Part 6 - Journey

97 46 34
                                    

Pukul 10 pagi, Erin sudah berada di dalam H and Some restaurant. Berkutat dengan laptop dihadapannya.

"Sorry telat." Ujar Sean. Ia menarik kursi dihadapan Erin.

"Lama banget." Keluh Erin.

Sean tidak menghiraukan keluhan Erin. Ia hanya menghela napas kasar.

.
.
.

Tiga puluh menit lamanya keheningan melanda. Erin yang sibuk dengan laptopnya, sementara Sean yang sibuk dengan pikirannya.

"Hei, kau tidak jadi melakukan wawancara denganku?" tanya Sean.

"Jadi," ujar Erin tanpa menoleh ke arah Sean. "Tapi nanti, setelah aku selesai menulis ideku."

Sean hanya mengangguk paham. Laki-laki itu lantas menundukkan kepalanya, bertumpu dengan kedua tangannya, menoleh ke arah jalanan. Fokus melihat ke arah jalanan yang ramai itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Erin, ikut menoleh ke arah pandangan Sean. Ia heran, apa yang dilihat oleh laki-laki itu. Sampai-sampai membuatnya fokus begitu.

"Jalanan," Sean menunjuk jalanan di depan restoran. "Menghitung jumlah mobil yang lewat disana."

Hmm, memang tidak ada gunanya bicara dengan Sean. Otak manusia satu itu terlalu absurd.

Erin mendengus kesal mendengar jawaban Sean. Ia memilih kembali berkutat dengan laptopnya.

Dua jam lebih berlalu. Terhitung sudah puluhan kali Sean menguap. Untuk mengurangi rasa kantuknya, Sean memilih mengajak bicara gadis di depannya ini.

"Apa kau rabun?" tanya Sean tiba-tiba. Menunjuk kacamata yang dikenakan Erin.

Erin sedikit terkejut dengan pertanyaan aneh yang terlontar dari laki-laki di depannya ini.

"Tidak," ujar Erin membenarkan letak kacamatanya. "Aku lihat di drama-drama, penulis biasanya menggunakan kacamata. Bagiku itu terlihat keren."

Erin mulai berlagak seperti penulis-penulis dalam drama. Terlihat berlebihan memang. Tapi itulah Erin, suka hal-hal yang berlebihan.

"Keren untuk mereka, tapi tidak untukmu." Cibir Sean.

Sementara Erin hanya mendengus kesal mendengar cibiran Sean.

"Lebih baik kita mulai saja wawancaranya," ujar Erin mengalihkan topik. "Aku akan bertanya beberapa hal berkaitan dengan profesimu sebagai koki."

***

Hari menjelang sore, Sean dan Erin masih betah berada di dalam restoran.

"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" tanya Sean.

"Gak usah terlalu formal denganku," ujar Erin singkat. "Aku hanya ingin satu hal." Erin menatap Sean dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Apa?" Sean mulai curiga dengan tatapan Erin, seakan-akan ada sesuatu yang aneh dibalik tatapan itu.

“Anterin aku ke pasar," pinta Erin. "Rencananya, cerita awalku berlatar pasar. Jadi biar dapat feel, aku ingin ke tempatnya langsung."

"Karya-karyamu aneh semua. Heran, kenapa cerita-cerita macam gitu bisa jadi best seller." Sean bicara dengan nada mengejek.

"Gak usah banyak komentar kayak netizen." Cibir Erin.

"Iyain aja deh." Sean sedang dalam mode malas berdebat.

***

Setibanya di pasar tradisional terdekat, Erin langsung masuk ke dalam pasar, disusul oleh Sean yang berusaha menyamakan langkahnya dengan Erin.

"Kau tidak perlu mengikutiku. Aku akan pergi sendiri. Jika kau ingin berkeliling, pulangnya tunggu saja di parkiran." Ujar Erin terburu-buru.

Belum sempat Sean menjawab, Erin sudah terlebih dahulu pergi. Alhasil Sean bingung sendirian di tengah pasar yang ramai ini.

Sean POV

Gue bingung mau ngapain, si penulis itu juga udah pergi. Gue berjalan menyusuri pasar. Terlintas di otak gue buat cari cewek. Siapa yang tahu, ada cewek cantik disini.

Sepanjang mata memandang, gue cuma lihat ibu-ibu pembeli ataupun ibu-ibu pedagang.

"Mana cewek cantiknya." keluh gue.
Gue emang mengeluh, tapi mata gue tetep gak berhenti menoleh ke segala arah. Berharap ada cewek cantik nyempil di antara ibu-ibu disini.

Mantep nih kalo ketemu jodoh di pasar, nanti bakal ada sinetron judulnya 'Pasar Tempatku Bertemu Jodohku'.

Sean POV end

***

"Yes, aku udah dapat inspirasi cerita. Balik ke parkiran deh, siapa tahu dia udah nunggu." Seru Erin sembari berjalan menuju parkiran.

Sesampainya di parkiran, Erin terkejut terheran-heran melihat Sean dalam keadaan mengenaskan. Gak deng.

Sean terlihat bersembunyi di dalam mobil, napasnya terengah-engah, keringat membasahi pelipisnya, raut wajahnya ketakutan.

"Kau kenapa? Habis lihat hantu? Hantu mana yang mau menakuti orang sepertimu?" tanya Erin bertubi-tubi.

"Diamlah," sahut Sean jengah. "Ayo cepat pergi dari sini."

"Ba-baiklah. Tapi kita berhenti dulu di taman dekat sini. Aku mau menulis lanjutan ceritaku." Ujar Erin.

Tanpa banyak bicara, Sean melajukan mobil menuju taman di dekat pasar.

Sesampainya di taman, Erin kembali membuka laptopnya. Duduk beralaskan rumput taman, ditemani angin sepoi-sepoi sore hari, sungguh waktu yang tepat untuk menulis baginya.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Erin.

"Sedang apa dia?"

To Be Continue

Untold story

"Mantep nih kalo ketemu jodoh di pasar, nanti bakal ada sinetron judulnya 'Pasar Tempatku Bertemu Jodohku'." Begitu pikir Sean.

Tepat setelah memikirkan itu, Sean melihat seseorang bermasker hitam, dengan rambut hitam sebahu, bulu mata yang lentik, dan iris kecoklatan yang indah berjalan dihadapannya.

"Deketin ah," ujar Sean. "Permisi nona, boleh minta nomor teleponnya gak?" Sean mengerlingkan matanya, genit.

Sosok itu membuka maskernya. "Apa lo bilang?" tanyanya penuh emosi.

"E-eh gak jadi. Maaf salah orang." Sean berbalik dan dengan kecepatan turbonya, berusaha melarikan diri dari orang itu.

"Woi jangan kabur lo." Teriak orang itu.

Sean memutuskan untuk pergi ke parkiran dan bersembunyi di dalam mobil.

"Hosh... hosh...," napas Sean terengah-engah. "Gila, cowok ternyata. Mana kumisan, jenggotan pula. Buset dah."

~ ~ ~
Don't forget to vote and comment

With love,
made_lynn

OSEAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang