21. Titah Sang Guru

676 150 25
                                    

Seekor burung gagak hitam terbang di angkasa. Suara koaknya begitu nyaring terdengar membuat manusia yang memijak bumi mendongak menatap laju gagak yang terbang dengan gagah berlatarkan langit biru tanpa awan.
 
Orang-orang bergidik saat melihat gagak itu muncul di langit dan berputar-putar di atas Desa Dadapan. Semua orang tahu mitos tak sedap yang berkaitan dengan kemunculan gagak yang mereka tahu, bahwa akan ada sesuatu hal yang buruk yang akan terjadi dalam waktu dekat. Begitu mendengar dan melihat gagak hitam serupa lumpur sawah itu mengudara, semua orang memanjatkan doa jangan sampai ada kejadian serupa mahapralaya yang terjadi beberapa dasawarsa yang lalu.
 
Begitu gagak itu menghilang dari langit Dadapan, penduduk Desa itu mulai tenang. Mereka tidak mengetahui bahwa gagak itu adalah burung pembawa pesan seorang tukang tenung yang berasal dari Desa Girah.
 
Calonarang duduk di bawah pohon beringin di altar sesaji halaman rumahnya. Perempuan tua yang kurus dan berwajah pucat dengan hidung bengkok itu duduk bersila untuk mengolah mata batinnya. Kepakan sayap burung gagak yang bernama Ireng itu terdengar dari kejauhan. Begitu burung itu mendekat ia mengangkat lengannya lurus ke depan.
 
Ireng dengan sigap mendarat di lengan yang tertutup kain jubah yang menjuntai ke bawah. Ireng masih menggerakkan dua kakinya bergantinya, dan sesekali mengasah paruhnya di ujung cakar burungnya, sambil menunggu janda itu menyapanya.
 
Calonarang membuka mata keriput, dan menarik bibirnya lebar memperlihatkan gigi yang menghitam. Janda itu mengelus Ireng yang di matanya mempunyai bekas luka karena ia hampir saja dibunuh oleh warga desa karena dianggap pembawa petaka.
 
“Kerja yang bagus, Ireng. Ada kabar apa yang hendak kamu sampaikan pada Simbokmu ini?” Calonarang menghentakkan tangannya dan saat itu juga si Ireng berubah menjadi seorang laki-laki yang berjubah hitam dengan hidung yang lebih bengkok serupa paruh.
 
“Ampun Nyi Calonarang, junjungan hamba.” Ireng berlutut sambil menghaturkan sembah.
 
Calonarang hanya mengangguk dan tersenyum puas. Dengan gerakan tangan, ia mempersilakan Ireng melaporkan apa yang ia lihat.
 
“Saya sudah mengikuti titah Nyi Calonarang untuk mengetahui apa yang terjadi di Kerajaan Kahuripan. Sekarang Pangeran Wijaya telah dikucilkan karena Paduka Raja sudah mengetahui apa yang diperbuatnya dan boleh kembali bila ia membawa seorang perawan murni. Sementara Permaisuri dihukum dengan bertapa di Petirtaan Belahan.”
 
Tawa Calonarang menggelegar dengan kikikan yang menyeramkan. “Lanjutkan!!”
 
“Sekarang Pangeran Wijaya dibawa Senopati Sumithra ke Rumah Kakek Buyutnya di Desa Dadapan. Namanya sekarang adalah Ande-Ande Lumut. Dan Mbok Rondo Dadapan sekarang mengadakan sayembara bagi para perawan murni untuk meminang putra angkatnya,” lanjut Ireng.
 
“Hihihihihihi … Wijaya, Wijaya … Engkau sungguh ingin menjadi raja rupanya. Garis hidup memang akan menjadi salah satu raja besar. Namun takdir harus menempa dua pangeran itu dulu.” Calonarang terkekeh. Dengan mata batin dan kesaktiannya, ia bisa menyingkap sedikit tabir masa depan.
 
“Lantas … apakah kamu sudah tahu dimana keberadaan Pangeran Panji?” tanya Calonarang.
 
“Ampun Nyi Calonarang, hamba belum bisa menemukan yuyu besar di Sungai Brantas. Hamba sudah bertanya pada burung bangau yang sering mencari ikan di sungai tersebut tetapi keberadaan yuyu itu tidak pernah diketahui,” lapor Ireng.
 
“Ehm, misterius. Di mana Pangeran itu? Aku yakin kutukanku menjadikan ia yuyu. Sekuat tenaga aku melihat dengan mata batinku namun tetap saja bayangannya buram. Aku yakin Dewi Sri sedang mengirim doa kepada putranya melalui Batara Wisnu yang maha asih. Hah, doa ibu memang sungguh dashyat,” umpat Calonarang.
 
Calonarang  menghela napas panjang. Ia memejamkan mata sekali lagi untuk mendaraskan mantra kutuk yang akan mengasah kesaktiannya. Tiba-tiba seringai menguar dari wajah kempot berkeriputnya.
 
“Para Klething! Kemari kalian!” Seruan itu sontak membawa 4 muridnya  datang menghadap Calonarang.
 
“Kami menghadap Guru.” Satu per satu dari mereka mencium kaki Calonarang yang tertekuk dan duduk di atas batu di sudut altar persembahan.
 
Calonarang membuka kelopak matanya. Bola matanya bergulir mengamati satu-satu muridnya. Klething Merah, gadis berkemben merah. Gadis itu menyukai warna merah dan sangat pemarah. Wajahnya selalu tertekuk dan susah untuk tersenyum. Tubuh Klething Merah tingginya pas-pasan. Namun ia bungkuk, membuat kurang indah dipandang. Melihat Klething Merah Calonarang hanya menggeleng-geleng kepala saja. Sejak ia menerima Klething merah menjadi murid sama sekali tidak ada perubahan sikap.
 
Klething Hijau adalah gadis berkemben hijau. Sifatnya polos serupa daun yang masih hijau. Namun sifat polosnya itu kadang membuatnya terlalu gampang diperdaya oleh dua kakaknya. Klething hijau badannya pendek dengan tubuh yang berisi, bila memakai kemben, bagian tubuh yang tertekan itu terlihat seperti akan tumpah keluar atau mecothot kemana-mana. Calonarang mengembuskan napas kasar. Sepertinya sebelum sampai ke Desa Dadapan, dia bisa lebih dulu diperdaya lelaki lain.
 
Klething Biru adalah gadis berkemben biru dengan sifat yang tidak peduli. Dia suka melakukan hal yang ia senang, dan akan marah bila ada yang mengganggu kesenangannya. Salah satu hobinya adalah mengganggu Klething Kuning. Tubuh Klething Biru terlalu jangkung namun kurus. Bila memakai kemben dadanya terlihat seperti gilasan cucian, bergelombang hampir rata. Lagi, Calonarang hanya mengelus dada mendapati tiga muridnya tidak ada yang beres.
 
Klething Kuning. Hanya Klething Kuning harapan Calonarang. Dia paling sakti di antara ketiga kakak seperguruan yang juga kakak tirinya. Klething kuning juga mempunyai wajah yang rupawan. Wajah ovalnya enak dipandang dengan hiasan mata besar bermanik hitam kelam. Bulu mata lentiknya panjang dan berjajar menantang ke arah langit. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang berwarna merah. Calonarang mengangguk dengan bingkai senyum harapan yang terulas di wajahnya.
 
“Kalian Klething Merah, Hijau, Biru dan Kuning. Kalian kuperintahkan untuk ke Desa Dadapan meminang laki-laki yang bernama Ande-Ande Lumut!” titah Calonarang.
 
Keempat Klething itu saling berpandangan. Mereka mengerutkan alis masing-masing dengan pemikirannya.
 
“Ganteng tidak Guru?” tanya Klething Merah dengan nada mendengkus.
 
“Halah, yang jelas dia mana mau sama kamu Merah yang …,” Klething Biru sengaja menjeda ucapannya untuk memberi penekanan pada kata terakhir, “pemarah!”
 
Telinga Klething Merah menjadi merah semerah warna kembennya. Dengkusannya seolah bisa mengeluarkan asap dari lubang hidungnya seperti seekor naga. Klething Hijau tidak memedulikan dua kakaknya yang bersitegang, adu mulut. Dia menerawang membayangkan dirinya menjadi istri laki-laki yang bernama Ande-Ande Lumut.
 
Melihat ketiga Klething itu Calonarang hanya berdecak kesal. Manik matanya kini menatap Klething Kuning yang komat-kamit dengan mata terpejam.
 
“Apa yang kamu lihat Klething Kuning?” tanya Calonarang
 
“Seorang … seorang … laki-laki ….” Klething Kuning menelengkan kepala menajamkan penglihatannya.
 
“Ya jelas Ande-Ande Lumut laki-laki. Mana ada kalau dia perempuan kusuruh kalian meminangnya?” Calonarang mendengkus keras diiringi Klething Kuning yang meringis.
 
Klething Kuning menggaruk tengkuknya. Di penglihatannya yang tampak jelas hanya bibir merah menul-menul yang sedap untuk dicecap.
 
Gawat! Bisa-bisa aku tidak murni lagi sebelum sampai Dadapan.
 
***
Ratna Manggali mengamati kelima perempuan yang ada di bawah beringin. Ia hanya bisa menghela napas pasrah, karena ibunya sepertinya tidak ada niat untuk bertobat. 
Semua isi dalam buku yang dicatat oleh Calonarang sudah dihapal setiap pupuhnya oleh Ratna Manggali. Namun yang dicerna oleh Ratna Manggali bukan suatu kejahatan namun bagaimana yang dicatat dalam serat itu bisa mendatangkan kebajikan bagi umat manusia.
 
Ratna Manggali memicing mengamati aura hitam yang menguar di sekeliling tubuh ibunya. Jubah hitam dan kabut asap hitam yang mengelilingi Calonarang sangat kontras dengan rambut putih yang dibiarkan terurai tak keruan. Ia tahu dulu, ibunya sangat cantik. Namun kekecewaan membuat ibunya menarik diri dari dunia dan menjadikan dirinya budak dari Butha Kala yang bersemayam di neraka jahanam.
 
Menjelang siang, Calonarang masuk ke dalam rumah. Ratna Manggali yang sedang membuat kain tenun, akhirnya menyudahi pekerjaannya. Ia mengambilkan ibunya minuman dari air kendi yang terdapat di dapur.
 
“Ini minumannya, Ibunda.” Ratna Manggali mengulurkan cangkir bambu kepada Calonarang. Dengan tersenyum lebar yang membuat mata tua itu menyipit, Calonarang menerima cangkir itu dan meneguk habis isinya.
 
“Terima kasih.” Ratna Manggali tidak langsung melanjutkan pekerjaannya. Ia duduk dahulu di sisi meja bagian kiri Calonarang.
 
“Ada yang ingin kamu sampaikan Ananda Ratna Manggali?” tanya Calonarang menelisik Ratna Manggali.
 
Gadis itu menarik bibirnya membuat pipinya yang merah alami menggelembung. “Ibunda, belum selesaikah Ibunda ingin membalas dendam keluarga Kerajaan Kahuripan? Pangeran Panji telah ibunda kutuk, dan sekarang Pangeran Wijaya terusir dari Kerajaan_”
 
“Pendengaran batinmu sekarang mulai terasah, Anakku Ratna Manggali.” Calonarang tersenyum miring mengamati wajah ayu anak kandungnya.
 
“Aku tidak sengaja mendengar saat gagak itu melapor pada Ibunda,” kilah Ratna Manggali.
 
“Sampai kapanpun aku tidak akan lupa saat Raja Kahuripan itu mengalahkan Kerajaan Lodoyong. Membuat kita menjadi rakyat jelata dan kamu harus hidup menderita Ratna Manggali!” Suara Calonarang bergetar karena letupan rasa dendam yang menggelegak. Jemarinya mengepal membuat telapak tangannya hampir terluka karena kuku hitam yang menancap.
 
“Ibunda, cukupkan dendam Ibunda. Aku hanya ingin menjalani hidup bahagia bersama Ibunda!” seru Ratna Manggali.
 
“Tidak! Sebelum Ibunda menaklukkan Airlangga yang sombong itu. Ibunda akan membuat Raja itu bertekuk lutut di kaki Ibunda. Masa depan salah satu Klething itu akan menjadi ratu Kerajaan yang dipimpin oleh putra Airlangga. Walau penglihatan itu tak terlalu jelas, aku masih yakin dengan apa yang aku lihat.” Calonarang menatap tajam Ratna Manggali. “Saat peristiwa itu benar terjadi, Airlangga tidak akan berkutik. Seluruh Kerajaan Kahuripan berikut daerah jajahannya akan menjadi milikku, dan kita bisa menegakkan kembali kejayaan Kerajaan Lodoyong. Hihihihihihi ….”
 
Ratna Manggali bergidik ngeri. Ia hanya menggeleng-geleng kepala sambil mengelus dada melihat ibunya yang dikuasai dendam serta ketamakan.
 
Ampuni Ibunda Sang Hyang Widhi ….

💕Dee n Fura💕
 
 
 
 

PEMBURU CIUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang