Panji terdiam. Belum waktunya bagi Klething Kuning mengetahui siapa jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak ingin Klething menjauhinya. Bersama Klething Kuning adalah saat yang membahagiakan selama ia dikutuk menjadi manusia setengah yuyu. Bukan … bersama Klething Kuning adalah masa-masa yang membahagiakan dalam hidupnya.
Hidup dalam kesederhanaan. Dengan tawa dan canda yang mewarnai hari mereka, Panji sangat bahagia. Kebahagiaan sederhana yang tidak bisa diukur dengan emas dan permata yang ada di gudang harta Kerajaan Kahuripan.
Seperti hari-hari yang lalu, Klething Kuning dengan sangat telaten memberikan pasta ramuan liur daun lidah buaya yang diracik sendiri oleh Mbok Rondho Peparing. Sakitnya Panji kali ini cukup lama diderita. Mungkin karena Panji memang berdoa agar dirinya tidak cepat sembuh sehingga bisa mendapat perhatian dan belaian lembut dari jari lentik namun sekuat baja milik Klething Kuning.
Pagi ini, matahari sudah terbit dari peraduan. Panji masih bergelung di amben. Dalam tidurnya, ia mengulas senyum bahagia karena bermimpi indah bersama Klething Kuning.
Pong! Pong! Pong!
Suara dari punuk cangkang itu sangat menggoda Klething Kuning. “Jangan kamu mainkan punukku sesukamu, Kuning!” ucap Panji masih dengan memejamkan matanya. Bukan karena ditepuk di bagian punuknya yang membuat Panji bangun. Suara ‘pong’ berirama seperti kendang yang menggema di ruangan gubuk itu yang membuat Panji bangun.
Pong! Pong! … Pong! … Pong! Pong!
Ketukan itu berirama disertai kekehan dan gerakan kepala Klething Kuning yang membuat gemas Panji. Ingin sekali Panji menjangkau gadis langsing itu ke rengkuhannya. Memeluknya dengan gemas.
“Iya … aku bangun!” Panji pun akhirnya menegakkan tubuhnya. Tawa kecil Klething Kuning disambut oleh kekehan ringan Mbok Rondho Peparing yang sangat menyukai interaksi antara dua orang muda itu.
“Hah … kalian ini sungguh pasangan yang menggemaskan,” ujar Mbok Rondo sambil meletakkan ceting ke atas balai-balai bambu.Semburat rona merah di pipi Klething Kuning sepintas tertangkap oleh netra Mbok Rondo. Namun perempuan tua itu hanya diam, dan mengulas senyum lebar memperlihatkan geligi merahnya.
“Mbok, apa sejak kecil Grasak tidak bisa berjalan lurus ke depan?” tanya Klething Kuning yang sekarang membantu melipat kain selimut Panji.
Panji dan Mbok Rondo saling berpandangan. “Ah ya. Memang begitu adanya dia terlahir.”
Klething Kuning hanya mengangguk-angguk. Di otaknya terbayang betapa tersiksanya Panji saat berjalan. Belum lagi dia pasti merasa berbeda dengan yang lain. Sekali lagi, muncul rasa iba di hati Klething Kuning.
Klething Kuning membantu mengangkat Panji untuk bisa duduk bersama di amben mengitari makanan yang tersaji . “Sudah nyaman dudukmu?”
Panji mengangguk. Dia tak lagi canggung atau malu dengan keadaannya. Dia malah mensyukuri digigit para kucing itu yang sepertinya jatuh dari langit dikirim Dewi Kamaratih, seorang Dewi cinta yang ingin mempersatukan dua sejoli.
Pong!
Ketukan Klething Kuning terdengar keras, membuat Panji terlonjak dengan suara bagian tubuhnya sendiri. “Kamu kenapa senyum-senyum begitu seperti_”
“Jangan sebut aku anjing gila!” larang Panji.
“Ya sudah, kalau begitu seperti babi ngepet ….” Panji mendengkus. Sepertinya harapan Panji terlalu tinggi. Walaupun ia bisa berdekatan dengan Klething Kuning tetap saja, mereka selalu bersilat lidah saling meledek dan mengejek.
“Ayo … sudah! Kalian ini selalu meledek begitu bangun sampai mau tidur lagi. Nanti lama-lama jatuh cinta loh,” kata Mbok Rondo.
Mata bulat Klething Kuning melebar, mengerjap-kerjap membuat bulu mata yang tumenga ing tawang itu tampak indah dipandang. Jantung Panji bergemuruh kencang saat terpesona dengan mata dengan manik hitam jernih.
Mbok Rondo berdeham kencang. “Sudah pandang-pandangannya. Sekarang saatnya makan. Orang jatuh cinta makannya memakai nasi, lauk dan sayur, bukan dengan cinta dan pandangan mata. Mana bisa kenyang.”
“Ih, Simbok … Siapa yang jatuh cinta?” kilah Klething Kuning menyembunyikan senyuman dengan melipat bibirnya. Pipi yang tampak merona itu ingin dikecup oleh bibir merah kenyal milik Panji.
Setelah sajian lengkap ada di atas balai-balai, berupa rebusan bayam, kacang panjang dan kecambah diurap dengan parutan kelapa yang berbumbu, disertai ikan yang diasinkan, mereka pun memulai makan pagi.
Panji selalu makan dengan bersemangat. Masakan Mbok Rondho selalu memanjakan di lidahnya, membuat batinnya menghangat karena dimasak dengan cinta dan ketulusan seorang ibu.
“Pelan-pelan Grasak makannya.” Mbok Rondo memperingatkan putra angkatnya yang makan dengan tangan capitnya yang tidak bisa ‘memuluk’ sempurna nasi dan sayur. Nasi pun tak jarang belepotan di sekitar mulut Panji.
“Grasak, kamu seperti anak kecil.” Klething Kuning terkikik melihat nasi dan remahan parutan kelapa mengotori mulutnya.
Masih mengunyah, Panji menatap Klething Kuning dengan menaikan alisnya. Tanpa diduga Klething Kuning mengangkat tangannya mengambil bulir nasi yang berada di bawah mulut Panji.
Panji memberikan cengiran yang memperlihatkan gigi putih dan rapi berjajar di dalam mulut. Geligi itu dibatasi bibir menul-menul merah muda yang tak dipungkiri menggoda kaum hawa untuk ingin mencecapnya.
Klething Kuning hanya menatap kosong bibir itu. Bibir yang menginginkan bibir tipisnya mendarat di permukaannya. Klething Kuning meneguk ludahnya dengan susah payah.
Demi Batara dan Batari yang ada di kahyangan, kenapa aku menjadi terpesona dengan bibir itu ….
Tok!!
Panji menjentikkan jarinya di atas kening Klething Kuning membuat gadis itu mengusap kasar dahinya. “Grasak!!”
“Pagi-pagi sudah melamun!” Klething Kuning mendengkus keras.
Hah, aku pasti sudah gila karena terlalu banyak berinteraksi dengan Grasak yang suka grasak grusuk srudak sruduk!
“Pagi ini, Simbok mau ke pasar untuk menjual ikan. Kita dapat tangkapan udang galah beberapa ekor. Nanti siang kita akan masak. Yang lain akan kita jual. Hyang Widhi sungguh berbaik hati memberi rejeki,” ujar Mbok Rondo. “Titip Grasak ya Nduk.”
“Baik, Mbok. Rencananya hari ini saya akan mengajari Grasak berjalan lurus.”
![](https://img.wattpad.com/cover/223545472-288-k499438.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Tiểu thuyết Lịch sử"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...