EPILOG

28.2K 2K 134
                                    

Baca sampai bawah, ya>•<

✨✨✨

"Perjuangan seorang wanita dalam melahirkan buah hatinya itu tidak bisa dibandingkan dengan apa pun! Lantas, kenapa kalian sering mempermainkan mereka? Menyakiti mereka sesuka hati kalian!"

-WCI-

✨✨✨

Namira mengerang kesakitan saat sudah berada di atas brankar rumah sakit. Di ruangan ini, sudah ada dua dokter yang akan membantunya melahirkan. Yaitu, Qia dan Vanessa. Dua dokter ini juga lah yang membantu mertuanya, Adiba melahirkan.

"Tante, Kafka boleh masuk?" tanya Kafka dengan raut wajah serius. Ia ingin masuk dan menemani Namira, tetapi Alfin selalu melarang.

"Duh, Dek! Jangan, nanti kalau kamu gak tahan liat Namira teriak-teriak kesakitan, liat kondisi anak kamu yang baru lahir, dan lain sebagainya, gimana? Kan prosesnya makin lama. Namira juga makin cemas dan panik, Dek," bujuk Alfin.

"Namira belum melahirkan, kan? Tante masuk dulu tanya sama Namira, dia mau ditemani Kafka atau enggak? Kalau soal berani atau enggaknya, Kafka insyaallah berani. Kafka mau liat perjuangan istri Kafka!" sentak Kafka.

Emosi Kafka tidak bisa dikendalikan. Alfin juga tertegun di posisinya, baru kali ini Kafka menaikkan suaranya, walau hanya satu oktaf.

"Tante tanya Namira dulu," balas Qia. Ia masuk ke dalam dan meninggalkan Kafka yang masih berdiri dengan wajah cemas.

"Dek, kamu serius mau masuk?" tanya Alfin sekali lagi. Tangannya memegang bahu Kafka cukup kuat.

Kafka mengangguk. "Iya, Bang. Umi juga pernah cerita, kan? Abi dulu nemenin Umi karena Abi mau nyemangatin dan melihat perjuangan Umi. Begitu pun dengan Kafka, Bang."

Alfin duduk di bangku rumah sakit. Wajahnya ia usap dengan kasar. Kenapa saat ini keluarganya belum datang, padahal sudah ia kabari sejak lima menit yang lalu.

"Kita tunggu jawaban Namira, ya," pinta Alfin. Sekali lagi ia membujuk Kafka agar tetap menunggu.

Kafka mengangguk dan menatap percakapan Qia dengan Namira lewat kaca yang berukuran kecil di pintu.

"Kafka! Alfin!"

Seruan itu membuat keduanya menoleh dengan cepat. Di sana ada orang tua mereka, termasuk orang tua Namira. Alfina, kakak perempuannya juga ikut. Mereka berlari dengan wajah cemas.

"Gimana udah lahiran?" tanya Adiba.

Kafka menggeleng. "Jangankan lahiran, teriak pun belum dilakukan oleh Namira."

"Oh, terus sekarang nunggu apa?" tanya Adiba.

"Kafka mau masuk, mau sama Namira," jawab Kafka cepat.

"Terus kenapa tidak masuk?" tanya Irsyad dengan satu alis terangkat. "Kasian Namira," tambahnya.

"Tante Qia lagi nanya Namira, dia mau ditemenin Kafka atau enggak."

"Dia mau," jawab Qia.

Kafka langsung menoleh dengan senyum ceria. Tanpa menunggu apa pun lagi, ia langsung masuk ke dalam ruangan dan berdiri di sebelah Namira. Menatap wajah istrinya yang sedang kesakitan.

"Hum," panggilnya.

"Mas gak boleh nangis, ya," ujar Namira dengan senyum tipis.

Kafka mengangguk. Ia mengelus pipi Namira dengan sayang. Saat ingin mengatakan kalimat selanjutnya, Qia, Vanessa dan perawat lainnya masuk untuk memulai kelahiran Namira.

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang