang ke sini. Kita hanya mendapat penghinaan saja," timpal yang seorang.

"Padahal kalau dilihat dan diperhatikan benar, Ande Ande Lumut tidak ganteng-ganteng amat, kok. Kakang Kadur dari desa seberang tidak kalah ganteng dari dia."

"Ah, benar sekali! Matanya licik, bukan?"

"Benar! Aku juga merasa begitu!"

"Jangan-jangan...."

Mereka kemudian saling berbisik dan tertawa keras.

"Jangan dengarkan mereka!" hardik Klething Merah kepada kedua adiknya yang semakin gelisah mendengar obrolan itu.

"Jangan-jangan mereka benar, Kakang Mbok," bantah Klething Hijau.

"Hiiii, kalau aku diterima dan ternyata dia penipu, aku tidak mau!" timpal Klething Biru sengit.

"Kalian ini bodoh atau dungu? Jangan menuruti omongan orang gagal. Kalian akan gagal juga, paham?"

Si Biru dan Hijau menunduk dengan wajah masam. "Maaf...."

"Kita ikuti saran Guru dan Kakang Ratna Manggali semalam. Jangan berpikir macam-macam lagi." Sesudah berkata begitu, Klething Merah yang biasanya bungkuk berusaha membusungkan dada dan berjalan tegak memasuki pekarangan.

Halaman rumah Ande Ande Lumut riuh. Para pelamar dari berbagai dusun dan pengantarnya telah memadati halaman. Satu gadis bisa diantarkan beberapa orang, seolah membawa pasukan pemberi semangat. Di antara mereka bahkan ada yang berasal dari pulau seberang dan telah berada di situ beberapa hari sebelumnya.

Para pedagang tak ketinggalan. Mereka memanfaatkan keramaian itu untuk mengais rezeki. Ada yang berjualan makanan, ada pula yang berjualan kain, perhiasan, alat rias, serta obat-obatan. Bahkan ada yang menjual bibit dan binatang ternak seperti kambing, ayam, dan sebagainya. Mereka berpikir para pengunjung itu sekalian membeli kebutuhan di situ supaya tidak perlu memutar lagi ke pasar Daha.

Klething bersaudara terpaksa berdiri dalam antrean. Sedikit demi sedikit mereka maju. Setiap kali maju, ada gadis yang turun dari teras rumah dengan muka masam. Mereka adalah para pelamar yang ditolak.

Klething merah meneguk liur. Para gadis yang ditolak itu banyak yang lebih cantik dari dirinya. Bahkan ada yang putih dan lembut bak putri bangsawan. Bila dibandingkan dengan mereka, cahaya dirinya jelas lebih redup. Klething Merah segera memutar otak. Ia harus mengetahui mengapa mereka ditolak agar mendapatkan cara untuk memenangkan hati Ande Ande Lumut.

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang