Mas Tram lucu sekali. Dia membawakan tas gunungku setibanya di depan stasiun. Dia menggendongnya, membiarkanku santai tak membawa apa-apa. Jika kupikir-pikir, percuma juga manjain aku dari sekarang. Soalnya nanti juga aku bakalan bawa segalanya sendiri. Keliling-keliling kota.
Eh gatahu deh, apa penglihatanku yang salah atau gimana. Tapi liat Mas Tram pake tas gunung gitu dan emang siang ini panas cahaya matahari cukup nyengat hingga berhasil mengenai tubuhnya, aku kok ngerasa dia keren banget. Gagah gitu.
Aku makin ngerasa aneh kenapa tiba-tiba aku mikirin banyak hal aneh tentang dia. Kalau dibilang terpesona, mungkin ga juga. Aku cuma seneng aja gitu mengetahui dia selalu ada di sisiku meski udah berkali-kali kutolak soal permintannya buat aku jadi pendamping hidupnya aja.
Pasalnya memang aku ga kepikiran buat engangement, kayak punya keterikatan dengan siapapun. Sekali aku menggantungkan diri, aku takut ketergantungan. Sedangkan seiring dengan tujuan hidupku yang masih terasa begitu jauh buat digapai, menggantungkan diri hanya akan melemahkanku. Aku tak bisa membayangkan diriku mengandalkan orang lain dan membuat prosesnya lebih lama karena ada sebuah momen yang paling tidak kusukai dari mengandalkan orang lain: menunggu.
Ya, menunggu dia selesai mengerjakannya. Menunggu dia melakukannya untukku tanpa bisa berbuat apa-apa. Menunggu banyak hal beres karena sudah mempercayakan sesuatu padanya. Hal ini sangat membuang waktu dan tidak baik untuk kesehatan mentalku.
Sedini mungkin, aku yang memang sudah sejak lama tak memiliki siapapun yang bisa diandalkan, rasa-rasanya cukup berat bahkan enggan untuk menjatuhkan kebutuhan atau keinginanku pada pihak lain. Aku tak tahu prinsipku ini akan bertahan sampai umur berapa. Hanya saja aku bisa menerima diriku yang seperti ini untuk sekarang. Karenanya pula aku selalu berterima kasih pada diriku yang selalu mampu menghadapi tiap-tiap beban hidup yang dilimpahkan semesta kepadaku. Gagal, remuk, rapuh, terkoyak, namun demi diriku sendiri, aku selalu berusaha tuk bangkit lagi.
"Mas, makasih ya udah dianterin sampe sini."
Aku tersenyum tulus kepada Mas Tram yang membalasnya dengan senyuman yang lebih lebar. Malah keliatan ketawa. Dia terlihat bahagia apa gimana sih?
"Mas kenapa ketawa? Bahagia banget kayaknya ditinggalin aku?"
"Hehe. Itu ada anak jenggut rambut ibunya di belakang kamu, sampe ibunya kayak kejengkang gitu. Mas ga kuat nahan tawa, lucu banget astaga..."
"Deuh... kirain kenapa kayak seneng banget. Mana emang?"
"Udah masuk tuh mereka, ngantri di dalem nunggu kereta mereka berangkat kayaknya."
"Oh... eh, siniin Mas tasnya, biar aku aja yang gendong dari sini."
"Kamu emang sanggup gendong-gendong tas gini selama di perjalanan?"
"Mas nganggap aku selemah apa sih? Kan kemarin udah nganggap aku kuat. Sekarang mikir sebaliknya lagi."
"Iya, iya. Kan Mas nganggap kamu kuat secara mental. Kalo fisik mah, Mas belum yakin..."
"Sini deh aku bisikkin."
Aku jinjit mendekat ke telinganya. Dia memberikan kupingnya yang kiri lebih mendekat ke arahku.
"Mas pikir waktu Mas genjot aku, aku nahan beban tubuh Mas pake mental apa? Berat beban tubuh Mas lebih besar dari tas ini tau. Udah ah siniin!" Kataku seraya membantu mencopot tas dari kedua bahunya, meletakannya pelan di lantai untuk kemudian memakainnya di punggungku.
"Hahaha. Bisa aja kamu.. tapi, iya juga ya? Mas ga nyadar. Haha....,"
Dia malah ketawa kegirangan. Kubiarin aja dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubuhku Hanyut dalam Rengkuhannya (BxB) (Badboy)
Novela JuvenilAku belajar ini semenjak umur belasan. Menjual tubuh kepada para lelaki yang menginginkan, ternyata lebih ada gunanya.