17. Menghilang

157 38 75
                                    

Hari ini Mayrine terpaksa menaiki ojek online. Dia sudah menghubungi Mark berkali-kali namun, tak diangkat. Begitu juga dengan Renjun, sejak semalam ponsel Renjun tak aktif.

“Maaf, aku tidak sempat mengaktifkan ponselku tadi.” Mark tak enak pada Mayrine. Pasalnya, Mayrine datang ke sekolah dengan keadaan yang sedikit kacau. Mungkin karena panik takut terlambat.

“Tidak apa.” Mayrine tersenyum kecil.

Bukan karena itu saja Mark merasa tak enak, hari ini ia mengantar Chika berangkat sekolah. Ia takut jika Mayrine tahu maka ia akan marah.

Mayrine melamun di kelas, bangku yang biasanya diisi oleh Renjun hari ini kosong.

Tak ada yang tahu mengapa Renjun tidak masuk sekolah.

Mayrine mengeluarkan ponselnya, mengetikkan pesan padanya.

Dimana? Mengapa tidak masuk?

Mayrine mengembuskan napasnya kasar, Mark yang katanya akan menghubungi Renjun juga sama. Katanya, ponsel Renjun tidak aktif.

Mayrine menenggelamkan kepalanya diantara kedua tangannya yang terlipat diatas meja.

“Selamat tidur, aku mencintaimu.”

Ujung jari Mayrine meremas tali tasnya. Halusinasi macam apa ini? Seharusnya ia tak mendengar suara Renjun disaat seperti ini. Lama-lama Renjun bisa membuatnya gila.

Suara itu begitu nyata. Atau Renjun tahu ia sedang ingin beristirahat?

Tapi, bukan begini caranya. Jika Renjun bosan dengan hubungan ini, ia seharusnya memutuskannya sejak awal. Bukannya dengan menghilang seperti ini.

Renjun sialan.

Banyak sumpah serapah yang Mayrine rapalkan dalam hati karena kesal. Kemarin ia sudah dibuat ketakutan karena mimpi itu, sekarang Renjun menghilang begitu saja.

Apakah Renjun masih mencintainya?

Entahlah, hanya Renjun dan Tuhan yang tahu jawabannya.

Sebab, Mayrine selalu merasa kalau ia mencintai Renjun sendirian.

Renjun tetaplah Renjun yang selalu berhasil meluluhkan hati Mayrine. Tidak peduli berapa kali Renjun membuatnya menangis, ia selalu memiliki tempat khusus di hati Mayrine.

“May, sudah makan? Dari kemarin malam kau belum makan.” Mark menghampiri Mayrine, menepuk bahunya.

“Jangan ganggu aku Jun, aku benci padamu.” Mayrine sedikit membentak, sementara itu Mark terkejut dengan respon Mayrine.

“Hey, ini Mark.” Mark berusaha setenang mungkin, walau perasannya sedikit sakit.

Mayrine mengangkat kepalanya, tersenyum kecil. “Oh maaf, aku kira Renjun.”

Mark hanya tersenyum, menyodorkan roti kepada Mayrine.

Mayrine mengunyah roti itu dengan tatapan kosong. Mungkin badannya disini namun, pikirannya tetap tertuju pada Renjun. 

“Jangan banyak melamun. Kau mau aku mencari informasi kemana hilangnya Renjun?” sebenarnya ini terasa sulit, tapi ia tak bisa membiarkan Mayrine bersedih.

Mayrine menggeleng kecil.
“Biarkan saja, terserah dia mau kemana. Jika dia menganggap aku adalah rumahnya, maka ia akan kembali.”

Sebenarnya Mayrine sangat ingin mengetahui kemana menghilangnya Renjun. Tak seharusnya ia menyia-nyiakan tawaran bantuan dari Mark. Namun, ia ingin melihat apakah Renjun masih untuknya, atau untuk...Lia?

Mark mengelus rambut Mayrine, “Jika aku Renjun, maka aku takkan menyia-nyiakanmu.”

Mayrine tersenyum kecil, jika bisa mungkin ia lebih memilih untuk jatuh cinta pada Mark yang selalu ada untuknya.

Tapi nyatanya, Renjun telah mengubah semuanya. Ia datang dengan sejuta cinta dan pergi tanpa meninggalkan tanda.

Mayrine memejamkan matanya. Jadi ia  harus bagaimana sekarang? Melupakan Renjun dan mencoba menyukai Mark, atau tetap menunggu Renjun?


Mayrine melamun melihat fotonya dan Renjun yang ia pasang di case ponselnya.

Taman ini memiliki banyak kenangan antara dia dan Renjun.

Air mata Mayrine mengalir deras, “Renjun, i miss you.” 

Seseorang dengan baju hitam, topi hitam dan masker berjalan mendekati Mayrine. Mengusap air matanya, lalu memberinya kertas dan cokelat.

Aku akan kembali.
-Rj

Mayrine membaca isi  kertas itu, sesekali mengusap air matanya.

Pupil mata Mayrine membuat sempurna. Sebentar, tapi tadi orang itu mirip sekali  dengan Renjun. Cara berjalan, badannya pun mirip dengan Renjun.

“Jun!” Mayrine membalikkan badannya, laki-laki itu sudah memasuki mobilnya.

“Sialan, Renjun. Aku benci kau!”

Mayrine berteriak, sepersekian detik kemudian ia menangis sesenggukan sambil memeluk kertas dan cokelat pemberian orang misterius tadi. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apa-apa pada orang itu.

Seseorang menepuk bahu Mayrine pelan, “Hari akan gelap, kenapa masih di taman? Ayo pulang!” orang itu membantu Mayrine bangkit dari posisinya yang terduduk di rumput taman yang agak basah.

Itu Mark.

Lagi-lagi Mark datang disaat Mayrine terpuruk. Haruskah ia berusaha membuka hatinya untuk Mark?

“Maafkan aku. Aku selalu merepotkanmu...aku..aku..maaf..aku merindukan Renjun.” suara Mayrine terdengar bergetar, begitu juga badannya.

“Tidak ada istilah seperti itu. Ayo pulang.” Mark merengkuh tubuh Mayrine yang kecil sebentar, tangan Mayrine tidak membalas pelukan Mark.

Hatinya masih ragu, apakah Mark melakukan ini karena mereka bersahabat atau karena hal lain.

“Sudah jangan menangis, ayo kita pulang.” Mark menggandeng tangan Mayrine keluar dari taman.

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 1  Ft.Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang