WCI | 23

20.9K 2K 78
                                    

"Iri hati hanya akan membawa kita dalam kesesatan. Maka, sebisa mungkin hindari perasaan itu."

-WCI-

✨✨✨

Namira merapikan pakaiannya. Hari ini, ia dan Kafka sudah harus kembali ke sekolah. Masa libur dan bersenang-senangnya sudah habis. Jadi, mereka harus kembali belajar seperti biasanya.

"Hum, masih marah?"

Namira hanya diam. Walau sudah dibujuk rayu oleh Kafka, Namira masih kesal karena orang tuanya yang ingin pindah.  Padahal sudah dibilang, hanya sementara. Tetap saja kesal. Yah, Namira memang seperti itu orangnya.

"Sayang," panggil Kafka.

Namira menahan senyumnya. Berusaha agar panggilan Kafka itu tidak menggugah perasaannya.

"Humairahku," panggil Kafka lagi.

Telak sudah! Namira tersenyum dan mendekati Kafka. Tapi mulutnya tetap tertutup. Pandangannya juga masih menunduk.

"Sayangku, istriku, humairahku, masih marah?" tanya Kafka sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi Namira.

Namira tersenyum dan memeluk Kafka. "Jangan gitu panggilnya," kata Namira.

"Kenapa?"

"Malu,"

Kafka tertawa dan melepas pelukan mereka dengan lembut. "Cie, udah gak ngambek," goda Kafka.

"Jadi, nanti kita mau tinggal di rumah Papa?" tanya Namira yang mendapat anggukan dari Kafka.

"Berdua?" tanya Namira lagi.

"Iya, sayang. Berdua."

Wajah Namira mulai memerah. "Yaudah, ayo berangkat. Nanti telat!" seru Namira sambil berlari menjauh dari hadapan Kafka. Tidak bisa dibiarkan, Kafka benar-benar bahaya untuk jantungnya.

***

"Nam," panggil Shofia.

Namira menoleh. Langkah kakinya terhenti karena Shofia menghadang dirinya. "Kenapa?" tanya Namira.

Shofia tersenyum dan menunjukkan sederet gigi putihnya. Sepertinya, Shofia ini tipe dua kepribadian. Saat menjalankan tugas, profesionalnya sampai bisa dibanggakan. Saat di luar tugas, berubah jadi anak polos yang masih perlu diajarkan segala hal.

"Mau tau satu hal gak?" tanya Shofia sambil menunjukkan jari telunjuknya.

"Apa?" tanya Namira.

"Kemarin, waktu lo pulang bareng keluarganya  Kafka, semua pada kaget, iri, terus pada gosipin lo."

"Terus?"

Shofia mengerjabkan matanya. "Lo gak mau tau apa aja yang digosipkan mereka?" tanya Shofia heran.

"Emang gue harus tau ya?" Namira bertanya balik dengan satu alis terangkat. Tubuhnya ia sandarkan di dinding lorong.

Shofia mengangguk semangat, membuat Namira langsung menghela napas pasrah. "Oke, ceritain."

"Mereka bilang, lo sengaja buat keramaian itu supaya lo dilindungi sama keluarga Kafka, terus banyak yang curiga kalau lo itu pacar Kafka, cuma kalian diam-diam. Gak mau kasih tau siapa-siapa. Emang kalian pacaran?"

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang