13 : Let You Go

1.1K 43 0
                                    

Let You Go © Rina Khafizah



“Your two eyes that have lost light, erase all past memories through the thickened fog. A long way away leaving only the painful trace, even if I try to hold on to the end of my memories.” — Deja Vu

          Sudah dua bulan sejak kematian kekasihnya, Adrian tak pernah lagi menjadi dirinya. Ia seperti menjadi orang lain, bukan dirinya yang tidak bisa diam dan menyebalkan, ia seperti menjadi orang asing.

Kepergian Ayana—kekasihnya—seolah membawa seluruh jiwanya. Tak ayal, bahkan orang tuanya Adrian masih kerap mendapati putra mereka masih seolah-olah bersikap jika Ayana masih berada di sekitarnya, masih hidup.

Menolak pergi ke Psikiater, Adrian berkilah jika ia masih mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang ilusi.

“Semuanya hampa tanpamu,”

Helaan napas terdengar dari pemuda yang telah menginjak usia 23 tahun itu. Begitu banyak beban yang ia rasakan tengah menumpuk di pundaknya, menunggu untuk dihempaskan namun tak jua dibereskan. Entah apa yang ditunggu oleh pemuda itu.

Tok
Tok
Tok

“Ad, kau di dalam?”

Pemuda itu menoleh ke arah pintu dimana sang Ibu tengah berdiri sembari membawa nampan berisi makan malam yang masih senantiasa mengetuk pintu kamar berwarna putih gading tersebut.

Adrian mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Tirai berwarna biru pucat tersebut melambai diterpa angin bak layar para pelaut yang mengarungi Samudera.

Ia merasa para pelaut dalam cerita lebih beruntung daripada dirinya. Mereka berkelana mengarungi lautan dan tak harus merasa tersiksa saat ditinggalkan oleh yang tersayang. Menghadapi angin laut dan juga gelombang seolah mampu mengalihkan pikiran mereka tentang kesepian yang terkadang pasti melanda.

“Kenapa kau tidak menutup jendela kamarmu?”

Sosok wanita paruh baya melangkah dan menutup jendela kamar Adrian. Seusai menutupnya, ia berjalan menuju nakas dan menyodorkan nampan berisi makanan pada pemuda itu.

“Ad, kamu harus makan. Oke?”

Adrian mengambil sendok dan mulai memakan makan malamnya tanpa banyak berkata-kata. Melihat itu, sang Ibu pun menghela napas dan mengusap puncak kepala putranya.

“Ad, dia takkan menyukai kondisimu yang seperti ini. Dia pasti sedih, kau tau itu.”

Pemuda itu menghentikan kegiatannya dan menatap sang Ibu, “apa dia bahagia dengan melihatku terluka? Dia pergi dengan membawa segalanya, Bu.”

“Dia pergi menyisakan ruang di sini,” Wanita itu menunjuk dada kiri Adrian, “ruang untukmu memulai lembaran baru. Dia akan sangat sedih jika segalanya tak berjalan sebagaimana mestinya.”

“Ya, tidak sebagaimana mestinya. Dia pergi saat kami berjanji akan selalu bersama,” ucap Adrian.

“Dia tidak pergi, Ad. Dia selalu ada. Dia meninggalkan banyak kenangan indah bersamamu sebagai pengingat bahwa kalian pernah melakukan sesuatu yang indah. Saat dia pergi dan menyisakan rongga kosong di hatimu, itu artinya dia berharap kau membuat kenangan baru. Sesuatu yang indah yang lainnya.”

“Kenapa harus pergi? Dia bisa membuatnya bersamaku?”

Wanita itu menggeleng, “semua makhluk hidup pasti akan pergi dan kepergian itu tak bisa kita prediksi, kita hanya bisa bersiap diri.”

“Aku tidak bisa. Kenangan ini terlalu menyakitkan hingga aku tak bisa melupakan,” ungkap Adrian.

“Ad—”

“Bu, aku butuh waktu sendiri. Tinggalkan aku sendiri.”

Wanita itu menatap putranya sejenak dan kemudian memilih meninggalkan putranya. Ia rasa Adrian benar-benar butuh waktu.

Usai kepergian sang Ibu, Adrian langsung meletakkan nampan berisi makanannya di atas nakas. Netranya menatap ke arah jendela yang tadi ia perhatikan kini telah tertutup.

Dengan langkah gontai, ia berjalan mendekati jendela tersebut dan membuka tirainya, menatap halaman rumahnya yang mulai sepi.

“Ibumu benar.”

Adrian mendapati bayangan seorang gadis tengah berdiri di belakangnya dari pantulan kaca jendela. Enggan berbalik karena takut jika ia berbalik gadis itu akan hilang bak ditiup angin. Bagai debu.

“Jika semua kenangan kita begitu menyakitkan, maka lupakan. Aku benci menatapmu terluka seperti ini. Membuatku seperti orang jahat karena meninggalkanmu.”

“Kau memang jahat,” balas Adrian.

“Jika aku jahat, maka pasti mudah bagimu untuk melupakanku.”

Geram, Adrian pun berbalik dan menatap gadis itu. Beruntung, gadis itu tak menghilang.

“Kau kira semuanya segampang itu? Jika aku bisa, aku ingin kehilangan semua kenangan itu. Kau ingin aku melanjutkan hidupku? Maka aku tidak bisa melakukannya jika kau masih membayangiku dengan semuanya. Tawamu, senyummu, suaramu, matamu, sentuhanmu, semuanya!” bentak Adrian.

Gadis itu terdiam.

“Semuanya begitu sulit bagiku,” lirih Adrian sembari duduk di lantai. Mengacak-acak rambut hitamnya seolah ia benar-benar frustrasi.

“Kalau begitu, relakan. Relakan saja semuanya. Yang kamu harus lakukan hanyalah merelakan. Itu saja,” ucap gadis itu.

Perlahan tapi pasti, gadis itu mulai menghilang namun suaranya masih bergema di ruangan itu.

“relakan semuanya maka aku yakin kau akan mampu melanjutkan hidupmu. Cukup relakan aku, Ad. Relakan saja.”





FIN.

[END] SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang