28 : A Chapter (Part 02)

61 8 0
                                    

Part 02 : Habits That Are Hard to Break

oOo

Seminggu setelah kejadian itu, Kath benar-benar bahagia. Pertama, ia tak jadi mengulang mata kuliah Profesor Finch. Kedua, ia bebas dari Omelan Ibunya. Ketiga, mantan sialannya tidak muncul lagi di hadapannya-yang artinya ia takkan terkena sial.

Oh, suasana bahagia ini benar-benar membuat Kath senang. Rasanya ia bisa tidur dengan nyenyak setelah dua hari penuh menulis ulang tugas akhirnya dan beruntung Profesor Finch menerima tugasnya, bahkan pria itu memuji hasil akhirnya. Bisa dipastikan jika Kath akan mendapatkan nilai A di mata kuliah tersebut.

"Oh, by the way, where's Travis? Dia masih hidup, 'kan? Tidak mungkin dia mati, tapi dia sudah hampir tiga hari tidak terlihat. Apa dia sakit?" gumamnya.

Kath mengambil ponselnya dari dalam tas dan mulai mencoba menghubungi Travis, sahabatnya. Beberapa menit setelah menunggu dering panggilan, bukannya suara sang sahabat ia justru dihadapkan oleh suara operator yang menandakan bahwa si pemilik nomor tidak bisa dihubungi.

"Astaga! Anak itu kemana? Masa iya benar-benar mati?"

Saking asyiknya mencoba menghubungi Travis terus-menerus, Kath tidak sadar jika ia berjalan mendekati seseorang. Orang yang didekati menoleh dan menatap Kath heran. Kath masih fokus pada ponselnya dan tak sadar jika ia semakin dekat dengan orang di depannya.

"Where is h-Whoaaaa!"

Kath menjerit saat ia hampir jatuh karena menabrak seseorang yang berdiri di depannya. Ia terjatuh dan menatap ke sekitar seolah mencari ponselnya, tapi tak kunjung ia temukan.

"Dimana ponselku? Siapa yang mengamb-oh!"

Kath mendongak dan mendapati seseorang yang ia tabrak tengah berdiri menjulang di depannya dengan tangannya memegang buku serta ponsel. Tunggu, itu ponselnya!

"Hei, that's my phone. Give it back!"

Orang itu melemparkan ponsel Kath yang syukurnya bisa ditangkap oleh si empunya benda. Gadis itu sontak berdiri dan menatap orang itu sinis.

"Kenapa aku selalu sial setiap bertemu denganmu? Kamu benar-benar bawa sial, ya? Apa aku benar-benar harus menuliskan pesan agar kau tak mendekatiku di papan dan menggantungnya di leherku? Kau pasti mengikutiku. Iya, 'kan? Ayo, mengaku!" tuduh Kath.

Orang itu mendelik, "excuse me? I have more time to spend with my works better than being your stupid stalker! Besides, it's your fault. You're not using your eyes when you walk."

Kath menatap orang itu kesal, "karena mata itu untuk melihat, bukan untuk jalan. Makanya pakai otakmu."

"Apa guna matamu kalau kau berjalan saja masih menabrak? Bagaimana jika bukan aku yang kau tabrak tadi? Bagaimana kalau kau jatuh ke kubangan air atau bahkan jurang? Kau mau mati? Makanya pakai matamu sesekali. Jangan sibuk dengan ponsel. Apa ponsel membuatmu menjadi manusia purba? Kau seperti belum pernah melihat ponsel seumur hidupmu!"

"Aku punya hak mau gunakan mataku untuk apa! Tidak usah mengatur tidak jelas. Mau aku menabrak tiang, menabrak pintu bahkan menabrak mobil sekalipun itu bukan urusanmu."

"Kau akan mati kalau seperti itu terus."

Kath menatapnya kesal, "I bet, that's not your business after all."

"Apa kau tak bisa berhenti bertingkah seperti anak-anak? Demi Tuhan, kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu dengan baik. Lihat, tali sepatumu bahkan tidak terikat dengan benar. Bagaimana kalau kau terjatuh? Astaga! Anak ini!"

Kath membulatkan kedua matanya saat orang itu berjongkok di depannya dan mengikatkan tali sepatunya. Ia tak henti-hentinya mengomel dan bahkan setelah selesai mengikatkan tali sepatu Kath, orang itu malah mengambil ponsel Kath dan menatap apa yang sebenarnya menarik perhatian gadis itu.

[END] SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang