Panji terbangun dari ambennya. Ia mendengar suara Wijaya. Ditelengkan kepalanya, untuk mempertajam pendengaran.
Adinda Samarawijaya?
Panji menelan ludah. Otaknya bertanya kenapa adiknya bisa berada di pondok yang terpencil di tepi Sungai Brantas. Dengan segera dia berjalan ke dapur. Jalannya sekarang sudah tidak miring. Panji mampu berjalan lurus setelah beberapa hari lalu dilatih oleh Klething Kuning. Lelaki itu bergegas ke dapur tidak ingin Wijaya mendapatinya.
Panji mengintip dari sela-sela anyaman bambu yang menjadi dinding gubuk sederhana itu. Ia menutup mata kirinya memperhatikan gerak gerik pemuda pemudi yang berdiri di halaman dengan satu mata. Panji berencana bila Wijaya masuk ke dalam gubuk, dia akan keluar menerobos kebun jagung menuju ke tanah lapang yang dibentengi rumpun bambu, karena yakin Sumithra pasti berjaga diluar.
Namun perkiraan Panji salah. Wijaya enggan masuk karena gubuk itu terlihat reyot. Ia hanya menyapa Klething Kuning dan selanjutnya pergi begitu saja, menyisakan rasa penasaran pada gadis itu.
Klething Kuning yang sudah terkena buluh perindu yang dikirim oleh gurunya sendiri, itu hanya bisa menggigit sudut bibir bawahnya karena merasa belum puas berlama-lama dengan pria rupawan yang digandrungi oleh banyak orang.
Klething Kuning masuk dengan masih membingkai senyuman di wajah bulat telurnya. Panji yang juga memasuki bilik tengah memandang Klething Kuning dengan tatapan aneh seolah yang ada di hadapannya bukan gadis yang dikenalnya.
Apa Klething Kuning benar-benar jatuh cinta dengan Samarawijaya?
Klething Kuning yang menyadari sedari tadi dipandangi oleh Panji mengerutkan alis. "Kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?" tanya Klething Kuning dengan menepuk wajahnya.
Panji hanya memberikan cengiran canggung. Tanpa suara ia menggeleng dan kembali ke ambennya.
Klething Kuning hanya mengernyitkan alis, memandang gerak gerik Panji. Entah kenapa perasaannya tak tenang. Ia merasa rindu yang aneh dengan Wijaya, tetapi di sisi lain hati seolah dia merasakan juga rasa yang tak bisa ia pahami dengan Panji.
Tidak! Aku harus melaksanakan titah guru. Tak ada salahnya dengan Kakang Ande-Ande Lumut. Guru memang memilihkan pria yang terbaik untuk para muridnya.
Dan, kenyataan bahwa Ande-Ande Lumut yang menginginkannya membuat Klething Kuning bahagia. Lelaki yang dilamar ratusan gadis itu turun sendiri untuk mencarinya, Klething Kuning yang bukan anak siapa-siapa. Mengingat hal itu Klething Kuning mengulum senyuman.
***
Malam itu, bulan purnama menggantung dengan cantiknya di langit cerah. Bintang pun tak mau kalah menyempurnakan keindahan angkasa yang kelam. Bulan purnama adalah waktu untuk bersembayang di Pura. Hari raya purnama atau Sukla Paksa yang diperingati sebulan sekali ini dinantikan oleh Panji untuk mengunjukkan puja puji dan permohonan pada Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra.
Panji, bersama seorang perempuan yang kini menjadi orang penting dalam hidupnya–Klething Kuning–pergi ke Pura di pusat Desa Peparing. Mbok Rondo tidak ikut dan akan meletakkan canang atau sesajen di dapur dan altar sembahyang yang ada di depan rumah.
"Mbok, kami berangkat dulu ya." Panji berpamitan dengan Mbok Rondo. Mbok Rondo mengantar mereka hingga di depan pintu pagar.
"Hati-hati, yo Le. Jaga Kuning baik-baik," pesan Mbok Rondo.
"Baik, Mbok," jawab Panji. Mbok Rondo masih menatap punggung berpunuk dan punggung berkemben kuning yang kini mulai lenyap ditelan gelapnya malam.
Dua pemuda pemudi itu berjalan melewati jalan setapak, menyusuri tepi hutan dan area persawahan sebelum memasuki pusat kota Desa Peparing. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, tak ada pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Historical Fiction"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...