TG22 || Sebuah Pernyataan

6.3K 768 7
                                    

Selamat membaca ....
Jangan lupa tekan🌟 ya😉😊

..................

Untuk yang terakhir, Nisa mengelus kepala Prisma, lalu berpindah ke dahi pria itu dan memijit-mijit dahi Prisma yang berkerut. Lalu, ketika Nisa hendak menarik tangannya kembali, tiba-tiba saja tangan Nisa dicekal. Matanya melotot sempurna melihat Prisma yang sudah membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang, seperti sedang ada perlombaan lari maraton di sana.

"B-bang Prisma ...," cicit Nisa. Dia meneguk salivanya susah, mendapatai Prisma yang tengah menatapnya tajam meskipun wajah pria itu terlihat lesu.

Seperti maling jemuran yang ketahuan ketika sedang beraksi, Nisa benar-benar malu dan juga takut saat ini. Malu karena ketahuan memerhatikan Prisma dan takut karena sedari tadi pria itu terus menatapnya tajam, bak seorang pidana yang siap dieksekusi.

"Mmm ... B-bang ...."

Nisa berusaha menarik tangannya dari cekalan Prisma, namun semakin kuat dia menariknya, semakin kencang pula Prisma mencengkram tangannya. Dalam hati dia mengumpat, merutuki tenaga Prisma yang begitu besar meskipun tengah sakit begini.

"Ngapain kamu di sini?!" tanya Prisma ketus, meskipun suaranya terdengar lemah.

Nisa menghentikan upaya pelepasan tangannya dan menatap Prisma ketika didengarnya pria itu berbicara. Diperhatikannya mata pria itu yang terlihat sayu, namun tetap saja dapat mengintimidasi Nisa melalui tatapan tajamnya yang masih terlihat.

"Ngapai kamu di sini?"

Nisa sedikit tersentak, tubuhnya refleks langsung bergerak ke belakang. Ouh, dasar bodoh ... masih sempat-sempatnya dia melamun, rutuknya. Dia menggigit bibir bawahnya, menatap Prisma takut.

"Disuruh Bun-eh bik Suci ngenter bubur." Rasa malunya semakin menjadi, apa-apaam mulutnya ini yang dengan tenang memanggil bik Suci bunda? Memang benar, sih, kalau bik Suci sendiri yang menyuruhnya untuk memanggil seperti itu, tapi, kan, ini di depan Prisma, anaknya bik Suci.  Nisa benar-benar akan menjadi perempuan yang tidak tahu malu kalau dia masih memanggil bik Suci dengan sebutan bunda.  Pasalnya, kalau Nisa masih memanggil bik Suci seperti itu, itu tandanya Nisa setuju, dong, menikah dengan Prisma. Huh, Nisa sama sekali tidak pernah membayangkannya.

"Suapi saya."

"Ha?"

Nisa menatap Prisma cengo. Telinganya tidak salah dengar, kan? Apa kata Prisma barusan? Suapi? Suapi siapa?  " Abang tadi ngomong apa?"

Berdecak kesal, Prisma memutar bola mata malas. Kemudian dia melepaskan cekalan tangannya, bergerak untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang dengan perlahan. Kemudian diambilnya mangkuk di atas meja nakas dan disodorkan ke arah Nisa. "Suapi saya," katanya.

Mendadak tubuh Nisa terasa lemas. Niatnya hanya ingin memgantar bubur dan segera pulang lalu kembali memakan bakso lavanya, bukan tetap bertahan di rumah bik Suci dan berakhir menyuapi seorang pria yang mendadak berubah menjadi  manja. Ngomong-ngomong soal bakso lavanya di rumah, bagaimana nasib makanan kesayangannya itu sekarang? Nisa tidak yakin jika dia pulang nanti makanan itu masih utuh. Huhuhu, ingin rasanya Nisa menangis meraung saat ini.

"Heh."

Lagi-lagi Nisa tersentak, sebuah sentuhan di tangannya berhasil menyadarkan Nisa kembali. Nisa merutuk,  lagi-lagi dia melamun di tengah badai seperti ini. Akhirnya dengan ragu Nisa meraih mangkuk yang disidorkan Prisma. Mengambil sesendok bubur di dalamnya, kemudian mengarahkan ke mulut Prisma.

Nisa menghela napas lega, untung saja kegugupannya tidak membuat sendok tadi terjatuh. Rasa malunya sudah mencapai puncak tertinggi, jangan ditambah lagi dengan tingkah bodohnya yang menjatuhkan sendok karena rasa gugup melandanya.

Tetangga Galak! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang