10. Sang Penguasa Sekolah

170 50 93
                                    

Ruang bimbingan konseling atau yang biasa disebut ruang BK menjadi saksi bisu kejadian yang akan terjadi hari ini.

Setelah meninggalkan Mayrine yang beristirahat di UKS, Mark tak mau buang waktu. Ia langsung mencari pelaku perundungan tadi.

Demi Mayrine, Mark meninggalkan kelas biologi dan menangkap basah Dheya.

Sebenarnya itu hanya alasan sebab, Mark membenci pelajaran biologi.

"Jadi bagaimana, masih tak mau mengaku?" Mark menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Dheya terlihat murung, nasib baik sedang tak berpihak padanya.

"Kita..." Salah satu dayang Dheya kehilangan kata-kata untuk melawan Mark.

Mau dikatakan apalagi? Mereka sudah mati kutu.

"Tak ada tapi-tapi. Disini aku yang berkuasa penuh. Bukannya sudah kubilang kepada seluruh warga sekolah jika ada yang menyakiti Mayrine seujung kuku maka kalian akan merasakan akibatnya." Jika Mayrine ada disini maka, ia akan merasakan perubahan aura Mark dengan yang biasanya.

Bu Irene selaku guru bimbingan konseling hanya bisa diam. Jika masalah ini tidak menyangkut Mayrine, "Si kesayangan Mark" maka ia akan angkat bicara.

Namun, semuanya tahu apapun yang menyangkut Mayrine, Mark yang akan turun tangan. Mark mempunyai kuasa penuh atas sekolah ini setelah ayahnya.

Bu Irene memerhatikan Mark, perasannya mengatakan bahwa Mark bukan sekedar bersahabat dengan Mayrine. Namun, ada sesuatu yang lebih dari itu.

Jika tidak, Mark tidak akan semarah itu sampai turun tangan untuk melihat rekaman CCTV.

"Jadi bagaimana keputusanmu Mark?" Bu Irene mulai bosan. Dirinya yang menjadi guru bimbingan konseling, malah Mark yang menceramahi Dheya dan teman-temannya.

"Tunggu Bu. Aku masih memberi kesempatan bagi mereka untuk bicara. Dheya, beritahu alasanmu mengapa menyakiti Mayrine?"

Dheya mengehela napasnya. Jika Mark mendengar jawabannya mungkin saja harga dirinya akan jatuh saat ini juga.

Tapi jika ia tidak jujur maka Mark akan tahu.

Ah mengapa serumit ini?

"Sebenarnya Mark..... Aku membenci Mayrine karena...karena dia dekat denganmu. Aku sudah lama menyukaimu." Dheya memainkan ujung kuku, menyembunyikan rasa gugupnya.

Dan kalian tahu respon Mark?

Ia tertawa keras sampai sesisi ruangan terkejut karena responnya.

"Kau sungguh konyol Dheya. Aku...hahaha...maaf, maksudku kau bukanlah tipeku." Mark memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.

Bagi Mark, perempuan memang mengerikan. Apalagi jika berhubungan dengan masalah cinta, semua cara akan digunakan. Tapi, tidak semuanya seperti itu.

Setelah berhenti tertawa Mark kembali memasang ekspresi tegas.

"Baik Bu Irene. Saya minta ibu menelpon orang tua mereka bertiga untuk memberitahu jika sekolah ini tidak membutuhkan murid seperti mereka."

Bu Irene mengangguk pelan.

"Nanti akan kulakukan. Ada lagi?"

Mark menjentikkan jarinya, "Ah ya, jangan lupakan surat resminya."

Mark tersenyum tipis, "Silakan mencari sekolah lain. Disini tidak menerima murid seperti kalian."

Mark pergi meninggalkan Dheya dan dayangnya yang masih terkejut.

Mereka dikeluarkan.

Dan dengan mudahnya Mark keluar dari ruang BK dengan wajahnya yang ceria.

Orang berkuasa memang bebas.

Mayrine menengadahkan kepalanya. Entah dimana Mark berada sekarang. Mark tidak mengikuti kelas biologi dan sekarang sampai jam pulang belum kembali.

Menurut Mayrine, definisi menyusahkan itu Mark.

Mayrine sempat mengirimi pesan dan bertanya Mark dimana dan jawabannya seperti ini:

Mark
Jangan kemana-mana tunggu aku di halte depan sekolah saja. Aku ada urusan.

Kalau aku mau pulang dengan bus atau ojek online bagaimana?

Mark
Jangan keras kepala Mayrine. Hari ini aku mengendarai mobil, biar aku yang mengantarmu pulang.

Iya, berisik

Mayrine membaca ulang pesan tadi. Sudah satu jam berlalu namun belum ada tanda-tanda Mark muncul dihadapannya.

Bosan, Mayrine memainkan game yang ada di ponselnya. Mark memang begitu, karena sudah terbiasa dimanja dia jadi sering tidak tepat waktu.

"Bolehkah aku duduk di sebelahmu?" Mayrine hanya mengangguk tanpa menoleh, masih fokus dengan gamenya.

"Ouch shhh.." terdengar suara mengaduh dari orang yang ada di sebelah Mayrine.

Mendengar itu Mayrine langsung menutup aplikasi game miliknya.

"Apa yang bisa kubantu... Jun?" Mayrine kaget ketika mendapati Renjun yang ada di sebelahnya sudah dalam keadaan babak belur.

Renjun hanya menggeleng, menyandarkan kepalanya di bahu Mayrine.

"Untuk sementara aku tidak bisa dekat denganmu seperti biasa. Maaf, nanti jika bisa akan kujelaskan alasannya. Oh iya masalah Lia, aku tak punya perasaan apapun padanya."

Hati Mayrine kembali terasa sakit.
Lagi-lagi Lia dan Lia.

"Luka di wajahmu harus diobati Jun." Mayrine berusaha berucap datar, menyembunyikan segala kekhawatiran.

"Masih pantaskah tanganmu mengobatiku?" hati Mayrine mencelos ketika mendengar penuturan Renjun.

"Bukankah kita masih...ah maaf. Jadi bagaimana, mau diobati tidak?"

Renjun tetap diam, menatap kosong jalan raya yang ada di depannya.

Suara klakson mobil mengangetkan mereka berdua. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Mark yang menatap Renjun dengan tatapan dingin.

"Mark, bolehkah?" Mayrine melirik Renjun sekilas .

"Kau mau aku mengantarkan bajingan ini?" Mark kembali merubah gaya bicaranya menjadi lebih kasar ketika menyangkut tentang Renjun.

"Apa aku perlu memohon padamu?"

Mark menghela napasnya.

"Ya sudah terserahmu. Disini kau yang berkuasa." Mark pasrah, ia tak mau Mayrine sedih jika Mark menolak kemauan Mayrine.

"Jika menurut kalian aku adalah beban, kalian bisa meninggalkanku."

Mayrine menggeleng pelan.

"Tidak ada istilah seperti itu Jun. Ayo masuk ke mobil."

Mark memalingkan wajahnya. Berada di zona pertemanan adalah hal tersulit yang pernah ia rasakan.

Ya setidaknya Mayrine bahagia. Itu saja sudah cukup buatnya.

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 1  Ft.Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang