Prisma memajukan wajahnya, mengarahkan ke telinga Nisa dan berbisik di sana. "Melati itu ...." Dia membuat jeda. "Hantu perempuan penunggu rumah ini." Kemudian Prisma kembali membuat senyum miring di bibirnya.
Dunia Nisa seakan runtuh. Napasnya tercekat seiring dengan detak jantung yang kembali menggila. Wajahnya seketika pucat setelah mendengar hal yang dikatakan Prisma. Rasanya, Nisa ingin pingsan sekarang juga!
"A-Abang bercanda, 'kan? Man-mana ada hantu siang-siang gini, hahaha." Sebuah tawa garing meluncur dari bibir Nisa. Otaknya bekerja cepat merapalkan kalimat, 'Percaya sama Prisma berarti menduakan Tuhan' yang terus diingatnya berulang-ulang.
Wajah berseri Nisa seperti tersedot habis oleh ketakutan yang sungguh luar biasa dia rasakan. Netranya dengan cepat bekerja menoleh ke lantai bawah, menatap apa saja yang dapat dijangkau oleh panca indra penglihatnya. Tentu saja, dengan tubuh yang sudah gemetar.
"Hantu di rumah saya muncul siang. Kalau malam mereka tidur." Prisma masih berdiri tepat di depan Nisa, memerhatikan setiap gerak-gerik yang gadis itu lakukan.
Kepala Nisa menoleh dengan cepat ke arah Prisma. Tiba-tiba saja kepintaran yang cuman seuprit hilang begitu saja. Otaknya bekerja lambat mencerna setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Pria itu. "Ha?" Nisa melongo menatap Prisma bodoh.
Prisma menangkup wajahnya dengan tangan kanan. Hampir saja tawanya mengudara ketika melihat ekspresi bodoh gadis di depannya. "Saya baru tahu kalau selain penakut, ternyata kamu juga bodoh," katanya setelah dia berhasil mengendalikan diri. Prisma menatap Nisa sembari berkacak pinggang. "Gunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Masa mudamu harusnya digunakan untuk belajar, bukannya menghayal hal yang tidak-tidak."
Otaknya yang sedari tadi blonk, kini sudah kembali on. Membabat habis kesadaran Nisa sehingga langsung memukul lengan Pria di depannya, melupakan fakta bahwa Nisa takut pada Pria itu. "Bang Prisma nokohin aku?" tudingnya.
Ringisan kesakitan keluar dari bibir Prisma, tangan kirinya bekerja mengusap-usap lengan kanannya yang baru saja dipukul. Pria itu menatap takjub pada sebuah cap lima jari yang berasal dari tangan Nisa, sedikit tidak percaya tangan sekecil itu dapat menghasilkan hal sebesar ini. "Kamu! Lengan saya ...." Tatapan setajam elang berhasil Prisma layangkan. Dia maju selangkah, mencoba mengintimidasi gadis di depannya.
'Hah, mampus aku!'
Nisa menggigit bibir bawahnya kuat. Pergi ke mana keberanian yang tadi dia agung-agungkan? Kenapa pergi setelah pria di hadapannya sudah kembali ke wujud aslinya?
'Maaakkk!! Tolong, lah, anakmu ini!!'
Nisa mundur selangkah, tangannya yang bebas dia silangkan di depan dada, bermaksud membangun benteng pertahanan pertama. "It-itu ...." Netranya menatap awas pada Prisma yang terus memajukan langkahnya. Tatapan mata pria itu masih sama seperti tadi, tajam dan menusuk. Menimbulkan efek getar pada tubuh dan detakan kinerja jantung yang menggila.
Seruan dari hati untuk berlari kabur masuk ke kamar sudah sedari tadi meneriakinya. Namun, kakinya yang tiba-tiba saja melemas membuat Nisa tidak bisa kabur ke mana-mana selain terus memundurkan langkahnya dengan perlahan. Rasa takut terhadap Prisma yang tadi sempat pergi sebentar kini sudah datang kembali, dan tentu saja hal itu tidak bagus sama sekali.
"B-Bang, jangan maju-maju. Bagus Abang mundur aja, di depan sini nggak ada masa depan cerah. Eh." Nisa memukul-mukul mulutnya yang bisa-bisanya masih bisa berbicara konyol seperti tadi. Nyawa sedang di ujung tanduk masih sempat-sempatnya memikirkan masa depan orang. Urusi saja masa depan sendiri yang kini terancam punah.
Prisma menaikkan sebelah alisnya, kakinya terus saja melangkah maju mengikuti Nisa. hingga langkah Nisa terhenti karena punggungnya menabrak dinding, barulah Prisma menghentikan langkahnya. Jarak antara Prisma dan Nisa begitu dekat. Maju lagi dua langkah, Prisma yakin diantara dirinya dan Nisa sudah tidak ada jarak. Prisma sedikit memajukan wajahnya, menaruh lengan kirinya di sisi Nisa, kemudian menatap Tajam gadis Di depannya. "Bo-doh." Sebuah sentilan mendarat mulus di dahi Nisa yang berponi. Membuat Nisa mengaduh dan refleks langsung mendorong Prisma, yang ternyata sama sekali tidak membuat pria itu bergerak dari tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Galak! [TAMAT]
Romance[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu menyeramkan untuknya. Takut pada Tuhan? Itu harus. Takut pada setan? Sudah biasa. Takutnya ini adalah...