12.Memori Buruk

161 46 72
                                    

Mayrine melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit, tangannya digenggam erat oleh Renjun.

“Tenang, semuanya akan baik-baik saja.”

Mayrine menggeleng keras, “Tidak ada yang baik-baik saja. Percepat langkahmu Jun, aku perlu kesana secepatnya.”

Renjun mempercepat langkahnya, ia tahu Mayrine sekarang dalam keadaan yang emosional.

“A..ayah..” Napas Mayrine terengah, setengah nyawanya terasa hilang ketika mendapati ayahnya yang berlumuran darah.

“Hey, jangan menangis Mayrine. Kau adalah perempuan yang kuat, ayah tidak apa-apa. Lihatlah, buktinya ayah masih bisa bicara bersamamu sekarang.”

Mayrine tetap menggeleng keras, “Tidak boleh ada yang pergi, ayah tidak boleh pergi seperti ibu!”

Mayrine menangis histeris, sementara itu Renjun berusaha menenangkannya.

“Tidak akan ada yang terjadi May, tenanglah.”

Itu suara Renjun. Renjun sama khawatirnya dengan Mayrine namun, ia berusaha menenangkan Mayrine.

“Renjun, boleh ayah minta sesuatu padamu?”

Renjun mengangguk. Ayah Mayrine sudah seperti ayahnya sendiri.

“Iya, ada apa?”

“Tolong jaga Mayrine. Jangan biarkan dia terluka, dia anakku satu-satunya. Aku percayakan dia padamu.”

“Aku berjanji takkan mengecewakanmu.” Renjun menggengam tangan Mayrine erat.

“Mayrine, ayah lelah. Ayah istirahat sebentar ya.”

Setelah itu ayah Mayrine menutup matanya.

Hari itu, dunia Mayrine rasanya runtuh. Semuanya hancur dalam sekejap.

Ayahnya tidak istirahat sebentar tapi selamanya.

“Mayrine, ayo pulang. Sampai kapan kau di pemakaman?” Renjun ikut berjongkok di sebelah Mayrine.

“Semuanya jahat...semuanya pergi begitu saja. Aku..aku benci Tuhan. Mengapa dia tak pernah mendengarku? Aku hanya ingin hidup tenang.”

Mayrine menangis meraung-raung.
Seminggu yang lalu ibunya meninggal karena kecelakaan, lalu ayahnya juga sama.

Sekarang, Mayrine tak punya siapa-siapa lagi.

“Hey, dengarkan aku dulu May,” Renjun membalikkan tubuh Mayrine.

“Apa? Dengar apalagi? Aku muak,” Mayrine menutup telinganya.

Renjun sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ia merengkuh Mayrine kedalam pelukannya.

“Maaf, May..maaf.Jangan pernah merasa sendiri, ada aku disini. Selama kau masih bersamaku, kita akan selamat. Jika sesuatu terjadi padamu, maka aku bersedia menukar nyawaku untukmu.” Renjun memeluk Mayrine erat, gadisnya benar-benar rapuh.

Hari itu hujan, dibawah payung hitam milik Renjun, Mayrine menangis. Pada hari itu juga Renjun menjadi lebih ketat terhadap Mayrine.

Entah sekarang jam berapa. Mayrine terbangun dengan napas yang terengah. 

Air matanya mengalir deras. Lagi-lagi mimpi yang sama. Kejadian itu sudah terjadi tiga tahun lalu namun, ia masih merasakan luka yang sama.

“Do you still love me?”

Sudah tiga tahun Renjun bersamanya melewati semuanya bersama.  Jika diingat, banyak kenangan manis yang mereka lalui bersama. Bahkan Renjun tetap bersama Mayrine disaat Mayrine berperang dengan hari buruknya setiap hari.

Renjun tetap sabar walaupun keadaan Mayrine saat itu tidak stabil.

Sial, disaat seperti ini ia merindukan Renjun. Merindukan kalimat yang mengatakan kalau dirinya akan baik-baik saja.

Mayrine melihat bingkai foto yang ada di nakas. Ada dua foto dalam satu bingkai. Satu foto ketika dirinya dan Renjun mengikuti kelulusan SMP dan foto kedua ketika mereka mengikuti serangkaian acara ulangtahun sekolah di SMA.

Rasanya begitu cepat, ia kira kisahnya bersama Renjun takkan sampai sejauh ini. Apakah karena Renjun lelah dengan sikapnya ia jadi mendekati Lia?

Mayrine memijat batang hidungnya pelan. Semuanya terasa kacau.

Ponsel Mayrine bergetar.

📞+628xxx calling...

Siapa lagi yang menelpon malam-malam seperti ini?

“Halo, May.” Tenggorokan Mayrine tercekat, suara ini benar-benar familiar.

“Iya, ada apa Jun?”

“Ah, tidak. Aku hanya iseng, kukira kau belum tidur.” Mayrine tahu, diseberang sana Renjun sedang menggaruk tengkuknya.

“Iya, tadi terbangun.” Mayrine berucap pelan, suaranya serak.

“Bermimpi tentang kejadian tiga tahun lalu hm?” netra Renjun menerawang, melihat langit-langit kamarnya.

“Hm.”

“Semuanya akan baik-baik saja. Ngomong-ngomong kau memblokir WhatsAppku?” ucap Renjun hati-hati. Ia yakin bukan Mayrine yang memblokirnya.

Mayrine diam sejenak.

Ia tak pernah memblokir kontak siapapun.

“Em..mungkin Mark yang memblokir kontakmu.” Mayrine berucap ragu karena sejak kejadian itu ia tak pernah mengirimi Renjun pesan.

Renjun mengangguk paham.

“Bisakah aku meminta satu kesempatan lagi kepadamu?”

Tangan Mayrine bergetar.

“Jun, ini sudah malam.”

“Aku hanya ingin meminta maaf. Aku meminta kesempatan kedua padamu. Kau masih ingat janji yang kukatakan pada ayahmu tiga tahun yang lalu? Aku tidak bisa melanggarnya. Aku sudah berjanji untuk menjaga anak perempuannya dan tidak membiarkannya sedih. Tapi karena diriku, kau menjadi sedih. Maaf Mayrine.” Mayrine termenung, masih mencerna kata-kata Renjun.

“Jun..jika kau meminta maaf hanya karena ingin menepati janji yang waktu itu aku harap kau mundur. Jika kau lebih mencintai Lia kau tidak perlu menahan dirimu agar tetap bersamaku. Aku akan baik-baik saja.” Mayrine menahan air matanya.

“Bukan begitu, aku sudah pernah bilang berkali-kali kalau aku tidak mencintai Lia. Aku hanya mencintaimu. Jadi tolong berikan aku kesempatan kedua.”

Mayrine menghela napasnya.

“Baiklah. Aku memaafkanmu Jun.”

Mereka berdua menghela napasnya, merasa lega setelah dapat bicara setelah beberapa waktu saling mendiamkan.

“Bolehkah aku mengatakan sesuatu?” nada bicara Renjun terdengar agak ragu.

“Apa?”

“Aku mencintamu. Selamat tidur, Mayrine.”

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 1  Ft.Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang