26. Kilas Balik

104 31 67
                                    

Renjun memejamkan matanya sejenak, sebentar lagi ulangtahun Mayrine. Apa yang harus ia lakukan agar membuat Mayrine bahagia?

Setidaknya harus ada sesuatu yang membuat Mayrine terkesan.

“Kau mau membuatnya bahagia?” Laki-laki dengan surai coklat itu menatapnya.

Renjun mengangguk, rencananya sudah mantap. Namun, apa Mayrine bisa menerimanya, ia tak tahu.

Ia takut.

Namun, ia lebih takut Mayrine hilang dari hidupnya.

“Lalu aku harus bagaimana? Aku terlalu banyak mengecewakannya belakangan ini.” Renjun mencabut rumput yang ada di depannya, pikirannya mengawang-awang.

“Kau rela kehilangan dirimu sendiri demi dia?”

Renjun mengangguk sekali lagi.

Dari dulu memang seperti itu, ia tidak akan membiarkan Mayrine terluka sedikitpun.

Laki-laki dengan surai cokelat itu tersenyum kecil, “Aku tidak tahu harus bilang apa, itu adalah keputusanmu. Namun, aku belum siap jika kau harus hilang.”

Sorot mata lawan bicara Renjun menjadi sendu, temannya mengambil keputusan yang sangat beresiko.

“Anggap saja ini pertemuan terakhir kita Le.” Renjun tersenyum.

Mayrine tidak boleh hilang ataupun pergi. Kekasihnya sudah tidak mempunyai siapa-siapa.

“Aku..lebih baik jangan lakukan itu Jun, itu penuh resiko.”

Renjun menggeleng, “Selama ini aku sudah tidak berguna. Aku sudah  banyak yang kehilangan orang terdekat karena hal ini. Apakah Tuhan tidak pernah mendengar setiap pertanyaanku? Mengapa dia memberi hal yang sama sekali tidak bisa aku atasi?”

Renjun mengacak rambutnya frustasi, kejadian demi kejadian buruk terulang di kepalanya. Rasanya, kepalanya penuh dengan segala memori yang menakutkan.

“Aku hanya ingin berguna bagi orang lain, aku..aku tidak bisa melindungi siapapun. Hanya Mayrine yang tersisa. Jika nanti aku pergi, mungkin Mark bisa menggantikanku. Namun, jika Mayrine yang pergi, ia tidak bisa tergantikan.”  air mata Renjun lolos begitu saja. Ia sudah tidak  bisa menahan ini sendirian.

Dalam hatinya, ia hanya merapalkan kata maaf dan maaf kepada Mayrine jika bagi kekasihnya besok adalah hari terburuk yang pernah ada.

Tapi, Renjun sudah berusaha.
Berusaha agar Mayrine tetap selamat.

I love you.

Setelah mengetikkan pesan itu, Renjun mematikan ponselnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi kepada Mayrine. Kata itu sudah mewakili segalanya.

“Sampai kapan kau akan seperti ini Jun? Ini bukan salahmu, ini kehendak Tuhan. Berhenti menyamakan sesuatu yang terjadi di masa lalu dengan apa yang belum terjadi.” Laki-laki berdarah China ini juga tidak kalah pusing.

“Aku butuh waktu untuk berpikir. Kau bisa pulang.” Renjun berucap dingin, lawan bicaranya tersenyum kecil lalu bangkit dari posisi duduknya.

“Aku pulang duluan, Jun. Jangan disini sampai malam.” Renjun mengangguk.

Netranya melihat kearah anak laki-laki yang ada di seberangnya. Sebelah tangannya menggenggam tali balon berwarna merah.

Dulu, ketika berumur sama seperti anak itu Renjun sering kemari bersama ibunya.

Itu dulu.

“Renjun mau apa nak?” Wanita cantik itu melihat kearah Renjun, tatapannya teduh, seperti tatapan milik Renjun.

Renjun menggeleng kecil.
“Tadi kan sudah beli balon. Aku mau melukis saja Bu.”

“Mau melukis ya? Ya sudah biar ibu pegang balonnya sambil menunggu kamu melukis.”

Dari kejauhan terlihat laki-laki dengan pakaian serba hitam, memakai sarung tangan, dan topeng mendekati ibunya.

Renjun menarik tangan ibunya, “Dia sebentar lagi akan menembak, ayo lari!”

Ibu Renjun yang masih bingung menggendong Renjun lalu berlari, percaya atau tidak sepertinyabia harus percaya dengan putranya.

Sementara itu, laki-laki dengan pakaian serba hitam itu terus mengejar mereka, sambil berteriak-teriak keras. “Berhenti nyonya, suamimu harus membayar semua ini. Nyawa dibalas nyawa!”

Orang-orang yang ada di taman hanya bisa membeku melihat pemandangan ini. Tidak ada yang berani menolong, mereka juga berusaha menyelamatkan  diri mereka sendiri.

Beberapa tembakan di udara terdengar keras, air mata tidak berhenti mengalir. Ibu Renjun takut, ia takut kehilangan anaknya.

Kakinya berhenti di bawah pohon rindang, “Lari nak, jangan biarkan orang itu membunuhmu. Hidupmu masih panjang.”

Kaki Renjun gemetaran, ia tidak bisa membiarkan ibunya mati terbunuh.

“Aku akan disini bersama ibu.” Renjun masih bersikukuh untuk tidak pergi.

“Kamu..kalau kamu adalah anak yang baik, pergilah lari sejauh-jauhnya. Ibu tidak ingin kehilanganmu. Pergi!”
Ibu Renjun berteriak keras.

Renjun mengangguk, ia berlari beberapa langkah dari tempat ibunya berdiri.

Dor.

“Aku mencintaimu.” Hanya itu  yang Renjun dengar, setelah itu semuanya gelap.

Hari itu, nyawa ibunya melayang.

Jika diingat-ingat itu sangat menyakitkan.

Hari itu juga, kejadian itu masih membekas di benak Renjun. Ia merasa benar-benar tidak berguna.

“Ibu, aku merindukanmu. Apa kau mendengarkanku? Jika besok aku gagal bagaimana?”

Renjun menatap langit yang akan menggelap, banyak harapan yang ia panjatkan hari ini.

Namun, yang terpenting hanya satu.

Kebahagiaan dan keselamatan Mayrine.

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 1  Ft.Huang Renjun✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang