Part 17 - No!

41 15 22
                                    

*bagi yang lupa, bisa baca part sebelumnya.

"Sunset? Ngapain dia disini?" Sean menatap lamat-lamat ke arah kafe. Memang tidak salah lagi, Erin dan Vero sedang asyik bercengkrama di dalam sana.

Ingin pergi, tapi terlanjur sampai. Ingin masuk, tapi hati tak sanggup. Ingin mengabaikan, tapi ia penasaran. Sean jadi kebingungan sendiri.

.

.

.

"Wah benar-benar, mereka bersenang-senang tanpa gue." Gerutu Sean pelan, mengambil posisi di pojokan, menghadap dinding kafe. Lelaki itu duduk membelakangi Erin dan Vero, membuat mereka tidak sadar akan keberadaan Sean disana.

***

"Wah, aku sangat menyukainya, dia pintar sekali mengekspresikan perasaannya." Erin berdecak kagum pada tokoh cerita buatannya.

"Benarkah? Si tokoh utama pria ini?" Vero menunjuk gambar seorang lelaki dengan postur keren, bahu lebar, dan jangan lupa, wajah yang yang menawan itu.

"Benarkah? Si tokoh utama pria ini?" Vero menunjuk gambar seorang lelaki dengan postur keren, bahu lebar, dan jangan lupa, wajah yang yang menawan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ya, ku rasa aku jatuh cinta padanya," Erin tersenyum lebar melihat ilustrasi tokoh ceritanya itu. "Andai saja ada lelaki seperti dia di dunia nyata."

"Dasar penulis bucin." cibir Sean pelan yang untungnya tidak di dengar oleh mereka.

"Kau seperti penulis yang jatuh cinta dengan tokoh ceritanya sendiri." Ujar Vero disertai senyum manisnya.

"Tidak juga, haha." Erin tersenyum kikuk.

"Aku salut dengan sifat tokoh ceritamu itu. Ia mampu mengekspresikan perasaannya. Sedangkan aku, terkekang perasaan sendiri." Vero berujar sendu. Senyum manisnya tergantikan senyuman miris.

"Apa maksudmu, kak?"

"A-ah tidak apa-apa. Kita lanjut saja."

"Aku tidak tahu permasalahan apa yang kakak hadapi. Tapi saranku, sebaiknya nyatakan perasaan kakak. Tidak baik mengekangnya terlalu lama, itu hanya akan membuatmu sakit sendiri."

"Kau benar, tapi aku tidak bisa," Elak Vero. Lelaki itu menundukkan kepalanya, seakan ingin menyembunyikan ekspresi sedihnya. "Jika aku mengikuti perasaanku, maka akan ada perasaan lain yang hancur."

Hening. Erin hanya diam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"Sudahlah, kenapa jadi membahas ini." Vero mengalihkan pembicaraan, enggan membahas lebih lanjut.

"E-eh iya kak."

.

.

.

"Woah... akhirnya selesai juga." Erin meregangkan tubuhnya, merelaksasikan jari-jari tangannya yang sedari tadi sibuk berkutat dengan laptopnya. "Kak, sepertinya aku harus pergi, ada janji dengan pihak penerbit."

OSEAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang