Wijaya berharap penawar dari Mpu Bharada itu sejenis jamu yang diminum atau balsam yang dioles ke tubuh. Ternyata tidak. Wijaya harus berpuasa mutih[1] tujuh hari tujuh malam dan berendam air bunga yang telah diberi mantra sejak tengah malam hingga ayam berkokok di pagi hari. Bukan main, bagai dihukum saja rasanya. Sungguh tidak adil. Sang kakak bisa duduk-duduk bersantai membaca lontar, sedangkan dirinya harus begadang dan berpuasa.
Walau fisiknya perempuan, Wijaya menolak mengenakan baju perempuan. Ia minta baju yang sehari-hari dikenakan walau para dayang harus mengecilkan di beberapa bagian.
Malam itu, menjelang pelaksanaan mandi berendam, ia menyempatkan diri mendatangi sang ibu di purinya. Baru sampai di dekat gedung peristirahatan, ia mendengar pembicaraan sang ibu dengan dua orang. Pembicaraan itu terlihat serius dan dilakukan dengan suara pelan, sehingga membuat Wijaya curiga.
Wijaya mengendap-endap untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Ia harus hati-hati. Salah-salah, ia bisa ditangkap karena menguping di tempat yang tidak seharusnya.
Sudah lama sang ibu memendam amarah terhadap selir dari Sriwijaya itu. Selain berasal dari kerajaan yang membantai seluruh wangsa Isyana, selir itu juga istri kedua. Ibundanyalah yang mendampingi sang raja ketika melarikan diri ke Vanagiri, rela menderita di hutan selama bertahun-tahun. Dengan demikian, seharusnya ayahnya mengutamakan putra Dewi Laksmi sebagai putra mahkota, bukan mengangkat mereka berdasarkan urutan tanggal kelahiran [2].
Mengapa pula ia lahir terlambat, sehingga ayahanda Maharaja memilih Panji sebagai Rakryan Mahamantri i Hino menggantikan sang putri sulung, Sanggramawijaya Tunggadewi? Ah, suratan takdir memang tidak berpihak kepadanya.
Wijaya dengan cermat mengamati orang yang datang itu. Rasa-rasanya ia belum pernah melihat mereka di antara para abdi dan punggawa.
Telinga wijaya samar-samar mendengar pembicaraan mereka.
"Apa benar racun kalian ini manjur?" bisik Sang Permaisuri.
"Hamba jamin, Paduka, tidak akan menunggu esok hari, sudah bereaksi."
Sang Dewi menggeleng. "Aku tidak mau yang seperti itu. Adakah yang perlahan pengaruhnya sehingga orang tidak menyadari?"
Kedua orang itu menjelaskan panjang lebar yang kurang dipahami oleh Wijaya. Yang pasti, Wijaya tahu ibundanya berniat meracuni seseorang. Siapa lagi kalau bukan selir Baginda dan putranya? Seketika, Wijaya menggigil di tempat persembunyian. Ia baru tahu ibundanya bisa sekeji itu. Bukannya menjadi marah, seulas senyum tersungging di bibir ayu Wijaya.
"Ibunda!" suara renyah Wijaya membuat Dewi Laksmi berjingkat kaget.
"Putraku! Mengapa mengangetkan Ibunda seperti itu? Lama-kelamaan Pangeran semakin mirip dengan Pangeran Panji!" tegur Dewi Laksmi seraya menepuk-nepuk dada yang berdebar.
Wijaya duduk manja di dekat kaki ibundanya. Dielusnya kaki itu sehingga hati Dewi Laksmi luluh seketika.
"Aha! Bila seperti ini, pasti ananda punya permintaan. Katakan saja," kata Dewi Laksmi sembari mengelus kepala sang putra.
"Ibunda Ratu, bolehlah ananda meminta sesuatu yang sangat penting?" tanya Wijaya mengiba.
"Boleh, boleh. Mintalah," sahut sang ibu.
"Bila ingin mengangkat ananda sebagai putra mahkota, jangan dengan cara seperti itu. Meracun, itu terlalu kasar dan mudah dilacak, Ibunda," ujar Wijaya yang masih setengah ayu karena pembersihannya belum tuntas.
Wajah Dewi Laksmi memucat seketika. "Ananda, kamu ... kamu?"
Wijaya mengangguk. "Benar, Ibunda. Ananda mengetahuinya. Semudah itu rencana Ibunda terbongkar."
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Ficțiune istorică"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...