Part 9 - Admired

79 33 28
                                    

"Kau!!" Sean menunjuk ke arah Erin dengan penuh emosi.

Erin mengerjapkan matanya, menampilkan ekspresi polosnya.

"Kau memintaku kemari hanya untuk ini?" Sean menatap ke arah kompor dan kawan-kawannya.

Ya, Sean saat ini tengah berada di rumah Erin atau lebih tepatnya di dapurnya.

Flashback

"Halo?" ujar Sean mengangkat telepon.

"Kupingg... kupinggg." Erin berteriak panik.

"Ada apa?" teriak Sean tak kalah panik.

"Rum-rumahku... rumahku."

"Ada apa dengan rumahmu?" tanya Sean khawatir.

"Cepat kemari. Ak-"

Tutt... tutt...

Telepon terputus.

Tanpa berpikir panjang, Sean segera menuju rumah Erin.

"Sial, gue gak tahu dimana rumahnya." Gerutu Sean.

Tunggu sebentar. Sean ingat, Erin pernah memberinya kartu nama.

Laki-laki itu membongkar isi dompetnya. Sesekali ia mengeluarkan kertas-kertas di dompetnya.

Bukan uang. Tapi struk belanja indomei:v

Skip.

"Ketemu." Akhirnya Sean menemukan kartu nama itu.

Sean langsung tancap gas, mengikuti alamat yang tertera di kartu nama itu.

Flashback End

"Jadi kau memintaku kemari untuk memasakmu? A-ah bukan, maksudku memasak untukmu?" Tanya Sean menahan emosi.

"Ya." Erin menganggukkan kepala dengan santainya.

"Memangnya kau tidak bisa memasak?" Sean memicingkan matanya.

"Bukan begitu," sergah Erin. "Kau tahu kan, terkadang aku perlu pengamatan langsung dalam menulis cerita. Jadi, aku butuh bantuanmu. Sementara kau memasak, aku akan memperhatikanmu dan mulai menulis ceritaku."

"Kenapa tidak di restoran saja?" Ujar Sean malas.

"Tidak bisa. Saat ini, restoran pasti sedang ramai." Tolak Erin.

"Lalu kenapa tadi kau mematikan teleponnya sepihak? Dan juga kenapa tadi kau bicara terburu-buru?" tanya Sean bertubi-tubi.

"Ckk. Pulsaku habis dan aku juga tidak ingin kehilangan ideku, makanya aku bicara terburu-buru." Ujar Erin datar.

"Kenap-"

"Sudahlah jangan banyak tanya." Erin mendorong tubuh Sean, meminta Sean agar mulai memasak.

"Oke-oke. Tapi memangnya tidak bisa besok saja?" tanya Sean sembari mengumpulkan bahan-bahan yang akan dimasak.

"Sudah ku bilang. Aku tidak ingin kehilangan ideku." Sahut Erin. Gadis itu meletakkan laptopnya di meja makan.

"Kau mengganggu akhir pekanku saja. Ini kan malam minggu, harusnya aku bisa menghabiskan waktuku." Gerutu Sean.

"Kau kan jomblo." Cibir Erin.

Oh. Sean melupakan satu fakta. Fakta bahwa ia jomblo. Ya, tentu saja seorang jomblo tidak memiliki hal yang spesial di malam minggu.

"Jangan lupa bahwa kau juga jomblo." Balas Sean tak mau kalah.

OSEAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang