"Hah! A-ku ju-ga ti-dak su-di me-na-ik-i-mu!"
Seruan Panji itu membuat Klething Kuning sontak berbalik dengan mengarahkan tatapan tajam ke arah Panji yang dikenalnya dengan nama Grasak.
"Kamu bicara apa?" tanya Klething Kuning dengan dagu yang mendongak seakan siap menantang. Nada bicaranya tegas dengan mata lebar yang melotot dan lengan yang bersedekap di dada.
Panji meringis memperbaiki kalimatnya. "Mak ... sudnya , aku tidak sudi menaikkanmu ke rakitku ...." Geligi putih yang berjajar di mulut Panji terkuak saat bibir merah mudanya tertarik lebar. Cahaya yang menerpa geligi itu membuat mata Klething Kuning kembali mengerjap terpesona.
Pantas napasnya harum dan manis, geliginya bersih. Klething Kuning menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kencang. Kesal dengan pemikirannya yang mudah berubah. Demi Batara Shiwa, kenapa hambamu jadi seperti tempe! Esuk dele, sorene tempe (Pagi kedelai, sorenya tempe).
Klething Kuning berdecak kesal. Ia memutuskan untuk menjauhi makhluk nista yang mencuri ciuman para gadis. Memanfaatkan keadaan dan harapan para gadis yang ingin meminang pria rupawan di Desa Dadapan.
Klething Kuning bergegas pulang ke rumah Mbok Rondo Peparing. Ia penasaran dengan apa yang terjadi di seberang. Dengan tergesa Klething Kuning berlari ke rumah Mbok Rondo. Ya, berlari. Seperti kemarin dia seharian berlari mengejar kuda yang ditunggangi oleh para Klething yang lain. Di antara ilmu yang diajarkan Calonarang, ia belum sampai ke tahap ilmu bergerak cepat. Seandainya dia menguasai berjalan di atas air atau berlari di udara pasti dia tidak akan berurusan dengan si Grasak yang menyebalkan.
Begitu sampai di gubuk kecil di tepi sungai yang dikelilingi pohon jagung yang daunnya menjuntai lebat, Klething Kuning masuk ke dalam. Mbok Rondo Peparing sedang menyiapkan bekal untuk ketiga tamunya yang mau pulang ke desa Lemahireng.
"Harusnya kita pulang dulu saja! Pasti ibunda akan menyiapkan kain yang bagus untuk kita pakai sehingga kita terlihat lebih cantik." Klething Biru terdengar menggerutu.
Klething Merah mendengkus kasar karena merasa keputusannya dipersalahkan. "Hah! Apa bagusnya Ande-Ande Lumut! Rugi dia mendapatkanku yang cantik." Klething Merah menyibakkan rambutnya kasar.
"Dan kalian ...." Klething Merah menyipit tajam menatap dua adiknya. "Mau pakai kain sebagus apapun yang terpenting itu gantungan kainnya." Klething Merah mengurut lekuk tubuhnya yang memang sedikit lebih berlekuk dibanding dengan Klething Biru yang kerempeng dan Klething Hijau yang bulat.
Klething Kuning terkikik mendengar percakapan kakak tirinya di senthong. Mendengar kikikan Klething Kuning, ketiganya mengarahkan tatapan memicing tak suka.
"Klething Kuning! Kami mau pulang dulu! Tak sudi kami berlama-lama di sini. Selesaikan tugasmu. Jangan sampai guru marah apabila salah satu muridnya tidak mengindahkan titahnya," ujar Klething Merah.
"Baik Kakangmbok." Klething Kuning memberi jalan kakaknya yang berwajah masam itu. "Ehm, sebelumnya boleh adinda bertanya?"
"Apa?" tanya Klething Merah ketus.
"Apa yang membuat kalian gugur?" Lagi, Klething Merah mendengkus dengan cukup keras. Dia menatap bergantian kedua adiknya yang menunduk.
"Kalau aku ...." Klething Merah berdeham sejenak. "Tidak sudi menjadi istri lelaki lumutan itu!"
"Kata Kakangmbok, kakangmbok ditolak karena suka baju merah!" ujar Klething Hijau yang polos.
Wajah Klething Merah semakin kusut, hingga di atas kepalanya seolah tiga Klething lainnya bisa melihat asap yang mengebul. Klething Hijau lantas beringsut ke belakang Klething Biru yang juga terlihat ketakutan dengan amarah Klething Merah yang meletup-letup.

KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBURU CIUMAN
Ficção Histórica"Kalau kamu mau menyeberang, berikan aku ciumanmu, Gadis Cantik." - Panji si Yuyu Kangkang. "Hanya dalam mimpimu, Yuyu Kangkang!" - Candra Kirana si Klething Kuning Panji adalah Yuyu Kangkang penjaga sungai yang membelah Desa Dadapan. Untuk mematahk...