Ekstra Part 1

26K 1.8K 115
                                    

"Ibu layaknya seorang malaikat tak bersayap. Mereka mampu menahan rasa sakit saat melahirkan yang sakitnya mencapai 57 del. Yang jika diibaratkan, rasa sakitnya itu seperti 20 tulang dipatahkan serentak. Padahal, manusia hanya bisa menahan kesakitan hingga 45 del. Mereka, benar-benar luar biasa, kan?"

- Wa'alaikumussalam, Calon Imam! -

✨✨✨

Kafka menatap Namira yang masih tidur di sebelahnya. Senyumnya terkembang sembari bibirnya yang mencium kening Namira.

"Kamu sudah mengandung anak kita selama sembilan bulan, kamu menanggung rasa mual, pening, dan lain sebagainya. Kemudian, rasa sakit saat melahirkan juga berhasil kamu lewati, belum lagi sekarang kamu merawat anak kita sambil mengatur rumah kita, lantas kenapa kamu masih merendah saat kukatakan bahwa kamu malaikat tak bersayap yang sangat nyata?" gumam Kafka.

"Setelah semua pengorbananmu, kamu masih enggan untuk meminta keinginanmu. Kamu hanya mengatakan bahwa kehadiran anak kita dan perhatian dariku sudah sangat cukup untukmu. Lalu, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa aku adalah pria terhebat? Sementara pengorbanan dirimu masih jauh di atasku.

"Aku tau, keinginanmu sangat sederhana, kamu hanya ingin liburan denganku dan anak kita. Namun, saat hal itu kutawarkan, kenapa kamu menolak? Bukankah aku menyanggupi keinginanmu?"

Kafka mengelus wajah Namira dengan sayang. Sejak kelahiran Azalea, rasa cinta dan kasih sayangnya bertambah besar. Terlebih, anak mereka yang telah menginjak usia empat tahun. Azalea tumbuh dengan wajah yang sangat cantik.

Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

"Engh," gumam Namira.

Kafka terkekeh saat Namira mengerutkan keningnya. Posisinya juga berubah menjadi ke samping. Tepat berhadapan dengan Kafka.

"Sayang," panggil Kafka.

Namira masih diam. Ia masih mengantuk karena kemarin Lea tidak bisa tidur dengan nyenyak di kamarnya. Akibatnya, Namira harus bangun dari tidurnya di jam dua pagi dan memberikan tepukan ringan pada punggung Lea.

"Bangun, kita sholat subuh dulu, baru sambung tidurnya," ujar Kafka. Tangannya sibuk mengelus pipi Namira, agar istrinya itu mau membuka matanya.

Dengan perlahan, Namira menyentuh dada Kafka dan membuka matanya. Menatap Kafka dengan pandangan kosong, sebab lagi mengumpulkan nyawanya yang sedang berterbangan.

"Mas ngapain?" tanya Namira yang sudah seratus persen bangun.

"Bangunin kamu."

"Udah jam lima lewat, harusnya Mas langsung ke masjid aja," balas Namira.

Kafka tersenyum tipis. "Sekali-sekali kita sholat berjamaah. Sejak kita menikah, saat-saat Mas jadi imammu itu masih bisa dihitung. Jadi, karena Mas tadi bangunnya juga agak telat, ya udah sekalian aja kita sholat berjamaah."

Namira tersenyum dan bangun dari tidurnya. Ia duduk dan menarik napas panjang. "Mas udah siapan?" tanya Namira.

Kafka menggeleng. "Belum."

"Ya udah, Mas pakai kamar mandi sini, aku pakai kamar mandi yang di luar. Oke?"

"Oke."

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang