9.Perundungan

181 54 94
                                    

“Renjun...Mark..siapapun, tolong aku,” Mayrine membatin.
Tubuh Mayrine bergetar hebat. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.

Dheya tertawa ketika melihat Mayrine menangis.

“Kita apakan murahan ini?” tanya salah satu teman Dheya.

Dheya menjentikkan jarinya.
“Bagaimana kalau kita gunting roknya?”

Mendengar itu, Mayrine menggeleng keras. “Jangan lakukan itu, Dheya. Aku tidak merebut siapapun.”

“Tidak merebut katamu? Kau menggunakan cara apa untuk menggoda Mark sampai-sampai ia ikut tidak masuk saat kau sakit. Atau jangan-jangan...”

Dengan mengumpulkan keberanian, Mayrine  menampar pipi Dheya.

Sementara itu Dheya dan dayang-dayangnya tak kalah kaget dengan perlakuan Mayrine.

“Kau.. jangan anggap harga diriku serendah itu, Dheya!”

Sementara Dheya yang tidak terima, menunjuk wajah Mayrine “Kau berani memnamparku hah? Teman-teman gunting roknya sampai tak layak di pakai, kemejanya juga!” Dheya memerintah lagi.

Mayrine tidak bisa melawan, ia baru saja sembuh dari sakitnya. Tenaganya belum pulih sepenuhnya namun, ia harus menghadapi orang-orang brengsek seperti ini.

Selama ada Mark tidak akan ada yang menyakitinya.

Kata-kata itu teringat di benak Mayrine. Andai saja ia tak menghalangi niat Mark untuk menunggunya di depan pintu toilet maka tidak akan seperti ini jadinya.

Mark, Renjun dimana kalian?

Tangis Mayrine pecah, bagaimana hidupnya bisa semenyendihkan ini semenjak mengenal Renjun?

“Itu hukuman buatmu karena sudah merebut primadona sekolah,” Dheya menyiram Mayrine dengan ember yang penuh berisi air.

Mayrine menggigil, entah air ini memang dingin atau karena dirinya yang baru sembuh entahlah.

Setelahnya, dayang-dayang Dheya memukuli Mayrine secara bergantian dan mendorong tubuh Mayrine hingga menabrak dinding.

“Jika kau melakukannya lagi, siap-siap untuk merasakan yang lebih dari ini!” Dheya dan dayangnya pergi meninggalkan toilet dan menguncinya dari luar.

Keparat, batin Mayrine.

Mayrine meraba-raba saku roknya. Ponselnya tak ada, dan ia baru ingat kalau ponselnya ia titipkan di Jeno.

Sialan, kalau begini bagaimana bisa ia menghubungi Mark untuk meminta pertolongan?

Tubuh Mayrine makin lemas, bahkan rasanya seluruh tubuh Mayrine tidak bisa digerakkan.

Mark, tolong selamatkan aku.

Hanya itu yang ada di pikiran Mayrine saat ini, semakin lama penglihatannya makin memudar karena air mata.

“JEN, JENO MAYRINE DIMANA?” Napas Mark terengah, tak beraturan karena ketika  memasuki kelas ia tak mendapati Mayrine ada disana.

“Bukannya dia bersamamu tadi, kau pergi ke lapangan indoor sementara dia ke toilet kan?” Jeno berusaha mengingat.

“Kukira dia sudah kembali.” Setelah itu Mark kembali ke toilet perempuan.

Dilihatnya, pintu toilet perempuan sudah di ganjal oleh alat-alat kebersihan dan ember cat dari luar.
Mark menyingkirkan semua itu, membuka paksa pintu toilet.

Netranya membulat sempurna ketika melihat Mayrine dengan baju dan rok yang sudah digunting.

“Hey, Mayrine. Bangun.” Mark menepuk pipi Mayrine.

Sialan, Mayrine pingsan.

Tangannya dengan cepat mencari kontak seseorang.

“Halo, ada apa tuan Mark?”

“Dibagian mana harus kukatakan kalau sekolah ini mempunyai keamanan yang baik? Seseorang terkunci dengan baju dan rok yang robek dalam keadaan pingsan karena perundungan sekarang. Aku minta sekarang kau siapkan petugas yang biasa menangani masalah seragam sekolah untuk menyiapkan seragam perempuan, bisa kalian letakkan di ruangan ayahku. Dan jangan lupa, sebelum aku ke ruangan ayahku petugas itu belum boleh kembali, pastikan kalau petugas itu adalah wanita.”

“Baik tuan, tapi jika ayahmu menanyakan untuk apa seragam itu bagaimana aku harus menjawabnya?”

“Katakan saja kejadian yang kukatakan tadi,” Mark mengusap wajahnya, mematikan sambungan telepon dan beralih untuk menelpon Jeno.

“Halo Jen, di kelas ada guru?”

“Ada, ada apa kau menelpon? Ini pelajaran Bu Nadine. Dia sudah memelototiku daritadi karena mengangkat telpon tanpa izin.”

“Masa bodoh dengan Bu Nadine, bawakan dua jaket kesini, jaketku dan jaketmu. Langsung saja katakan kalau Mark yang menyuruhmu keluar kelas.”

“Oke.”

“Permisi Bu, jadi Mark menyuruhku  keluar kelas untuk membawakan jaket ini.”

“Silakan,” Bu Nadine mengangguk.

Mark memang selalu spesial dan akan selalu begitu.

“Mark, ini jaketnya.” Jeno muncul di ambang pintu toilet perempuan.

Setelahnya, Mark memberi isyarat kepada Jeno untuk masuk.

“Siapa yang melakukan hal ini?” pupil mata Jeno membesar ketika melihat pakaian Mayrine yang sudah robek dan beberapa luka memar.

“Aku tidak tahu, pakaikan jaket ini dulu untuk menutupi seragam dan roknya. Kau bisa membawanya ke UKS? Aku akan ke ruangan ayahku untuk bertemu dengan petugas sekolah yang biasa mengurus masalah seragam.”

Jeno mengangguk, lalu menggendong Mayrine.







“Saya minta anda ke UKS. Tolong tunggu sampai Mayrine sadar, lalu serahkan seragam baru kepadanya. Dan ingat, jangan berikan murid laki-laki masuk sebelum ia selesai mengganti bajunya. Mengerti?”

Petugas sekolah itu mengangguk.

Seisi sekolahpun tahu kalau Mayrine adalah prioritas utama untuk Mark. Tak ada yang bisa menggeser nama Mayrine sebagai prioritas Mark.

Dan bagi siapapun yang berani mengganggu atau melukai Mayrine maka akan berhadapan langsung dengan Mark.


Mayrine membuka matanya. Tadi, petugas sekolah sudah datang untuk memberikan seragam baru.

Sudah pasti atas perintah tuan Mark.

Mayrine sudah mengganti bajunya tadi. Namun, rasa sakit kembali muncul ditubuhnya. Matanya terpejam perlahan.

Mungkin ia memang perlu beristirahat sampai bel pulang sekolah.

Sementara itu, pintu UKS terbuka. Menampilkan sesosok lelaki tampan dengan surai hitamnya yang berjalan menuju ranjang Mayrine.

Dia Renjun.

Renjun mendekat kearah Mayrine, mengelus kepalanya pelan.

“Maaf Mayrine, maaf.” Air mata Renjun jatuh ke seragam Mayrine.

Hanya maaf yang bisa ia ucapkan kepada Mayrine. Lagi-lagi Renjun tidak bisa menjaga Mayrine  dan mencegah kejadian buruk yang terjadi pada kekasihnya.

“Aku gagal menjagamu May, maafkan aku. Aku...aku tidak bisa menyerahkanmu begitu saja pada Mark namun, aku belum bisa menjelaskan tentang Lia dan segalanya. Tapi yang kau perlu tahu, aku tak pernah mencintai Lia. Di hatiku hanya ada kau, Mayrine.”

Renjun mengecup puncak kepala Mayrine lalu mengelusnya sebentar.

“Selamat beristirahat tuan putri. Aku mencintaimu.”

Setelah itu Renjun pergi meninggalkan UKS.

Tanpa Renjun tahu, Mayrine membuka matanya.

“Sebenarnya ada apa Jun, mengapa kau masih peduli denganku? A..aku tidak tahu harus membencimu atau tidak, tapi hati ini terasa sakit.” Mayrine menatap nanar punggung Renjun yang makin jauh.

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 1  Ft.Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang