12. Nasib Sang Yuyu

772 148 47
                                    

Melihat orang-orang kabur karena penampakannya, Panji segera meneliti diri sendiri. Ia syok berat mendapati tubuhnya berubah menjadi yuyu raksasa berwarna kelabu kehitaman. Panji segera menyelam kembali dan melarikan diri.

Oh, malangnya nasibnya. Hanya karena pesona wajah wanita, ia harus menjadi pelarian seumur hidup. Sudah menjadi kebiasaan Panji, bila mendapatkan masalah, ia akan melarikan diri. Kegemarannya kabur keluar istana, bukankah itu merupakan upaya untuk lari dari masalah sebagai putra mahkota? Bagus sekali, bukan? Sekarang ia benar-benar melarikan diri secara total.

Panji merayap di dasar sungai yang ternyata adalah Kali Brantas. Ia membatalkan niat untuk bertapa di Gunung Penanggungan. Kalau sudah menjadi yuyu begini, lebih baik ia tinggal di dasar sungai yang sepi, jauh dari manusia, agar tidak ditemukan oleh siapa pun. Setelah berpikir keras, akhirnya Panji berniat untuk pergi ke hulu Sungai Brantas. Sebagai yuyu, terpaksa ia memutar mengikuti aliran sungai, yaitu melewati Daha [1] dan memutari Gunung Kelud untuk sampai di hulunya yang berada di Gunung Arjuna. Betapa perjalanan yang panjang dan berbahaya!

"Hamba salah Sang Hyang Widhi, sehingga Batara Shiwa mengabulkan kutukan ayahanda," gumam Panji dengan penuh sesal. Ia ingin menangis, namun mata yuyu ternyata tidak bisa meneteskan air mata. Ya, dirinya berada di air. Mana mungkin meneteskan air mata?

***

Sepanjang hari itu, Panji merayap di dasar sungai. Sesekali saja ia muncul di permukaan untuk melihat kondisi sekitar. Ia mencari makan di dasar sungai. Dengan capitnya yang kuat, ia menangkap ikan-ikan yang kebetulan lewat. Beberapa hari berlalu dengan aman.

Suasana berubah saat mendekati kota Daha. Kota kecil itu kini semakin ramai saat orang-orang tahu bahwa ayahandanya berniat memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha [2]. Mereka berduyun-duyun membeli tanah dan membuka lahan di daerah yang diperkirakan akan menjadi ibukota itu.

Malam itu, Panji mengambang perlahan di permukaan sungai. Ia ingin mencari informasi tentang aman dan tidaknya melewati daerah Daha. Di pinggir sungai ada dua orang pencari katak. Mereka mencari katak pada malam hari. Kata orang, katak hijau bagus untuk obat dan kesehatan asal jangan termakan tulangnya. Tulang katak hijau bisa membuat orang terkena penyakit encok.

Dua lelaki yang ternyata ayah dan anak itu berbincang-bincang seru. Panji berusaha mendengarkan. Ia baru tahu bahwa yuyu raksasa memiliki pendengaran yang sangat tajam, melebihi pendengaran manusia. Ia bahkan bisa mendengar melalui air, udara, dan getaran bumi.

"Pak, kita harus mendapat berapa ekor malam ini?" tanya si anak.

"Berapa saja. Nyai pemilik warung itu mau beli berapa saja," jawab sang ayah. "Kamu bersihkan yang ada dulu. Dapat berapa?"

Si anak menghitung dengan saksama isi tenggoknya. "Tiga puluh lima."

"Kita genapkan sampai lima puluh, Le[3]. Setelah bersih langsung kita antar."

Kedua orang itu kemudian sibuk menyiangi daging katak sambil terus mengobrol. Kepala sampai perut mereka buang. Yang diambil hanya sepasang kaki belakang. Sungguh malang nasib katak-katak itu. Panji dapat mendengar jeritan putus asa dan ketakutan saat mereka meregang nyawa.

"Daging kodok ini pesanan punggawa-punggawa itu, Pak?"

"Iya."

"Mereka mencari apa di daerah ini?"

"Nah, kabarnya, di Kahuripan muncul makhluk jadi-jadian mengerikan yang membuat pageblug."

"Jadi-jadian?"

"Iya. Kabarnya setengah manusia setengah yuyu. Sewaktu dikejar, dia masuk ke kali dan berubah menjadi yuyu raksasa. Nah, para punggawa itu menyisir Kali Brantas untuk menangkap yuyu itu."

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang