Kejadian di pantai beberapa hari yang lalu, selalu terngiang-ngiang dibenak Erin. Rasa bersalah menyelimuti perasaannya. Bagaimana tidak? Erin membentak Sean, meninggalkannya, bahkan tidak sedikitpun mendengarkan penjelasan lelaki itu.
"Sepertinya aku harus meminta maaf padanya." Ujarnya penuh kecemasan. Erin benar-benar tidak paham, bagaimana bisa dia tersulut emosi begitu saja.
"Oh ya, aku lupa!" Erin menepuk dahinya pelan. Memikirkan rasa bersalahnya pada Sean, membuat Erin melupakan janji dengan temannya. "Aku harus segera pergi!"
.
.
.
Disinilah ia sekarang, berada di kantin kampus. Setelah urusan dengan temannya selesai, Erin menyambangi kantin kampusnya. Baginya tempat ini cukup bersejarah, banyak momen yang tercipta disini. Salah satunya adalah ketika Vero menolak perasaannya.
"Kenapa aku jadi bernostalgia seperti ini?" Erin tertawa kecil, menertawai dirinya sendiri. Bagaimana dulu ia mengejar dosen kesana kemari hanya untuk mengumpulkan tugas, lembur bagai kuda, siang malam mengerjakan tugas yang jumlahnya tak terhitung. "Ahaha-"
Brukk
Tanpa sengaja seseorang menabrak pundak Erin, membuat gadis itu sedikit terhuyung.
"Maaf aku tidak se-"
"Acha?"
***
Hari ini Sean sudah kembali bekerja di restoran. Wajahnya sedikit pucat, lelaki itu mencoba terlihat apa adanya, padahal sebenarnya ada apa-apanya.
"Sean? Kau baik-baik saja?" Tanya Deo khawatir.
"Iya, aku baik-baik saja."
"Wajahmu pucat, sepertinya kau sedang sakit. Beristirahatlah di rumah, hari ini kau izin saja." Celetuk Mita yang secara tiba-tiba datang dari arah dapur. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Bagaimanapun juga, Sean sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
"Hmm, baiklah." Ujar Sean lemas.
***
Seorang lelaki terlihat tengah memasuki area restoran, tanpa permisi ia masuk begitu saja menuju dapur. Tidak ada yang mempermasalahkan itu, mengingat dia adalah sahabat dari putra pemilik restoran.
"Deo!" Teriaknya nyaring. "Kau melihat Sean?"
"Tadi dia izin pulang. Sepertinya dia sedang sakit." Jawab Deo.
"Hah? Kalau begitu aku pergi dulu, terimakasih infonya." Buru-buru Jeno meninggalkan restoran, menuju kediaman Sean.
.
.
.
Dalam hati, Jeno begitu cemas. Jeno tahu betul, Sean itu termasuk tipikal orang yang jarang sekali sakit. Bahkan dalam setahun, jumlah sakitnya bisa terhitung jari.
Sesampainya di rumah Sean, Jeno dikejutkan dengan pemandangan di depannya. Sean terkulai lemas di sofanya. Wajahnya bahkan terlihat lebih pucat dari sebelumnya.
"Sean!!!" Jeno berlari menghampiri sahabatnya itu. Tangannya terulur untuk mengecek suhu tubuh Sean. Panas, itu yang Jeno rasakan. Tubuh Sean panas sekali.
"Jeno? Lo disini?" Lirih Sean dengan mata sayu.
"Iya ini gue." Jawab Jeno sekenanya. Lelaki itu sibuk mencari letak obat-obatan Sean. "Lo kenapa bisa sakit sih?! Lagian kalo sakit tuh minum obat, bukannya kerja. Malah nambah sakit kan?!"
Ku sakit karenamu
Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa
Membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampuSean bernyanyi ala kadarnya, mengungkapkan isi hatinya saat ini. Bisa-bisanya lelaki itu menyanyi, padahal kondisinya sedang sakit.
"Lo masih sempet galau, padahal lagi sakit gini?! Kalo bukan karena lo lagi sakit, nih gelas udah mendarat di kepala lo." Jeno mengacungkan gelas di tangannya.
Sean terkekeh pelan mendengar ancaman sahabatnya itu. Baginya, ucapan Jeno selalu terasa pedas, pahit, nyelekit, pokoknya gak ada manis-manisnya gitu. Tetapi dibalik ucapannya itu, tersimpan sejuta perhatian dalam dirinya.
"Nih, minum dulu obatnya." Jeno menghampiri Sean dengan membawa obat dan gelas berisi air di tangannya.
"Thank you, bro." Ucap Sean yang dibalas anggukan oleh Jeno. Setelahnya, perlahan-lahan mata Sean mulai memberat.
***
"Apa kabar, Rin?" Tanya Acha memulai percakapan. Keduanya duduk di bangku taman kampus yang cukup sepi.
"Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Yeah, seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja," Acha mengulas senyum, menambah kesan manis dalam dirinya. "Ku dengar kamu bekerja dengan Vero."
"Darimana kamu tahu itu?" Erin menatap Acha penuh keheranan, pasalnya ia tidak pernah memberi tahu Acha tentang itu.
"I-itu... itu... aku tahu dari teman kampus kita." Acha tersenyum kikuk.
Erin hanya ber-oh ria mendengar penjelasan Acha. "Ku dengar kamu tidak lagi bersama Kak Vero. Apa yang terjadi?"
"Emm... itu... aku memilih berteman saja dengannya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaan orang yang ku sayangi."
Erin sedikit terkejut, namun dalam sekejap gadis itu mampu mengendalikan ekspresinya. "Apa maksudmu?"
"Ti-tidak ada. Ehm... aku pergi dulu, sampai jumpa." Belum sempat Erin bicara, Acha sudah pergi melenggang begitu saja. Terburu-buru seakan menghindari sesuatu.
Maaf tapi Erin tidak sebodoh itu, untuk tidak tahu bahwa Acha menyembunyikan sesuatu darinya. Mereka pernah menjadi sahabat, meskipun kini sedikit merenggang.
"Apa yang kamu sembunyikan dariku?"
***
"Eunghh..." Sean membuka matanya. Lelaki itu mendapati dirinya merebah di sofa. Tak jauh darinya, Jeno duduk di meja makan, sembari menikmati isi kulkas Sean. "Gue masih hidup?"
"Gak, lo udah mati. Ini gue malaikat pencabut nyawa lo." Sahut Jeno datar.
"Gak lucu."
"Siapa yang ngelucu?"
Sean tidak mempedulikan ucapan Jeno. Lelaki itu terlihat sedang berpikir. "Rasanya tadi gue mimpi didatengin seseorang."
"Siapa?"
"Malaikat pencabut nyawa-"
"Yang nanya."
Sedetik kemudian sebuah bantal berbentuk kelinci mengenai wajah Jeno. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Sean. "Sekali lagi lo bercanda, gue tendang lo keluar."
"Ampun bro," Jeno terkekeh pelan, sambil memasang ekspresi berpura-pura ketakutan. "Malaikat gak bakal nyabut nyawa tanpa alasan. Apalagi untuk seorang jomblo kayak lo."
Sean berdecak kesal. Mendengar kata 'jomblo' sepertinya membuat Sean sedikit tersinggung. Lupakan hal itu, Jeno dalam mode cerewet memang menyebalkan.
"Lagian lo udah hidup seperempat abad, selama itu ngapain aja? Kenapa masih jomblo juga?!" Omel Jeno, tapi ada benarnya juga.
"Au ah gelap," Sean memalingkan wajahnya, netranya menelisik ke arah jendela, memikirkan sosok gadis yang biasanya selalu mengisi hari-harinya. "Kira-kira dia lagi ngapain ya?"
"Gue pikir lebih baik lo kasih Erin waktu buat mikirin perasaannya. Biarin dia memantapkan hatinya dulu." Ujar Jeno bijak. Disaat-saat tertentu, lelaki itu bisa mengeluarkan kata-kata bijaknya.
"Lo cenayang ya? Gimana lo bisa tahu isi pikiran gue?"
Bukannya menjawab, Jeno justru mengendikkan bahunya asal. Lelaki itu kembali melanjutkan kegiatannya, menghabiskan isi kulkas Sean.
"Mungkin, lebih baik untuk sementara waktu kita tidak bertemu dulu."
To Be Continue
💜💜💜
Don't forget to vote and comment.With love,
made_lynn
KAMU SEDANG MEMBACA
OSEAN [END]
FanfictionOSEAN (Our Story: Erina and Sean) Kisah ringan tentang keseharian Seano Jevandra yang menikmati -ralat meratapi- kejombloannya. Bertemu penulis muda dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Akankah mereka menemukan jodoh mereka? Suatu saat akan...