Lagi-lagi hanya helaan napas berat yang didapat Nisa. Pria itu terdiam, menatap semakin dalam manik mata Nisa. Genggaman tangan mereka semakin erat. Sampai jawaban yang keluar dari bibir Prisma langsung membuat Nisa menahan napas.
"Mungkin ... empat tahun."
----------------------------------------------------------
Perkataan Prisma tadi siang terus menghantui pikiran Nisa. Gadis itu bergerak gelisah di tempat tidurnya, berusaha untuk tertidur, namun kedua matanya sama sekali tidak bisa terpejam. Nisa menghela napas, bergerak bangun dan langsung berjalan ke arah jendela kamarnya, membuka benda itu dan langsung duduk di kursi yang ada di sana, memperhatikan kamar seseorang yang jendelanya berhadapan dengan jendela kamar Nisa.
"Pabrik ayah yang ada di Bandung sedang bermasalah, sementara pabrik yang berada di sini tidak bisa ditinggal begitu saja. Ayah dan bunda juga sudah lumayan tua dan mereka mudah lelah, saya tidak tega jika mereka yang pergi ke sana. Jadi, saya memutuskan untuk pergi ke sana sampai semuanya selesai. Saya juga akan melanjutkan S2 saya di sana."
Penjelasan Prisma kembali terngiang di kepalanya. Rasanya Nisa ingin egois, melarang Prisma pergi ke sana karena sejujurnya Nisa sangat tidak rela ditinggal Prisma begitu lama. Namun kenyataan seakan menamparnya, bisnis keluarga yang saat ini tengah dipertaruhkan, dan Nisa tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika semisal Prisma tidak jadi pergi karena Nisa dan kemudian usaha orangtua Prisma di sana langsung bermasalah.
Pikiran Nisa kalut. Tadi setelah Prisma memberi penjelasan, Nisa sama sekali tidak berbicara apa-apa. Batinnya terkejut, siapa yang menyangka hal ini akan terjadi? Di tengah kebahagiaan karena Prisma yang sudah mengikatnya, kenapa hal seperti ini harus terjadi setelahnya? Rasanya Nisa ingin ikut pria itu pergi ke sana, namun dirinya sadar kalau dia juga sudah tidak bisa meninggalkan kota kelahirannya ini. Tak lama lagi Nisa akan menjadi mahasiswa di salah satu Universitas di kota Medan, dan Prisma pasti akan melarang keras jika Nisa mengorbankan pendidikannya demi ikut bersama Prisma ke Bandung.
Dering ponsel Nisa di meja nakas sukses membuat launan Nisa buyar. Dia langsung bangkit dan berjalan mengambil ponselnya, tertera nama Prisma di sana, membuat Nisa langsung menduduk sedih.
"Hei."
Nisa bungkam, dia tetap menundukkan kepalanya, sama sekali belum bergerak dari tempatnya.
"Nisa."
Nisa hanya menggumam sebagai jawaban, antara malas menjawab dan tidak sanggup berbicara. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bayangan akanPrisma yang sebentar lagi pergi jauh darinya begitu menohok hati Nisa sampai ke bagian terdalam.
"Nisa, angkat kepalamu."
Nisa menggeleng lemah. Dia tahu kalau Prisma saat ini tengah berdiri di depan jendela kamar pria itu, sementara cairan bening yang sedari tadi dia tahan sudah tumpah membasahi pipi, dan Nisa tidak ingin Prisma melihatnya.
Terdengar helaan napas dari ponsel yang menghubungkan dirinya dengan Prisma. Nisa menggigit bibir bawahnya berusaha menahan isakan. Entah mengapa hari ini Nisa begitu merasa sedih, sebenarnya sudah sedari tadi siag dia ingin menangis, menumpahkan segala keresahan yang dirasakan, namun dia tahan karena Nisa tidak ingin terlihat sedih di depan keluarganya. Sampai tadi adalah puncaknya. Mendengar suara Prisma, tangisnya yang sudah dia tahan mati-matian, langsung tumpah begitu saja.
"Nisa, jangan nagis."
Larangan untuk tidak menangis malah terdengar seperti kata-kata penyemangat untuk semakin menangis keras. Isakannya mulai terdengar, bahunya sudah mulai bergetar. Di ujung sana, Prisma lagi-lagi menghela napas. Melihat orang yang dicintai menangis seperti itu membuat hatinya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Galak! [TAMAT]
Romance[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu menyeramkan untuknya. Takut pada Tuhan? Itu harus. Takut pada setan? Sudah biasa. Takutnya ini adalah...