SAMUDERA RAGA : 2

70K 6.1K 767
                                    


*****

Raga berlarian di lapangan dengan mengenakan kaus futsal berangka 88 di belakangnya, sesekali menendang dan menyeka keringat di dahinya. Kelas Sains Empat memasuki jam pelajaran olahraga, dan Pak Satya tidak masuk, karena ada halangan. Jadi, Danar—selaku ketua kelas mendapat amanah, bahwa kelas harus tetap olahraga, apapun yang penting olahraga. Raga dan teman-teman laki-laki kelas Sains Empat memilih futsal.

Sementara, murid perempuan sebagian ke kantin, ada yang di kelas entah sedang apa dan ada yang duduk di pinggir lapangan. Seperti Marsya, dan tiga temannya.

Raga membenarkan tali sepatunya, sambil memandang pinggir lapangan. Netra matanya bertatapan dengan Alin, tapi sepertinya tatapan gadis itu kosong, karena seolah tidak sadar pada tatapan Raga yang mengarah padanya.

“Anjing!” umpat Raga.

Lukas terkekeh. “Fokus Ga, jangan liatin Alin mulu, kena kan pala lo.”

“Gue lagi nali sepatu,” katanya sambil berlari kecil di lapangan.

Empat puluh lima menit bermain di lapangan, mereka semua memutuskan untuk beristirahat sambil tiduran di bawah pohon mangga pinggir lapangan.

Raga menegak air putih dingin yang dibeli Abre tadi ke kantin. “Seger, gue abisin ya?”

“Raga kalo minta emang suka nggak ada akhlak. Gue baru minum dikit padahal.” Abre misah-misuh sambil melepas sepatunya.

Raga terkekeh. “Yaelah, sama gue ini pelit amat, ntar gue ganti deh. Beli yang lo mau.”

Abre merangkul pundak basah Raga. “Nah, gue demen nih yang begini. Beneran lho.”

“Ambil, gue baru dapet duit dari Oma.” Raga melepas baju futsalnya. Perut Raga menjadi pusat perhatian di lapangan, membuat Raga terkekeh.

Lukas melempar ponsel iPhone X miliknya. “Gara-gara lo nih Ga, ponsel gue tadi jatuh. Untung yang gue bawa yang ini, bukan iPhone baru gue.”

“Bacot lo. Bisa langsung beli juga,” kata Raga sambil memejamkan matanya.

“Kan gue merendah, walaupun bisa langsung beli.” Lukas terkekeh menyandarkan tubuhnya di pohon.

Abre mencebikkan bibirnya. “Merendah untuk membangsat.” katanya.

Lukas dan Raga terkekeh. Lalu sama-sama berbaring, di lapangan. Sementara Kin mengunyah permen karet sambil bersedekap dada menatap lapangan.

Alin, Tria dan Talia memasuki kamar mandi perempuan untuk mengganti baju olahraga menjadi seragam. Tria dan Talia menatap Alin yang meringis.

“Mana coba gue lihat, yang mana yang sakit.” kata Tria

Alin menggulung lengan baju olahraga miliknya. “Ini, nanti tolong olesin salep ya.” katanya sesekali meringis.

Talia dan Tria terdiam, memegang lengan Alin. “Lin, ini gila sih.” kata Talia.

“Iya, di pukul pake apa?” tanya Tria mengelus pelan lengan sahabatnya.

Mata Alin berkaca-kaca. “Pake kayu,”

“Lo harus keluar dari sana Lin, jangan mau disiksa kaya gini terus.” Tria menatap sahabatnya itu.

“Kalo bisa gue keluar, udah dari lama Tri. Tapi masalahnya, Ayah gimana?”

Talia dan Tria hanya bisa diam. Keadaan sahabatnya ini memang berat. Tumpuan bebannya, sangat banyak.

Mata Talia dan Tria melotot ketika punggung Alin penuh luka cambukan, membuat keduanya terkejut.

SAMUDERA RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang