"Nis. Sini, lah. Kayaknya nih CPU bermasalah."
Nisa melirik Tari di sampingnya. Alisnya bertaut melihat Tari yang nampak jengkel sambil memencet-mencet tombol power di CPU.
"Bermasalah kayak mana?" Nisa meninggalkan komputer di depannya. Dia berjalan mendekati Nisa yang masih memencet-mencet tombol yang sama.
"Tadi Power Supplay-nya udah ku pasang. Tapi kenapa masih belom bisa jugak? Apa tadi aku ada salah masang, ya?" Gadis itu nampak semakin bingung, tangannya kembali membuka penutup CPU dan kembali melihat-lihat isinya.
"Cobak sini kutengok." Nisa menggeser tubuh Tari. Dia melihat-lihat kembali perangkat-perangkat di CPU yang berada di tempatnya masing-masing, sama sekali tidak ada yang salah. "Bener semua nya ini. Udah betol, kok, kau masangnya." Nisa masih melihat-lihat. Dia menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan dahi berkerut bingung.
"Astaga Tari dodol." Jitakan maut Nisa segera mampir di jidat Tari. Membuat gadis itu mengaduh dan langsung mengelus-elus kepalanya. "Ini sampek kiamat kau idopkan, pun, nggak bakal bisa idop kalok kabelnya nggak kau colok. Iss, ya ampun ... bodohnya lah kau jadi orang ...." Tangan Nisa mengambil kabel yang tergeletak di lantai dan memasangnya di belakang CPU, lalu dihubungkan ke colokan listrik. Kemudian dia menekan tombol power di CPU dan monitor di depannya langsung menyala.
Dia melirik Tari sinis, yang dibalas acungan jari jempol oleh Tari. Setelahnya Nisa kembali ke komputer bagiannya.
"Nisa!"
Seorang lelaki berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Sambil membawa-bawa kabel yang lumayan panjang. Nisa menatapnya dengan alis terangkat setengah begitu orang itu sudah sampai di depannya. "Kenapa lagi kau Jal?"
"Ini susunan warnanya kayak mana? putih-hijau, biru dulu atau putih-biru, hijau dulu?" Lelaki bernama Rijal itu menggaruk-garuk lehernya, sambil menatap kabel UTP di tangannya. "Iss, heran kali lah aku. warna-warna kayak gini pun pakek disuson-suson. Tinggal dipasang aja apa susahnya, cobak? Aku kalok gambar, pun, nggak nya perlu disuson gini warnanya." Rijal mendumel, matanya menatap jengkel kabel di tangannya.
Nisa memutar bola matanya malas. Rijal ini termasuk salah satu murid yang ke sekolah hanya setor absen. Tampang lumayan tapi otak jeblok, bodohnya melebihi orang paling goblok. Mempunyai cita-cita jadi pengusaha sukses, tapi perkalian dasar masih harus mikir lima menit untuk menemukan jawaban. Pengusaha apa yang bisa sukses dengan kadar kepintaran seperti itu?
Tangan Nisa bergerak naik dan mendarat indah di lengan Rijal, membuat lelaki iti menjerit. "Heh, somplak! Makanya kalok pak Peguh njelasin itu didengein. Cewek aja yang asik kau pikirin! Sampek-sampek hal gampang kayak gini, pun, kau nggak tahu. Sini!" Nisa mengambil kabel UTP dari tangan Rijal. Jari-jari tangannya bergerak menyusun warna kabel di sana.
"Ya jelas, lah, aku lebih mikirin cewek. Tanpa cewek, hidupku hampa. Tanpa cewek, aku nggak bisa punya anak." Rijal nyengir. Setelahnya memasang sikap waspada begitu melihat Nisa yang menatapnya galak.
"Alah, kata-katamu! Kalok kau goblok gini, pun, binikmu besok mau kau kasih makan apa?!" Huh, menghadapi Rijal yang somplak sungguh butuh tenaga besar. Kata-kata lelaki itu, kalau bicara tidak pernah disaring. "Mana RJ sama tang krimping nya." Tangan Nisa terulur ke arah Rijal, dengan sigap Rijal memberikan apa yang Nisa minta.
"Uh, terima kasih ayang Nisa ... jadi makin sayang, deh." Rijal melakukan gerakan mencium jarak jauh sembari mengedip-ngedipkan sebelah matanya.
Nisa melakukan gerakan orang muntah, membuat Rijal tertawa terpingkal. "Nggak ada yang gratis, ya. Nanti istirahat kau belikkan aku bakso." Mata Nisa menyipit tajam, menatap Rijal yang tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Galak! [TAMAT]
Romance[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu menyeramkan untuknya. Takut pada Tuhan? Itu harus. Takut pada setan? Sudah biasa. Takutnya ini adalah...