Prisma mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke atas meja. Netranya memandang lekat ponsel yang ia pegang, lebih tepatnya pada sebuah foto yang terpampang di layar. Prisma menyandarkan tubuhnya, senyumnya mengembang kala mengingat tentang orang di dalam foto tersebut. Mengingat bagaimana paras ayu dan senyum manis yang sudah beberapa tahun ini menjadi objek mimpi indahnya.Kemudian Prisma melirik jam yang ia kenakan. Pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Hmmm, dia pasti masih belajar saat ini--pikir Prisma.
Jarinya bergerak menggeser-geser layar, lagi-lagi yang terpampang adalah foto orang yang sama, namun dengan gaya yang berbeda. Meskipun semua foto-foto tersebut diambil secara candit, namun hal itu sama sekali tidak mempengaruhi kadar kecantikan orang itu. Malahan terlihat lucu, apalagi di salah satu foto yang wajahnya terlihat sedang memberengut, rasa ingin mecubit pipi tembam gadis itu langsung melambung begitu saja.
"Annisa Fadlan Lubis," gumam Prisma. Tiba-tiba saja dia tertawa kecil melihat salah satu foto yang baru diambil beberapa hari lalu. Tepatnya ketika dia mengajak Nisa jalan-jalan dan berakhir pulang tanpa hasil apapun. Di foto itu, Nisa nampak sangat lucu dengan wajah kesalnya menatap ke arah piring. Wajahnya memberengut, bibir dimanyunkan, membuat Prisma berdecak karena tak tahan ingin mengunyel-unyel wajah gadis yang dicintainya.
Hmm ... cinta, ya? Anggap saja Prisma gila karena sudah menaruh rasa pada gadis yang usianya terpaut tujuh tahun dengannya itu. Lagi pula, cinta itu tidak memandang usia, 'kan? Dia hadir untuk menambah warna di setiap insan yang berjiwa. Tak mengenal usia ataupun kasta. Jadi, jangan salahkan Prisma karena telah jatuh hati pada gadis penakut yang tinggal di sebelah rumahnya.
"Heh! Bukannya kerja malah melamun senyam-senyum nggak jelas. Kalok kau kesurupan, aku nggak mau tanggung jawab, ya."
Prisma melirik sekilas ke arah pintu, dia memutar bola matanya melihat Jangga--temannya-- tengah menatap Prisma sembari berkacak pinggang, disertai dengan memasang wajah sesangar mungkin.
"Aku bosnya di sini. Kau mau apa?" Prisma masih menatap foto Nisa yang terpampang di layar ponselnya, dan senyumnya kembali mengembang.
"Nengok apaan, sih, kau?"
Prisma sedikit tersentak melihat Jangga yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya. Dengan cepat dia mematikan ponselnya dan menatap tajam ke arah Jangga.
Jangga memutar bola matanya ketika Prisma menatapnya tajam. Sudah terbiasa, dia sama sekali tidak takut melihat tatapan itu. "Adek emes aja yang kau tengok, nggak bosen, kau?"
Ponsel yang sedari tadi dipegang, kini dia simpan ke dalam laci meja. Prisma melipat tangannya di depan dada, menatap Jangga dengan senyum mengejek. "Bilang aja kalau kau iri sama aku?," ucap Prisma.
Jangga berdecih. "Hah! Mentang-mentang adek emes nginep di rumahmu, makin sombong aja kau." Jangga berjalan memutari meja, kemudian berheti di kursi yang bersebrangan dengan Prisma, lalu duduk di sana.
Adek emes, panggilan Jangga untuk Nisa. Terdebgar konyil memang, bahkan ketika Prisma pertama kali mendengarnya, dia sedikit heran.
Prisma menyunggingkan senyum bangga. "Ya harus! setiap hari aku bisa ngeliat muka sayangku." Kemudian setelahnya Prisma tertawa melihat orang di depannya yang memperagakan gaya orang muntah.
"Sayang kepala kau peang! Ngaku cinta aja nggak pernah, udah manggil anak orang sayang-sayang. Malu lah kau sama anak SD di komplek ku, masik bauk kencur tapi udah nebar kata cinta sampek ke penjuru dunia."
Lagi-lagi Prisma tertawa ketika mendengar perkataan konyol Jangga yang sialnya memang benar adanya. "Cinta nggak harus berpatok dengan ungkapan 'aku cinta kamu', 'kan? Karena itu bukan gayaku. Sikapku selama ini sudah cukup untuk menjelaskan semuanya," ucap Prisma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Galak! [TAMAT]
Romance[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu menyeramkan untuknya. Takut pada Tuhan? Itu harus. Takut pada setan? Sudah biasa. Takutnya ini adalah...