"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang.
"Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning
Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Panji keluar rumah dengan berdebar. Hari ini benar-benar hari istimewa untuknya. Sebelum ke rakit, ia membelok untuk mencari ceruk tenang di pinggir kali Brantas. Di kolam kecil itu ia mengamati bayangan dirinya.
Meski telah berulang kali melihat wajahnya melalui pantulan permukaan air, tetap saja Panji merasa nelangsa. Mata besar yang tidak simetris, biji mata yang menonjol keluar, hidung besar yang bulat dan bengkok sehingga lebih mirip gembili alih-alih hidung. Hantu dari manakah ini? Sungguh terlalu kutukan sang ayah!
Panji meraba bibir. Setelah lidahnya tidak lagi penyakitan dan liurnya tidak terus menetes, bibir itu terlihat lebih manusiawi. Bentuknya tebal, namun kemerahan dan ranum. Astaga, ranum? Panji geli sendiri. Ia memanyunkan mulut sehingga sepasang bibir tebal itu mengerucut membentuk bulatan, berwarna kemerahan, mengkilap, dan terlihat kenyal. Oh, lihatlah! Benar-benar menggemaskan bibirnya sekarang. Cocok sekali untuk senjata memburu ciuman.
Panji meringis lebar, menelisik isi mulut. Ternyata gigi geliginya besar-besar dan tidak beraturan. Letaknya saling tumpang tindih. Diciumnya aroma mulut. Astaga, kalau Wijaya mencium ini, pasti langsung mati suri dan muntah-muntah di dalam kubur.
Bau mulut ini tidak bisa dibiarkan. Nanti tidak ada satu pun gadis yang bersedia dicium. Melihat wajah dan tubuh berbentuk aneh saja mereka kabur, apalagi mencium aroma mulut yang aduhai. Panji tidak jadi pergi ke rakit. Ia berbalik menemui Mbok Rondo Peparing.
"Mbok, punya obat penawar bau mulut?" tanyanya dengan tatapan mengiba.
Mbok Rondo mengamati mulut Panji. "Hmm, banyak sekali keraknya, Le. Kalau begini, tidak cukup dengan menghisap ramuan. Gigimu harus digosok sampai bersih."
"Digosok pakai apa, Mbok?"
"Pakai sabut kelapa di belakang rumah itu, Le."
Panji pun menurut. Ia menggosok gigi dengan sepenuh hati. Sesudah itu, ia membuka mulut lebar-lebar di hadapan sang simbok. "Haaaaaa...."
Mbok Rondo Dadapan geleng-geleng kepala. "Keraknya membandel, Le. Sepertinya harus digosok dengan sabut khusus." Ia masuk ke dalam senthong, lalu keluar dengan membawa gumpalan kecil sebesar biji pala. "Pakai ini."
Panji curiga. Barang aneh apalagi yang diberikan simboknya ini? Tapi ia menurut saja tanpa banyak bertanya. Dan, sungguh ajaib. Kerak-kerak itu rontok seketika.
"Dari bahan apa sabut ini, Mbok?" tanya Panji keheranan.
"Bulu kemaluan kadal," jawab Mbok Rondo santai.
Mata Panji langsung menatap horor. Mata besar itu melebar. Irisnya yang kecokelatan terlihat jelas. Biarpun telah menjadi buruk rupa, Sang Hyang Widhi masih berbaik hati. Bulu mata lentik milik Panji masih diizinkan bertengger di pelupuk mata. Sehingga ketika mata itu melebar karena kaget, wajah Panji menjadi jenaka alih-alih menyeramkan. Mbok Rondo menjitak kepalanya sambil terkekeh-kekeh.