11. Putra Mahkota Yang Menghilang

714 151 31
                                    

Keraton Kahuripan pagi itu seperti hari-hari biasa. Para prajurit masih berjaga di depan, para dayang dan abdi rendahan masih melaksanakan tugasnya membersihkan taman yang dipenuhi tanaman yang membuat rindang dan asri halaman istana yang dipimpin Airlangga, para patih dengan pangkat yang lebih tinggi juga bersiap ke balairung istana untuk melaporkan hasil kerja mereka dan apa saja yang terjadi di masyarakat.

Keraton Kahuripan pun masih sama damai seperti semalam tak pernah terjadi peristiwa mengerikan di balai peristirahatan putra mahkota. Angin masih bertiup semilir mempermainkan gantungan bambu yang memperdengarkan suara syahdu. Dan bunga melati di sisi taman masih bermekaran menebarkan aroma semerbak.

Semua yang ada disitu tak menyadari apa yang terjadi. Belum menyadari bahwa putra mahkota mereka telah menghilang dan menjelma menjadi yuyu kangkang. Kecuali Lodong dan Doyong tentu saja. Dua abdi setia itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kesaktian tukang tenung paling berjaya di masa pemerintahan Airlangga itu. Si Janda Girah, Calonarang.

Pagi itu, saat mentari sudah agak condong ke tengah. Airlangga bersama para dayang dan abdi setianya bergegas menuju ke balairung istana untuk menerima laporan dari para punggawa dan senopatinya. Derap langkahnya terdengar berwibawa membuat siapa saja yang berpapasan dengannya menunduk takzim. Aura kebesaran seorang raja menguar mengelilingi Airlangga membuat raja itu disegani oleh para bawahan.

Ketika Airlangga diumumkan akan masuk ke dalam balairung, suara berdengung seperti lebah terhenti. Semua abdi yang duduk bersila di lantai marmer itu memberikan sembah dan penghormatan kepada raja junjungan mereka. Airlangga mengedarkan pandangan dengan senyuman ke seluruh bawahannya. Ia duduk di singgasana dengan satu kaki dilipat ke atas balai-balai sedang kaki kirinya ditumpukan pada bantal berlapis sutra.

Lagi ... ia mengedarkan pandangan ke seluruh menterinya, memeriksa siapa yang tidak hadir dalam pertemuan itu. Dilihatnya Wijaya sudah duduk bersila dengan wibawanya di depan bagian kiri. Airlangga memicingkan mata. Bola matanya bergulir meratakan pandangan. Tetap saja sosok yang dicarinya tak nampak batang hidungnya.

Airlangga mendengkus keras. "Pangeran Samarawijaya, dimana kakandamu?" tanya Airlangga.

Dengan nada yang terdengar tenang, Wijaya menghunjukkan sembah kepada ayahandanya. "Ampun, Paduka Raja, ananda sedari pagi belum melihat Kakanda Panji."

Wajah cerah Airlangga berubah menjadi mendung. Sekali lagi sejak Panji menghadap di balai penghadapan karena melaporkan ingin memperistri seorang wanita jelata, rupanya Panji hendak melanggar titah raja Kahuripan dengan tidak mengikuti acara tatap muka raja dan para menterinya pagi itu.

"Patih! Panggil Putra Mahkota Mapanji Garasakan!" Seruan Airlangga menggelegar di seluruh balairung membuat seorang patih segera menunaikan amanat dari sang Raja Kahuripan.

Wajah Airlangga yang berkerut membuat para bawahan dan abdi setianya menundukkan kepala. Kumis lebat di bawah hidungnya bergetar karena embusan napas yang keras. Ia berusaha meredam emosi akibat ulah putra sulungnya.

"Ampun Paduka ...." Rakryan Kanuruhan Narottama mengangkat tangannya memberi sembah sebelum bicara. Setelah Airlangga menghadapkan wajah ke arahnya, barulah sang abdi setia yang selalu mengikuti kemana saja sejak keluar dari Pulau Bali itu melanjutkan bicaranya.

"Sekali lagi ampun Paduka Raja, bila hamba lancang bicara. Apakah tidak sebaiknya kita mulai saja tatap muka hari ini berhubung Paduka Raja mempunyai serangkaian kegiatan yang harus dilakukan hari ini?" ucap Narotamma.

Airlangga mengusap-usap kumis lebatnya seraya memikirkan usul sang abdi setia. Namun sebelum sempat diputuskan patih yang diutus menjemput Panji, berlari dengan tergopoh memasuki balairung. Dengan berjalan jongkok menghadap Airlangga seraya memberi sembah, patih itu melaporkan apa yang terjadi.

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang