44. Ancaman

927 165 109
                                        

“Kuning? Kuning! Ya Sang Hyang Widhi, kamu pingsan lagi!” seru Panji dengan sangat panik. “Cah Gendheng, jangan mati lagi! Jangan bikin aku benar-benar gendheng, ayolah!”

Begitu mendekati rumah, Panji segera mencari keberadaan sang ibu angkat. Mbok Rondo Peparing adalah harapan satu-satunya. Siapa lagi yang bisa membuat ramuan obat aneh selain ibu angkatnya itu?

“Mbook! Simbok!” panggilnya sekeras mungkin. 

Suaranya menggema di kebun jagung dan menyelinap di antara bambu-bambu di sekitar rumah. Tanpa menunggu jawaban wanita tua itu, Panji masuk ke dalam dan membaringkan Klething Kuning di balai-balai ruang tengah. Sesudah itu ia keluar sebentar untuk memanggil simboknya kembali.

Mbok Rondo tengah berada di kebun jagung saat mendengar panggilan Panji. Ia tergopoh menghampiri sumber suara. Saat berada di dekat serambi depan, dilihatnya seorang pemuda asing. Ia tertegun. Pemuda itu sangat tampan.

Mata Panji melebar begitu mengetahui ibu angkatnya datang. “Mbok, tolong … tolong Klething Kuning,” pinta pemuda yang telah kembali ke wujud aslinya itu dengan mata merah dan nyaris menangis. Tangannya segera menggenggam lengan Mbok Rondo dan menarik perempuan itu ke dalam rumah.

Suara itu tidak asing bagi Mbok Rondo. Begitu pula mata lembut berbulu mata lentik yang mendamba itu. “Kamu siapa, Kisanak?” tanya Mbok Rondo Peparing. 

“Saya Grasak, anakmu. Nanti saja penjelasannya, Mbok. Tolong diobati dulu luka Klething Kuning,” pinta Panji.

“Kisanak …?” Mbok Rondo Peparing kebingungan dan ingin bertanya lebih lanjut. Namun, matanya segera terpaku pada tubuh Klething Kuning yang bersimbah darah.

Kondisi Klething Kuning yang tergolek di balai-balai sangat mengkhawatirkan. Wajah gadis itu membiru. Napasnya lemah dan tersengal. Darah tak hentinya mengalir dari luka yang menganga.

“Ya Batara Wisnu! Klething Kuning, anak Simbok! Kenapa kamu, Nduk?” pekik wanita renta itu. Segera dimintanya Panji mengambil air dan kain bersih.

“Kenapa dia sampai beginiii?” Dengan tergopoh, Mbok Rondo Peparing mengambil kotak jamunya. Ia juga memetik daun sirih dan daun mangkokan di pekarangan. Daun-daun itu dicuci, dihancurkan. Air perasannya dicampur berbagai rempah, kemudian diteteskan ke luka Klething Kuning. Tak hanya itu, Mbok Rondo membubuhkan beberapa rumput kering dan serutan kayu hutan untuk menutup luka. 

Ternyata upaya Mbok Rondo tidak memberikan hasil. Luka itu tetap mengalirkan darah. Padahal rempah dan bahan-bahan itu adalah ramuan paling ampuh untuk mengatasi luka.

“Senjata apa yang melukai putriku, Kisanak? Mengapa lukanya tidak bisa diatasi dengan ramuanku?” 

“Dia terkena senjata keris pusaka,” jawab Panji. Ia memandang ibunya sejenak. “Jangan memanggilku Kisanak, Mbok. Saya anakmu, Grasak.”

Mata Mbok Rondo Peparing mengamati dengan saksama pemuda rupawan yang duduk di balai-balai sambil mengelus kepala Klething Kuning. “Gr-Grasak? Kamu benar-benar Grasak putra simbok?” Mata renta itu terbelalak. 

“Benar, Mbok. Sang Hyang Widhi sudah bermurah hati mengangkat kutukan saya.”

“Ya anakku, Grasak! Kamu sudah pulih!” Dengan mata berlinang, Mbok Rondo memeluk putranya. Sungguh tampan putranya sekarang ini. Diciuminya pipi pemuda itu dengan rasa sayang yang memuncak.

“Apa yang terjadi di Dadapan tadi, Le? Senjata apa yang mengenai si gendhuk ini?”

“Keris Mpu Genggong, Mbok.”

Mata Mbok Rondo Peparing terbelalak. Sebagai orang yang pernah hidup di lingkungan keraton, ia tahu hanya ada satu senjata bernama Mpu Genggong di muka bumi ini dan pemiliknya adalah raja Dharmawangsa Teguh yang sangat terkenal itu. “Kenapa pusaka itu bisa berada di daerah ini, Grasak? Kenapa mengenai Klething Kuning?”

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang