09 : Soulmate

970 50 0
                                    

Soulmate © Rina Khafizah

Sinopsis singkat :
Kehidupan dimana kau takkan menemukan dirimu mampu membedakan warna sebab yang kau lihat hanyalah sebatas hitam-putih, sampai kau menemukan belahan jiwamu.



     Soulmate? Apa yang terlintas dalam benakmu saat kau mendengar kata itu? Belahan jiwa? Hal itu gila, bukan? Tapi tidak di sini. Kau akan menemukan hal itu bagai hal lumrah sebab bagi seseorang yang sudah dewasa atau melewati ulang tahunnya yang ke-18, maka kehadiran si belahan jiwa inilah yang paling dinantikan.

Mereka selalu dikelilingi oleh hitam dan putih. Tak ada warna lain. Sejak mereka dilahirkan, hanya hitam-putih yang mampu mereka lihat dan itu bukanlah ketidaknormalan, sebab kau baru akan menemukan dirimu mampu membedakan warna yang satu, selain hitam-putih setelah kau menemukan belahan jiwamu.

Erik adalah satu dari sekian banyaknya orang yang menantikan kehadiran belahan jiwanya. Ia sudah berusia 19 tahun dan hampir menginjak usia 20 namun belum jua menemukan belahan jiwanya. Kenapa? Itulah yang ia pikirkan selama ini. Kenapa belum juga ia temukan belahan jiwanya padahal biasanya paling lama seseorang menemukan belahan jiwanya adalah 2-3 bulan usai ia berusia 18 tahun dan Erik sudah hampir melewati 2 tahun tanpa sosok yang ditakdirkan untuknya.

Ayah dan Ibunya mencoba memaklumi hal itu, mungkin saja Erik memang butuh sedikit waktu daripada anak-anak yang lain atau mungkin memang belahan jiwanya sedang tak berada di dekat sini.

Erik cemas, sebab menurut para Ketua hanya ada dua pilihan apabila sampai usiamu 20 tahun dan kau tak jua menemukan belahan jiwamu. Pertama, belahan jiwamu telah tiada atau kemungkinan lainnya, belahan jiwamu menolak dirimu.

Hukum alam mereka mengatakan, apabila belahan jiwamu menolak takdirmu sebagai pendampingnya maka takkan pernah bagimu untuk merasakan kesempatan menikmati indahnya warna—jangankan warna, kebahagiaan saja seakan terlarang bagimu.

Tok...

Tok...

“Erik? Kau di dalam?”

Pemuda pirang itu terbangun dari tidurnya satu mendengar sang Ibu mengetuk pintu kamarnya.

“Erik?”

Enggan, ia pun bangun dari pulau kapuk ternyaman itu dengan mata masih setengah terbuka.

“Iya?” sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur.

“Bangunlah, Ibu ingin kau mengantarkan kue pada tetangga baru kita,”

Erik mengerang kesal, “Ibu ... aku masih mengantuk. Ibu minta Ayah saja,”

Wanita itu rupanya enggan untuk menyerahkan, “Ayah ada kerjaan, mobilnya mogok dan harus diperbaiki. Kau daripada tidur sampai sore, lebih baik antarkan kue pada tetangga kita. Bangun, Erik!”

Erik mengacak-acak rambutnya dan mengerang kesal, “baiklah, aku mandi dulu. Taruh saja kuenya di ruang tamu,”

“Awas kalau tidur lagi,”

“Iya, tidak akan!”




Ibunya Erik tersenyum saat Erik turun dari kamarnya dengan pakaian sudah rapi. Wanita itu berjalan menghampirinya saat pemuda itu sudah mencapai anak tangga terakhir.

“Bagaimana tidurmu?” tanya wanita itu basa-basi.

Erik memutar bola matanya jengah, “masih sama. Hitam-putih,”

[END] SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang