Frustasi

87 12 0
                                    

Bu Lia menatap Cassandra dengan pandangan yang tak dapat dimengerti. Sore itu Cassandra benar-benar meminta pada Bu Lia untuk mencopot puisi yang ia buat dari mading, seperti yang Keylan mau.

"Alasan kamu tidak saya terima. Puisi itu akan tetap ada di mading sampai batas yang tidak ditentukan!," putus Bu Lia.

Bu Lia pun pergi dari ruang Ekskul Literasi. Cassandra pun menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis tergugu di sana.

"Kenapa sih hidup gue sulit banget? Kenapa gue nggak ikut mati waktu Orangtua gue mati? Gue capek!," rintih Cassandra.

Seseorang mengulurkan tangannya ke hadapan Cassandra, sehingga Cassandra mendadak berhenti menangis.

Alex! Si pendiam!

"Ayo bangun," ujarnya.

Cassandra pun meraih uluran tangan itu hingga Alex bisa menarik tubuh Cassandra dengan mudah. Alex memberikan sapu tangannya pada gadis itu untuk menghapus airmata di wajahnya.

"Mati bukan jalan keluar dari sebuah masalah. Karena kalau lo mati, lo tetap harus bertanggung jawab atas hidup lo di akhirat, di hadapan Tuhan," Alex memberi pengertian.

"Lo nggak ada di posisi gue, lo nggak tahu gimana rasanya jadi gue," ujar Cassandra.

"Itu kata-kata orang pesimis. Gue rasa lo udah tahu betul tentang apa itu pesimis. Lo jago literasi kan?," tanya Alex.

Cassandra hanya terdiam.

"Sekarang gue mau bantuin lo untuk menyelesaikan masalah sama Keylan. Tapi..., lo harus benar-benar mengikuti apa yang gue katakan! Jangan sampai ada hal yang terlewat, karena ini nggak boleh gagal!," tegas Alex.

* * *

Keylan memainkan biola di Ruang Ekskul Seni, Musik dan Teater. Ia memainkan nada kesukaannya sambil menatap ke arah balkon di luar jendela.

Ia hanya sendirian, tak ada siapapun di ruangan itu karena jam Ekskul sudah berakhir sejak tadi. Pandangannya terfokus pada langit yang dapat ia lihat dari jendela. Di pikirannya terngiang-ngiang isi puisi Cassandra yang ia baca semalam.

"Kau Langit dan aku bukan Bumi."

"Bu..., bukan kok Key..., bukan elo... ."

"Arrrggghhh!!!." teriak Keylan, frustasi.

Pria itu bahkan melempar biola miliknya ke dalam tempat di mana ia biasa menyimpannya. Hanya karena satu nama, Cassandra, dan hidupnya terasa sangat kacau. Berantakan! Keylan benar-benar frustasi, hingga ia hanya ingin menatap langit yang ada di balik jendela.

Cassandra berjalan di balkon luar jendela, Keylan melihatnya.

"Ngapain dia di sini? Dia bahkan belum pernah menginjakan kaki ke atas sini!," herannya dalam hati.

Cassandra naik ke atas pembatas di balkon, angin menerpa ke arahnya hingga rambutnya yang terurai pun tersibak dan beterbangan menunjukkan wajahnya yang pucat dan basah.

"Dia nangis?," batin Keylan.

Gadis itu mengangkat tangan kirinya dan menatap ke arah pergelangannya sendiri. Tangan kanannya mengeluarkan pisau cutter dan dia mengarahkannya ke tempat ia menatap.

Keylan panik. Pria itu berlari keluar dari ruang Ekskul dengan cepat. Cassandra baru saja akan menempelkan ujung mata pisau cutter itu di pergelangan tangannya ketika Keylan tiba-tiba meraih tubuhnya untuk turun dari atas pembatas balkon.

"LEPAS!!! GUE MAU MATI!!! LEPASIN GUE!!!," teriak Cassandra histeris.

"HEI SADAR!!! CASSANDRA!!!," bentak Keylan.

Cassandra masih menangis keras, namun tak sehisteris tadi. Mungkin Alex hanya menyuruhnya berpura-pura, namun di dalam hati Cassandra yang terdalam, gadis itu memang ingin mati dan melepas semua beban hidupnya.

"Berhenti! Please berhenti! Jangan bodoh! Gue nggak mau lo jadi sebodoh ini!," pinta Keylan, tanpa ia sadari.

"Gue nggak bisa melakukan apa yang Keylan mau! Bu Lia marah karena gue meminta puisi itu dicopot dari mading, tapi gue lebih takut kalau Keylan marah lagi! Gue takut, gue capek, gue mau mati, gue nggak sanggup! Lepasin gue...," Cassandra benar-benar sudah hilang akal saat itu.

Keylan memeluknya dengan erat tanpa mengatakan apapun. Dia jauh lebih takut saat itu, entah takut karena apa, ia sendiri tak mengerti.

Alex tersenyum singkat saat menatap mereka berdua dari balik jendela ruang Ekskul. Apa yang dia rencanakan berhasil, meskipun akhirnya menjadi di luar kendali karena Cassandra benar-benar ingin bunuh diri sungguhan. Setidaknya, ada perubahan yang akan terjadi meskipun sedikit.

'Sebatu apapun yang namanya hati, pasti ada celah untuk membuatnya jadi lunak.'

* * *

Keylan mengacak rambutnya hingga menjadi sangat berantakan. Ia meringkuk di tempat tidurnya dengan kedua mata yang tidak bisa terpejam. Di dalam benaknya terus teringat kejadian tadi sore di mana Cassandra hampir benar-benar mengakhiri hidupnya, dan semua itu berakar dari Keylan sendiri.

"Dia capek, dia nggak sanggup, dia takut gue marah lagi. Dia mau bunuh diri karena gue! Gue penyebabnya!," batin Keylan.

Ian dan Alex saling tatap, mereka berdua tahu betul kalau Keylan saat ini sedang gelisah di atas tempat tidurnya. Harapan mereka agar Pria itu berubah pun mulai terlihat dengan jelas.

"Makan yuk, gue lapar," ajak Ian.

"Ayo, gue juga pengen lihat Sally," balas Alex.

"Eh, tadi Sally bilang Cassandra sakit. Mungkin dia nggak akan ke ruang makan malam ini, karena harus jagain Cassandra," ujar Ian.

"Kalau gitu gue samperin aja ke kamarnya deh, sekalian bawain makanan buat Cassandra. Dia suka makan apa ya?," Alex memancing.

"Bubur aja, kan lagi sakit," saran Ian.

"Oke deh."

Keylan semakin gelisah setelah mendengarkan apa yang Alex dan Ian bicarakan. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dan meraih jaket. Entah kenapa kakinya tak ingin berbelok kemana-mana selain ke minimarket di depan gerbang asrama.

Ia mengambil permen karet. Semua Pria anggota Seven B bukan perokok, termasuk Keylan. Jadi permen karet adalah pelarian Keylan jika sedang stress. Ia menatap semua rak yang ada di dalam minimarket itu dan berhenti di depan display tempat semua jenis minuman. Tangannya meraih satu kotak bergambar jambu. Buavita!

Keylan membayar belanjaannya dan segera keluar dari minimarket untuk kembali ke asrama. Berulang-ulang kali ia menatap Buavita jambu di tangannya dan juga berulang-ulang kali menatap pintu kamar Cassandra. Saat itu keadaan sudah sepi, karena semua penghuni asrama sudah tertidur. Jadi Keylan bisa bebas berada di depan pintu kamar gadis itu tanpa perlu takut ada yang melihatnya.

Keylan meletakkan satu kotak Buavita itu di depan pintu, lalu mengetuk pintunya beberapa kali sebelum ia berlari dengan cepat agar tidak ketahuan. Sally membuka pintu dan melihat kantong plastik berisi Buavita rasa jambu yang Keylan letakkan di sana. Gadis itu mengambilnya lalu kembali menutup pintu kamar dengan rapat.

'Key..., Key...!!! Udah gila lo ya!!!.'

* * *

KeNdra ; Ketika Hatiku Menolak MembencimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang